KabariNews Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Republik Indonesia menjadi salah satu lembaga negara yang dibentuk dengan tujuan meningkatkan daya guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di negeri ini. Dalam menjalankan tugasnya KPK berstatus independen  dan bebas dari intervensi dari pihak manapun, tanpa terkecuali dari pihak penguasa.

Lembaga ini dalam menjalankan tugas dan wewenangnya didasari oleh Undang-Undang nomor 30 tahun 2002 dan dalam melaksanakan tugasnya, KPK berpedoman pada lima azas, yaitu kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proporsionalitas serta bertanggung jawab langsung kepada Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Sejak berdiri hingga saat ini, KPK selalu menemui jalan terjal. Walaupun memiliki undang-undang sebagai dasar untuk melakukan tugas dan wewenangnya. Goncangan dirasakan KPK, baik dari dalam maupun dari luar KPK.

Hal itu dikatakan oleh Alexander Marwata, salah satu ketua KPK dalam diskusi publik yang diadakan oleh Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, Selasa (04/04).

“Akhir-akhir ini memang KPK mendapat berbagai tekanan, tidak saja dari eksternal juga dari internal. Mungkin teman-teman juga membaca  majalah Tempo edisi minggu ini  judul sangat bombastis “KPK Gawat”, ungkap Alex.

Alex menepis hal itu. Menurutnya yang berada di dalam KPK tidak merasakan kegawatan atau sesuatu hal yang perlu dikuatirkan.

Namun Alek mengakui, KPK sedang menghadapi tantangan dari eksternal. Pelemahan KPK tidak hanya datang dari intitusi yang seharusnya turut menjaga dan mengawal kinerja KPK dalam melakukan upaya-upaya pemberantasan tindak pidana korupsi tetapi justru melucuti kewenangan-kewenangan yang dimiliki KPK. Selain itu, juga dari lembaga peradilan.

“Saat ini banyak para terdakwa yang ditetapkan KPK mengajukan upaya hukum dengan mengajukan pra peradilan. Beberapa waktu yang lalu KPK mengalami beberapa kekalahan dalam sidang pra peradilan, seperti dipengadilan tipikor yang menyangkut salah satu Bupati dari daerah di Jawa Timur,” tutur Alex.

Alex juga menuturkan, tidak ada lagi upaya hukum yang bisa dilakukan KPK. Padahal untuk menetapkan sebagai tersangka, dari mulai penyelidikan dan penyIdikan hingga melakukan penyitaan sudah menghabiskan dana ratusan juta rupiah. Akhirnya terdakwa diputus tidak bersalah. Itu salah satu kejadian yang bagi KPK sangat mengganggu dalam rangka pemberantasan korupsi yang lebih efektif.

Mantan hakim ad hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi ini, lebih jauh mengatakan, terkait dengan rencana revisi undang-undang KPK, ini sebetulnya sudah digulirkan sejak tahun 2010 dan rasanya hampir setiap tahun selalu digulirkan.

“Nah, ini mengundang pertanyaan. Sebenarnya revisi undang-undang KPK sebetulnya perlu atau tidak perlu untuk dilakukan. Kami di KPK, merasa undang-undang KPK belum sepurna,” akuinya.

Jika dilakukan revisi, mestinya harus memperkuat undang-undang KPK terkait dengan kewenangan KPK atau memperkuat dan menutup celah-celah pelemahan KPK itu sendiri.

Alex kemudian mengambil contoh, terkait dengan kewenangan dalam pasal 11 undang-undang KPK, menyangkut penegakan hukum, mendapat perhatian publik, dan menyangkut kerugian negara diatas Rp 1 miliar, oleh Mahkamah Kontitusi ketiga syarat kewenangan KPK diartikan kumulatif. Artinya, kewenangan KPK harus menyangkut penyelenggara negara,  aparat penegak hukum harus mendapat perhatian publik, dan kerugian negara di atas Rp 1 miliar, bukan alternatif.

“Itu menyulitkan kami, ketika mendapat pengaduan, misal menyangkut korupsi pengadaan barang dan jasa dengan kerugian negara sebesar Rp 10 miliar, tetapi ketika belum ada unsur penyelenggara negaranya, kami tidak bisa berbuat apa-apa. Dan  ketika ada aparat penyelenggara negara di daerah tersangkut korupsi dan yang dimaksud penyelengara negara di daerah itu hanya terdiri dari bupati, wakil bupati, dan DPRD. Kalau setingkat pejabat daerah pembuat komitmen atau kepala dinas, itu bukan penyelenggara negara. Kami tidak bisa apa-apa, walaupun hanya sekedar penyelidikan,” katanya.

