Mudik sepertinya sudah menjadi Hajatan Nasional kala lebaran tiba. Penduduk perantauan di kota-kota besar umumnya memilih pulang kampung, menemui sanak famili sambil bersilahturahmi. Tahun 2007 ini sebanyak 14 juta perantauan Jakarta dipastikan meninggalkan kota menuju kampung halaman. Tak terbayangkan, sepanjang jalan dari kota hingga ke pelosok-pelosok desa niscaya ramai dipenuhi hiruk pikuk kendaraan.

Sejak seminggu hingga lebaran tiba, pintu-pintu keluar Jakarta, terutama terminal bus dan stasiun kereta ramai dijejali para pemudik. Tak hanya adu cepat, terkadang mereka harus berani adu kuat sekedar untuk mendapatkan tempat duduk. Di stasiun kereta ekonomi seperti Jatinegara dan Senen, sering dijumpai pemandangan ekstrem. Para penumpang kelas menengah ke bawah ini harus berjibaku dan saling sikut untuk menerobos pintu gerbong. Tak jarang anak-anak dimasukkan lewat jendela oleh bapaknya sementara si Ibu menangkapnya dari dalam gerbong.Tak ambil pusing bahwa yang baru saja dilempar itu manusia, bukan barang, pokoknya
mereka melakukan apa saja agar terangkut. Hal tersebut dialami Bapak Saptono, seorang karyawan swasta yang hendak mudik ke Kudus, Jawa Tengah. Ia memboyong Istri dan anaknya yang berumur 2 tahun.

“Saya tidak sempat booking tiket kereta api, karena baru dapat jatah cuti dari kantor 4 hari sebelum lebaran. Jadi saya terpaksa beli di loket, di Stasiun ternyata antrian sudah mengular, padahal saya datang pagi-pagi, saya antri jam 7 pagi untuk pemberangkatan jam 11 siang dan masih tidak kebagian juga. Tetapi, akhirnya saya bisa berangkat sekitar jam 3 sore” tutur Saptono lega.

Urusan tiket memang menjadi kisah rumit tersendiri. Setiap tiket harus dibeli jauh-jauh hari sebelumnya. Bahkan sebulan menjelang hari H Lebaran harus sudah dipesan. Kalau tidak, terpaksalah beli di tempat dan siap-siaplah antri atau berebutan. Banyak calon penumpang yang terpaksa menginap di stasiun atau terminal demi mendapat selembar tiket.

Kisah-kisah memilukan para pemudik ini kerap dimanfaatkan orang-orang pencari untung. Seorang pemudik asal Jawa Timur, Sutarto, mengisahkan pengalamannya saat tiba di stasiun. Ia disambut puluhan calo yang menawarkan tiket dengan harga menjulang. Yang paling ia takuti, calo-calo itu kadang memaksa sambil meneror bahwa tiket di dalam sudah habis.

“Saya sih tidak pernah beli tiket sama calo.Selain harganya mahal, mereka juga suka membohongi penumpang bahwa tiket habis. Tinggal tersisa yang punya mereka saja. Padahal kalau kita ke dalam, pasti masih ada, meski antrinya nau’zubillah (keterlaluan-red)” katanya mengenang.

Berhasil mendapatkan tiket terkadang bukan berarti jalan sudah “mulus”. Masih ada “ujian” lain, yakni berebut naik ke kereta. “Begitu kereta datang, serentak semua penumpang menghampiri pintu kereta. Kami harus berjuang mati-matian sekedar bisa masuk. Belum lagi bawaan penumpang gede-gede dan badan besar bedesak-desakan. Pokoknya gila deh penuh banget.” ujar Saptono menerangkan “ujian” yang dimaksud sambil menuturkan tentang beberapa rekannya yang tertunda berhari-hari atau bahkan gagal mudik. “Banyak loh penumpang yang sudah pegang tiket tapi tidak terangkut” katanya menambahkan.

Keadaan semrawut seperti itu sering juga dimanfaatkan copet. Mereka menjalankan aksinya dengan berpura-pura menjadi penumpang. Masalah copet memang menjadi persoalan serius. Setiap musim mudik, ada saja korban yang melaporkan kecopetan.

Kendaraan Pribadi

Masyarakat yang tahu repotnya berkendaraan umum, lebih memilih menggunakan mobil ataupun motor pribadi. Berkendara sendiri memang relatif lebih leluasa dan terbebas dari masalah-masalah klasik “permudikan”. Yang jelas, mereka tidak perlu antri tiket atau berjubelan di terminal.

Namun demikian, berkendaraan pribadi tidak serta merta menjadikan segalanya lebih aman. Jika persiapan tidak matang, tentu bisa berakibat fatal. Untuk meminimalkan resiko kecelakaan, Suparno, seorang kurir perusahaan swasta misalnya, melakukan persiapan yang agak _njlimet- rumit. Sehari sebelum berangkat, ia membawa motornya ke bengkel untuk pengecekan total. Mulai dari tekanan ban sampai kondisi mesin ia perhatikan dengan saksama. Perlengkapan standar seperti helm, sarung tangan, jaket, kaca mata hitam, dan uang tunai tidak boleh lupa.

