KabariNews – Terlahir dari keluarga miskin, Kiswanti tak putus asa dengan hidupnya. Hijrah dari Yogyakarta ke ibukota, ia banting tulang bekerja dari pembantu rumah tangga sampai berjualan jamu keliling, sambil menggenggam mimpi kecilnya membangun perpustakaan. Kini, mimpi itu telah terwujud di Desa Lebak Wangi, Parung. bernama Warabal. Inspiratif!

Hari menjelang siang. Kelas pagi di Warung Baca Lebak Wangi (Warabal) baru saja bubar. Aktivitas agak lowong. Tampak Kiswanti sedang berbenah sedikit di kantor kecilnya. “Ya, Anak-anak baru saja selesai belajar, dan nanti pukul 2 siang ada kelas lagi,” jelas Kiswanti sambil menyilakan KABARI masuk.

Sejauh mata memandang, terdapat ribuan buku di ruangan besar. Ya, perpustakaan itulah mimpi Kiswanti mewujud jadi kenyataan. Adanya perpustakaan ini pembuktian diri Kiswanti, walaupun tidak ada sekolah, tetapi jika rajin belajar dan membaca buku maka tetap akan memiliki banyak pengetahuan.

Kiswanti, sapaan akrab Kiswanti, seorang muslim yang sadar akan ajaran agamanya, bahwa siapapun yang berilmu kelak akan diangkat derajatnya. Kiswanti pun berkisah memiliki perpustakaan merupakan cita-citanya dari kecil. Anak pertama dari lima bersaudara pasangan Tresno Suwarno dan (alm) Tumirah ini, dari kecil hidup di tengah keluarga miskin di Yogyakarta. Orang tuanya tak mampu menyekolahkannya sampai tuntas, karena biaya sekolah sekitar 1970-an sebesar Rp.35 dengan SPP Rp10 /bulan.

Anak-anak sedang membaca di rumah baca WarabalSang Ibu mencari nafkah dengan berjualan jamu, sedangkan bapaknya hanya penarik becak. Kiswanti tergolong anak yang tidak bisa diam. Kreatif dan aktif sekali. Ada saja yang dikerjakannya, Melihat karakter Kiswanti cilik inilah, maka Bapaknya segera mencari akal untuk ‘menenangkannya’. Ia memberi Kiswanti kesibukan daripada mengacaukan barang jualan ibunya. Sang Bapak membuat gunting-guntingan huruf, lalu menyusunnya menjadi huruf. Tiap Sabtu saat stasiun Televisi, kala itu hanya ada TVRI, menayangkan acara Cerdas Cermat, Kiswanti pasti menontonnya. Tanpa disadari, kegiatan ini membuatnya gemar belajar. Kecerdasannya terasah. Pertanyaan-pertanyaan sederhana di acara itu dapat dijawabnya. Bapaknya juga sering mengajaknya mengikuti Dunia Dalam Berita TVRI tentang kabar dari berbagai daerah. Ini semua menambah kosa kata Kiswanti.

Beranjak besar, tatkala teman-temannya masuk SD, Kiswanti juga ingin bersekolah. Tekadnya bersekolah sangat kuat, namun sayang langkahnya terjegal oleh kesulitan ekonomi. Orang tua nya tak dapat membayar uang sekolah. Dan karena itulah, anak-anak sebayanya tidak mau main dengan Kiswanti. Ia lebih sering main sendiri di sebuah kuburan dekat pohon asem di Yogyakarta. Setiap ada pesta pernikahan dan Khitanan, orang selalu menaruh makanan sebagai sesajen di sana.

Karena itu makanan baru dan enak, Kiswanti kecil pun tak urung suka mengambil makanan sesajian itu, Orang yang kebetulan lewat melihatnya jadi ketakutan. Tapi Kiswanti tak peduli, karena makanan itu memang enak dimakan. Hingga suatu hari lewat seorang pegawai dari Dinas Pendidikan setempat. Ia menengok Kiswanti sedang bermain di kuburan.

Ada yang bilang kalau anak itu aneh. Sang Bapak dari Dinas Pendidikan itu bertanya mengapa juga main di kuburan. Kiswanti menjawab dengan jelas, kalau tak ada teman yang mau bermain dengannya, lantaran ia tidak bisa bayar SPP. Bapak itu balik berkata, “Tidak takut kesambet setan?” Dengan cerdas Kiswanti menjawab, kalau setan tidak suka sama dia, sebab temannya yang sesama manusia saja tidak suka padanya.