Hal itu yang perlu direvisi. Ini yang dirasakan KPK, ketika ada pengaduan dari masyarakat yang setiap tahunnya mencapai 7.000 hingga 8.000 pengaduan, kemudian setelah di dalami oleh KPK hanya sekitar 5 sampai 10 persen ada indikasi kuat korupsi. Tetapi, ketika memperdalam lagi, KPK harus melihat unsur keterlibatan penyelenggara negara. Ada atau tidak penyelenggara negara di dalamnya. Karena keputusan Mahkamah Konsititusi seperti itu.

“Itu yang membuat masyarakat bertanya-tanya. Pengaduan kami selama ini dikemanakan? Dan kami sudah sering melaporkan kepada instansi terkait yang berwenang, tetapi tidak tindakannya,” jelasnya.

Jika perlu dilakukan revisi harus tegas tentang kewenangan KPK. Bagi KPK menurut Alex, tidak peduli apakah menyangkut penyelenggara negara atau hanya sebatas pegawai negri, sepanjang ada perilaku korupsi didalamnya, KPK harus diberi kewenangan. Meskipun dalam melaksanakan kewenangannya secara teknis, KPK harus berkoordinasi dengan aparat penegak hukum setempat. Kewenangan itu juga terkait dengan koordinasi dan supervisi terhadap aparat atau penegak hukum setempat.

Alex kembali mengakui, itu menjadi hambatan KPK untuk melakukan tugasnya dalam melakukan supervisi dalam penanganan perkara korupsi. Sehingga yang terjadi, banyak perkara-perkara yang ketika ditangani KPK, kemudian dilakukan pelimpahan kepada aparat setempat, sehingga belum bisa melakukan koordinasi maupun supervisi atau perkara-perkara yang ditangani oleh kejaksaan atau kepolisian dari proses penyelidikan maupun penyedikan, KPK tidak mengetahui kualitas perkara yang ditangani kedua intitusi tersebut.

“Dalam proses pembuatan surat dakwaan, kami tidak bisa mengetahui kualitas perkaranya. Undang-undang KPK mensyaratkan, bahwa KPK sebagai penjamin kualitas dalam kegiatan maupun fungsinya sebagai supervisi penjamin kualitas dalam penaganan tindak pidana korupi yang ditangani kejaksaan mapun kepolisian. Itu yang belum bisa kita lakukan secara optimal,” kata Alex.

Mantan hakim Tipikor yang menangani kasus korupsi mantan Gubernur Banten ini, selanjutnya menjelaskan, banyak hambatan-hambatan psikologis, ketika KPK melakukan koordinasi mapun supervisi. Suatu contoh, saat penyidik KPK atau jaksa penuntut KPK melakukan tugasnya melakukan supervisi terhadap penegak hukum setempat dengan posisi yang belum pernah menjabat setara dengan kepala kejaksaan atau setingkat dengan Kapolres, sedangkan yang disupervisi adalah kepala kejasaan atau Kapolres, itu termasuk menjadi hambatan.  Penyidik maupun jaksa penutut KPK akan mendapat teguran “emang elu siape? Kok berani-beraninya ngawasin gue”.

Tentunya akan menjadi masalah besar dalam melakukan pemberantasan korupsi. Karena ada tiga lembaga yang menangani tindak pidana korupsi, yaitu KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian. Tanpa koordinasi dan supervisi yang efektif, pemberantasan korupsi tidak akan berjalan maksimal.

Lanjut Alex ketika kita berbicara tentang revisi undang-undang KPK. Tetapi rupanya yang diinginkan teman-teman di DPR justru akan sangat melemahkan KPK. Seperti masalah penyadapan, penyitaan maupun penggeledahan itu harus ijin pengadilan. Selain itu, tentang pembatasan periode KPK, kemudian masalah dewan pengawas. Itu yang akan semakin membuat kinerja KPK tidak efektif lagi.

“Kalau soal penyadapan harus ijin ke pengadilan ada potensi hambatan waktu akan lebih lama lagi. Juga potensi terjadinya kebocoran akan lebih besar. Sedangkan KPK sendiri ingin bekerja cepat, efektif, dan efesien,” kata Alex.

KPK berharap, DPR memperjuangkan revisi undang-undang tetnang ini. Alex juga meyakini akan hasil revisi undang-undang jika memperkuat kewenangan KPK, hasilnya jauh akan bermanfaat.

Upaya KPK masih jelas dalam menjalankan tugasnya. Namun jika revisi undang-undang KPK yang saat ini jika dilakukan akan berdampak sistemik terhadap pelemahan gerakan pemberantasan korupsi. DPR seharusnya mendengarkan KPK untuk mengetahui apa yang dibutuhkan KPK dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.

“Kami berterima kasih kepada masyarakat dan juga kepada mahasiswa yang terus mendukung KPK. Kami menyadari betul tanpa ada dukungan masyarakat dan dari kalangan akademika, KPK tidak ada artinya,” pungkasnya. (Kabari:1003/foto&video: 1003)