Suparno menceritakan pengalamannya saat mudik naik motor. Ketika itu kantornya menggelar acara mudik bersama dengan tujuan Yogyakarta. Ia ikut sambil membawa serta istri dan dua anaknya. Anak balitanya duduk di belakang digendong istri. Sementara kakaknya ditempatkan di depan.

Kembali dikisahkan Suparno, rombongan berangkat dari titik yang sudah ditentukan panitia. Ada sekitar 70 pengendara motor yang ikut serta. Tepat jam 8.00 rombongan berangkat melewti jalur Pantura (Pantai Utara Jawa). Pantura terkenal sebagai jalur tengkorak alias berbahaya. Jalannya padat berliku dan sering terjadi kecelakaan.

“Berangkat pagi, kami sampai Yogya baru keesokan malamnya. Kami sengaja berangkat pagi, karena menghindari papasan dengan bus malam. Tau sendiri kan bus malam kalau jalan, was wes wos(ngebut-red). Kami gunakan waktu malam untuk istirahat.” katanya menjelaskan seputar alasannya berangkat pagi hari.

Setelah tiga jam perjalanan rombongan sampai di sekitar Karawang dan masih ratusan kilometer yang harus dilalui menuju Yogyakarta.

“Yang bikin capek sebenarnya cuaca panas dan macet, apalagi pas di jalur Pantura” kata parno manambahkan.

Selanjutnya, tiga jam dijadikan selang waktu beristirahat. Selama jeda istirahat dimanfaatkan setiap anggota rombongan untuk mengecek kondisi motor dan melepas penat sejenak.

“Naik motor selama tiga jam nonstop itu luar biasa capeknya. Badan pada pegel semua. Kami beristirahat sekitar 30 menit, sekedar minum, makan dan mengecek motor” ujar Suparno.

Di tengah perjalanan, mereka sering bertemu dengan pengendara motor lain. Tak pelak lagi mereka bergabung bersama rombongan dan saling bercanda selama perjalanan.

“Itu wajar saja, karena saya kira mereka juga butuh teman di perjalanan, tapi soal koordinasi, mereka tentu bukan bagian dari kita” tuturnya saat menjelaskan banyaknya pemudik lain yang bergabung di tengah jalan.

Ketika malam tiba, rombongan motor ini memilih tempat atau restoran dengan sarana cukup seperti tempat parkir, toilet, tempat shalat, penginapan atau ruangan sekedar merebahkan badan. Jam empat pagi selepas Azan Shubuh barulah perjalanan kembali dilanjutkan. Dari sini tujuan Jogja tinggal separoh perjalanan. Biasanya menjelang Mahgrib rombongan sudah memasuki kota Yoyakarta.

Lalu bagaimana sih perasaan mereka setelah sampai ke tempat tujuan? Baik Saptono maupun Suparno mengungkapkan, bahwa kepuasan dan kebahagian bertemu keluarga saat lebaran tak ternilai harganya.

“Begitu kami sampai dan bertemu keluarga, rasanya bahagia sekali. Yang jelas kami langsung melepas kangen dengan ngobrol dan cerita-cerita. Tak ketinggalan membuka oleh-oleh yang kami bawa dari Jakarta” kata mereka menimpali.

Pakem lebaran di Indonesia memang pulang kampung, sungkeman dan sekedar bertemu keluarga atau silaturahmi. Dan demi hal itu, banyak orang rela melakukan hal ekstrem, naik motor sejauh ratusan kilometer atau berjubelan di atas kereta. Yang jelas, kita harus pandai-pandai menjaga keselamatan. Jangan sampai alih-alih mau berlebaran di kampung, malah berlebaran di rumah sakit.

Tips mudik dengan kendaraan pribadi :

  1. Pastikan kendaran Anda dalam kondisi baik
  2. Bawa ban dalam cadangan (motor) atau ban serep setidaknya satu buah
  3. Bila naik motor, jangan lupa anda dan penumpang anda harus menggunakan perlengkapan keamanan standar, seperti helm, jaket, sarung tangan, kaca mata anti silau. Jangan memakai sandal, karena bila terjadi kecelakaan, kaki anda tidak terlindungi dengan baik.
  4. Bawalah surat-surat kendaraan dengan lengkap, jangan sampai ketinggalan
  5. Bawa bekal secukupnya, terutama air, meski bisa dibeli dismebarang tempat, akan lebih baik membawa sendiri. Ingatlah, sepanjang perjalanan anda membutuh asupan cairan yang cukup agar tidak dehidrasi
  6. Pastikan kecepatan anda tidak lebih dari 60 atau 80 km perjam, meski kondisi jalan aman dan sepi, mengebut bukanlah tindakan bijak.
  7. Bila anda mengantuk, segeralah beristirahat