Lantas Bapak itu menyuruhnya bermain ke perpustakaan. Tetapi apa lacur? Untuk meminjam buku perpustakaan, lagi-lagi, harus membayar seperti halnya sekolah. Kiswanti yang waktu itu baru kelas 4 pun harus gigit jari kembali. Kiswanti pun disuruh mencatat buku perpustakaan yang dipinjam pakai. Kegiatan ini terus dilakukannya sampai lulus kelas 6 SD pada 1980.

Selepas SD, Kiswanti tidak melanjutkan ke jenjang lebih tinggi, Dia belajar sendiri saat anak-anak lain sekolah SMA. Tak sekolah, tetapi Kiswanti rajin mengoleksi buku-buku sekolah dan pada 1987, koleksi bukunya mencapai1.500 buku, dan kebanyakan buku pelajaran. Suatu saat Kiswanti dibelikan majalah bobo oleh orang tuanya dan mulai saat itulah dia berkorespondensi dengan salah seorang teman di Jakarta.

Dari Pembantu Rumah Tangga Sampai Jualan Jamu

Anak-anak bermain dan membaca di WarabalMaret 1987 Kiswanti hijrah ke Jakarta. Kebetulan teman koresponden mempunyai Bapak yang bekerja sebagai sekuriti di rumah orang bule. Bingung mau kerja apa, Kiswanti memilih jadi pembantu di bagian pembersihan furnitur. Tanya dinyana, ia seperti menemukan surga. Pasalnya, si mpunya rumah memiliki koleksi buku yang banyak sekali. Dia memberanikan diri meminta kepada majikannya agar upahnya dibayar dengan buku. Ternyata permintaannya itu tak segera dikabulkan. Sang Tuan tak paham akan maksud Kiswanti sesungguhnya. Namun teman pembantu lainnya bantu menjelaskan, dan dia pun mendapatkan upah buku.

Sayangnya, Kiswanti hanya 3 bulan saja bekerja di sana, karena visa orang bule tersebut habis. Ia pun berpikir untuk pulang kampung saja. Namun, di jalan ia bertemu Ngatmin, pemuda yang sekarang menjadi suaminya.

Ngatmin, saat itu, bekerja sebagai kuli bangunan. Ia menawarkan pekerjaan kepadanya. Kebetulan saat itu ada orang Korea yang sedang mencari tukang cuci. Kiswanti menerima tawaran tersebut. Pas kerja baru tiga minggu, Ngatmin ternyata menaruh hati dan berniat meminangnya.

“Saya bilang, jika ingin menikahi saya, ada syaratnya. Salah satunya, gaji saya untuk membangun perpustakaan gratis. Itu cita-cita saya,” kata Kiswanti. “Akhirnya kami menikah dan pada 1989 suami membeli tanah di Parung. Pada 1994, kami pindah ke sana, tepatnya di Jl. Kamboja No. 71, Parung, Kab. Bogor, Jawa Barat.”

Peraih anugerah Pengabdi Budaya Baca di Kemendikbud ini segera seolah menemukan kampungnya kembali semasa kecil. Banyak anak yang tidak bersekolah dan kehidupan mereka memprihatinkan. Sejauh pandangan, Kiswanti melihat banyak anak sedang bermain atau kemudian berselisih paham mengeluarkan kata-kata binatang. Maklum, di sini dulunya sangat kental dengan dunia hitam prostitusi.

Nah, karena hobinya suka membaca, Kiswanti pun mencoba menularkan kegemarannya membaca. Ia membuka sebuah taman bacaan di teras rumahnya yang memunyai luas 9 m2. Pada 1997 sampai 2005, kegiatan dipusatkan di teras rumah. Setiap minggu ia berkegiatan, sempat berkeliling dengan sepeda untuk menularkan virus membaca sambil berjualan jamu.

“Di boncengan depan isinya jamu, di belakang isinya buku. Banyak anak dan warga yang tidak tahu jika tidak berkeliling. Saat itulah, banyak anak yang menyukai kehadirannya dengan buku-buku. “Saya percaya melakukan hal ini, karena saya percaya, siapa yang mau pintar membaca buku, sehat minum jamu, maka jangan merasa takut beli jamu, karena uangnya untuk beli buku dan buku itu untuk Anda,” kata Kis, manis.

Pada 2005, Kiswanti harus menghentikan kegiatan berjualan jamu sambil bersepeda bawa buku karena sakit livernya semakin parah. Mungkin saking kecapaian, pikirnya. Selama dua tahun perawatan, ia kembali sehat dan mulai beraktivitas lagi. Tapi tidak lagi bersepeda. Pikirnya, mungkin ini teguran dari Yang Maha Kuasa karena dia sering melaparkan diri. Bukan melakukan puasa, melainkan untuk menyisihkan uang guna menambah koleksi bukunya.

Tentangan Dari Masyarakat, Tapi Terus Berlanjut

Pada 2006, tak disangka rumah baca Warabal berkembang dan menempati lahan 4X10 yang merupakan sumbangan dari Majelis Nurul Qolbu Jakarta. Minat baca anak-anak di lingkungannya makin berkembang. Tetapi ada satu ganjalan, Usut punya usut, banyak orang tua yang ternyata tidak suka anaknya gemar membaca. Kata Kiswanti, mereka bilang kalau anak-anak ya bacaannya buku pelajaran, sedangkan buku cerita itu tidak perlu. Mereka memarahi anaknya ketika pulang membawa buku cerita.

Pernah peraih Darmin Award 2007 untuk kategori Usaha Kecil ini bersitegang dengan warga saat ingin mengajak anak didiknya pergi ke Monas. Maksudnya mulia, yaitu ingin mengenalkan Monuman Nasional yang menjadi ikon Kota Jakarta itu ke anak didiknya. Namun para orang tua menentang. Kegiatan itu dianggap pemborosan dan buang-buang uang saja.

Anak-anak sedang membaca di rumah baca Warabal-1Banyak anak, kata Kiswanti, disuruh beli beras, meminta upah untuk ditabung demi bisa pergi ke Monas. Orang tua menolak. Bahkan Kiswanti dicibir. Mereka bilang, orang tidak sekolah, pembantu rumah tangga kok menyuruh orang nabung! Tak pelak, Kiswanti stres bukan kepalang. Bahkan setiap pagi dia menemukan bangkai di depan rumah. Ketika bangun tidur, didapat sekeliling rumahnya ada beras kuning yang dia sendiri tidak tahu apa maksudnya itu.

Namun untung ada salah satu donatur yang mau membayarkan segala macam ongkos Kiswanti beserta anak didiknya ke Monas. Jadilah ia bersama 75 anak didik pergi ke Monas. Dari situ anak-anak mulai bercerita kepada orang tua mereka, hingga kemudian tumbuh penerimaan terhadapnya. Dari 2005, Rumah Baca Warabal mengadakan olimpiade kecil-kecilan. Sering digelar lomba mendongeng, kreativitas dari bahan bekas, dan lainnya. Syahdan, orang-tua anak-anak itu pun mulai menyadari kalau belajar itu tidak mesti didapat melulu dari buku pelajaran sekolah.

Seiring berjalannya waktu, Warabal semakin berkembang. Rumah Baca Lebak Wangi ini selain menyediakan buku-buku, juga membuat program unggulan berupa taman bacaan. Namun untuk menghidupkan suasana di sana, dibuatlah workshop, peluncuran buku dan kegiatan lain yang sudah memiliki anggarannya. Untuk Warabal sendiri tidak ada anggaran khusus, karenanya, rumah baca ini membentuk kreativitas di dalamnya, dari mengadakan pendidikan usia dini, pendidikan Al Quran, paguyuban sebulan sekali yang mewadahi kegiatan beraneka macam. Warga dari lintas agama pun ikut terlibat.

“Dari mulanya kegiatan hanya pada Minggu saja, yakni mengenalkan huruf dan angka kepada anak-anak, kini ada gagasan untuk membuka TK atau PADU yang sekarang dikenal sebagai PAUD. Tetapi, siapa yang mengajar? Ternyata ada saja relawan yang bersedia mengajar di sini. PAUD pertama buka 9 Juli 2007, kini jumlahnya telah bertambah dari 60 orang menjadi ratusan siswa, Total pengajar ada 20 orang. Adapun koleksi buku di sini 70 persen adalah koleksi pribadi dan selebihnya buku sumbangan. Kami menerima buku sumbangan, baru dan bekas kami sambut dengan baik,” kata perempuan kelahiran Bantul, DI Yogyakarta, 4 Desember 1963 ini.

Warabal kini menyediakan perpustakaan keliling yang beroperasi tiap Minggu sore sebagai bentuk kreatifitas perpustakaan Warabal yang buku-bukunya dapat dipinjam secara gratis oleh masyarakat sekitar. “Perpustakaan sekolah di wilayah ini tidak memiliki banyak buku cerita. Warabal memberikan alternatif pilihan untuk membaca bagi anak-anak, dibuka dari pagi sampai sore, gratis, bisa melayani hingga Kecamatan Parung,” tutur Kiswanti. “Semoga segera ada warabal-warabal lainnya sehingga minat baca terus menyebar di kalangan masyarakat.” (1009)

Klik disini untuk melihat majalah digital kabari +

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/77600

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :

lincoln

 

 

 

 

kabari store pic 1