Malam cerah sehabis Isya. Ribuan warga memadati halaman
sebuah kantor di Surabaya, Jawa Timur. Terdengar sholawat Nabi diiringi
alunan biola dan kolintang. Setidaknya 3 ribu warga terhipnotis oleh
musik dan ceramah yang disajikan. Tak seperti ceramah biasa. Malam itu,
Kyai Kandjeng bersama Emha Ainun (Cak Nun) menghibur mereka.

Lalu, penonton terkaget-kaget ketika Sholawat Nabi usai. Di pentas terdengar lagu Tompi, ‘Love’ Berirama jazz dengan aransemen gamelan Jawa dan Madura. “L
is for the way you look at me, O is for the only one I see, V is
very-very extraordinary and E is even more than that you adore
,”
lagu itu syahdu dengan musik lamban lantas diulang lagi dengan ritme
yang lebih gempita. Perpaduan suara saron, bonang dan demung, gitar
listrik dan keyboard sungguh mempesona. Di akhir lagu ‘Love’ terdengar lagu Madura, Tanduk Majeng. Seluruh pengunjung yang hadir memberikan tepuk tangan meriah.

“Nggak ngerti lek (tidak tahu jika, Red) pertemuan Presiden SBY
sama Bu Sri Mulyani merupakan pertemuan yang baik atau tidak. Terserah
panjenengan (kalian, red) mau menilai seperti apa,” kelakar Cak Nun
diikuti tawa dan tepuk tangan. Lebih jauh, dia mengatakan, cinta yang
sebenarnya adalah cinta yang tidak mengenal perbedaan. Bangsa Indonesia
tidak boleh saling terpecah satu sama lain. “Bila kita melihat tabrakan
di jalan dan berniat mau menolong, tolonglah dengan tulus. Menolong tak
usah berpikir, yang tertabrak Islam atau Kristen? Kalau dia jawab Islam,
jangan ada pertanyaan lebih lanjut; NU atau Muhammadiyah? Semua agama
mengajarkan welas asih. Mau NU kek, mau Muhammadiyah kek, semua menjadi
satu jalinan,” jelas seniman dan tokoh budaya ini.

Konsep apa yang dibawa oleh Kyai Kandjeng? Dakwah atau Musik ? Atau
dua-duanya? Komposisi Kyai Kandjeng dan Cak Nun sejauh ini, mampu
menembus begitu banyak dimensi nilai dan kehidupan. Ketika tampil di
Belanda, Kyai Kandjeng dengan gamelannya mampu membawakan lagu ‘Imagine’ dari The Beatles dengan indah.

Dari sisi musik, konsep Kyai Kandjeng sekilas mirip musik hybrid,
yang memadukan musik tradisional yang pentatonik dan musik modern yang
diatonis. Tak mudah memadukan dua konsep ini, menjadi sesuatu yang
nyaman didengar. Gamelan memiliki dua jenis nada yakni pelog dan
slendro. Namun, gamelan yang digubah oleh Kyai Kandjeng tidak berada
pada jalur salah satunya ; bukan pelog dan bukan slendro.

Tak banyak yang tahu bahwa gamelan Kyai Kandjeng juga menembus
wilayah diatonis, meski tidak sepenuhnya. Tepatnya:
sel-la-si-do-re-mi-fa-sol, dengan nada dasar G=do atau E Minor. Konsep
nada Gamelan Kiai Kanjeng adalah solmisasi yang belum sempurna: sel, la,
si, do, re, mi, fa, sol. Penyempurnaan musik mereka terus dilakukan.
Pelarasan nada ini oleh penata musik Novi Budianto pada mulanya dipilih
berdasarkan pengalaman menata musik-puisi Emha Ainun Nadjib sejak
bersama di teater Dinasti. Ini membuat Kiai Kanjeng bukan sekadar
kelompok musik. Kiai Kanjeng adalah kelompok musik yang bisa digambarkan
melalui kerangka plus.

Selain musik, Kiai Kanjeng dan Cak Nun berusaha membangun harmonisasi
kelompok-kelompok dalam masyarakat lewat ceramah atau dakwah. Mereka
pernah pentas di Bojonegoro. Pentas itu untuk mempertemukan para
blandong dengan pemerintah (Perhutani – pengelola hutan) yang saat itu
sedang berkonflik. Ketika Kiai Kanjeng dan Cak Nun pentas di Kalimantan,
tampil diantara masyarakat Dayak dan Sampit yang sedang bertikai. Di
situ, Kiai Kanjeng ikut memberikan pelembut jiwa melalui lagu, Wirid,
dan sholawat mendampingi proses pencegahan konflik
vertikal-horisontal. Karena itu Kiai Kanjeng adalah kelompok musik yang
ikut mengerjakan upaya pencegahan konflik.

Kiai Kanjeng juga menembus batas perbedaan keyakinan. Pernah tampil
di komplek Gereja Pugeran Yogyakarta bersama umat Katolik dan
menciptakan kolaborasi musikal dengan mereka, namun tetap saling menjaga
koridor keyakinan masing-masing. Cak Nun menyampaikan dasar-dasar
toleransi antar umat beragama, bahkan ikut memberikan penjelasan tentang
konsep jihad yang selama ini banyak disalahpahami. Saat itu, laki-laki
yang beristrikan penyanyi Novia Kolopaking ini, menguraikan makna
ideologis ungkapan Assalamualaikum . Dengan begitu umat Katolik juga terbantu memahami.

Kiai Kanjeng sudah mengembara jauh di banyak negara; negara Asia,
Eropa, Amerika. Di Napoli (7 April 2005) mereka mendapat penghargaan
luar biasa oleh masyarakat di sana. Di sana notasi Kiai Kanjeng dari dua
karyanya, Pembuko I dan Pembuko II, dan sebuah alat musiknya yakni
Demung diabadikan di museum musik klasik dunia. Di tempat itu pula dulu
Guiseppe Verdi, Robert Wagner dan Antonio Vivaldi pernah mempersembahkan
karya-karya mereka dan kemudian meninggalkan alat musik mereka.

Konsep musik Kyai Kandjeng tak banyak ditampilkan oleh media-media
Indonesia. Tak populer di infotainment Indonesia.Namun musik Kiai
Kanjeng adalah kelompok musik yang dekat dengan masyarakat yang
didatanginya. Lokal maupun dunia. Kelompok ini bisa menembus batas dua
konsep musik dan batas hati atas keyakinan dan prinsip.


Keterangan :
Isya = sholat lima waktu, sekitar jam 7 malam.
Blandong = penebang kayu di hutan –terutama oleh masyarakat sekitar-,
terutama untuk kepentingan domestik (misal; kayu bakar untuk memasak). (indah)

Untuk share artikel ini klik www.KabariNews.com/?36708

Untuk melihat artikel Seni lainnya, Klik disini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :