Masyarakat sudah tahu Sumpah Pemuda 1928 diselenggarakan di Jakarta dan menghasilkan

tiga asas utama, Satu Nusa, Satu Bangsa dan Satu Bahasa.

Kongres tersebut memang fenomenal, karena selain untuk pertama kalinya diperdengarkan lagu Indonesia Raya gubahan W.R Soepratman, kongres juga dihadiri oleh perwakilan pemuda-pemuda nusantara. Sehingga sangat mempresentasikan ke-Indonesiaan.

Namun jauh dari kehingar-bingaran Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, ada satu peristiwa yang mungkin luput dari perhatian. Yakni manifesto Politik 1925 yang dikumandangkan oleh mahasiswa-mahasiwa Indonesia di Leiden, Belanda.

Mereka terhimpun dalam organisasi Perhimpunan Indonesia (PI). Kebanyakan anggotanya adalah para pelajar atau mahasiswa Indonesia di Universitas Leiden. Menurut catatan, ketika didirikan, saat masih bernama Indische Vereniging atau Perhimpunan Hindia tahun 1908, PI bukan organisasi berhaluan politik, tetapi sosial kemasyarakatan. Semacam wadah  silaturahmi antar sesama mahasiswa Indonesia di Belanda.

Organisasi ini mulai berubah ketika para pemuda seperti Hatta, Prof Mr Sunario, atau Iwa Kusumasumantri bergabung. PI berani menyuarakan ide-ide anti kolonial lewat berbagai  kritik di majalah dwibulanan “Indonesia Merdeka” yang mereka terbitkan sebagai pengganti majalah “Hindia Poetra”.

Majalah yang harga berlangganannya 2,5 gulden setahun ini diasuh langsung oleh Mohammad Hatta. Dalam dua edisi pertama, Hatta menyumbangkan tulisan kritik mengenai praktek sewa tanah industri gula Hindia Belanda yang merugikan petani.

Majalah ini secara terus menerus menyebarkan ide-ide persatuan dan anti kolonial. Dalam edisi pertamanya, editorial majalah ini menulis: Indonesia Merdeka adalah suara Indonesia muda yang sedang belajar, suara yang pada waktu ini mungkin tidak terdengar oleh penguasa, tetapi pada waktunya nanti pasti akan didengar. Salah besar jika menganggap remeh suara itu sebab di belakang suara itu terdapat kemauan besar untuk merebut kembali hak-hak, cepat atau lambat, untuk menetapkan kedudukan atau keyakinan di tengah-tengah dunia, yaitu Indonesia Merdeka.Semua karangan yang diterbitkan Indonesia Merdeka, kemudian sampai ke tanah air dan secara sembunyi-sembunyi dijadikan bahan bacaan populer oleh kalangan muda Indonesia.

Dalam salah satu edisi Indonesia Merdeka, muncul sebuah tulisan yang dikenal dengan “Manifesto 1925” isinya menyangkut ketegasan sikap:

1. Rakyat Indonesia sewajarnya diperintah oleh pemerintah yang dipilih mereka sendiri;
2. Dalam memperjuangkan pemerintahan sendiri itu tidak diperlukan bantuan dari pihak mana pun dan;
3. Tanpa persatuan kukuh dari pelbagai unsur rakyat tujuan perjuangan itu sulit dicapai.

Menurut sejarawan Prof. Sartono, Manifesto 1925 ini justru dianggap sebagai sebuah  gerakan yang lebih dinamis. Kata Prof. Sartono, dari segi tujuan, Manifesto Politik 1925 lebih luas cakupannya. Karena selain menyuarakan persatuan, konsep asasnya juga menyertakan kepercayaan diri yang kuat.

Sementara sejarawan LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) Asvi warman Adam menilai, Manifesto Politik PI 1925 melahirkan tiga konsep, unity (persatuan), equality (kesetaraan), dan liberty (kemerdekaan).

Dipercaya, kemunculan manifesto tersebut tak begitu mengusik pemerintahan Belanda. Lagipula ketika itu wacana Politik Balas Budi sedang berkembang di Belanda.

Namun ketika pecah pemberontakan komunis di Jawa bulan November 1926, Pemerintah Belanda mencurigai PI terlibat. Semenjak itu pula gerak-gerik PI diawasi secara ketat.  Belanda curiga, PI mendapat sokongan dana dari Samaoen, pendiri Partai Komunis  Indonesia.

Melalui residen di Indonesia, para orang tua mahasiswa PI yang berkerja sebagai ambtenaar (pegawai perusahaan Belanda-red), diancam akan dipecat dengan kehilangan hak pensiun, jika ia masih saja mengirim uang untuk anaknya yang dituding telah menjadi komunis  tersebut. Sedangkan orang tua para mahasiswa yang tidak ambtenaar, juga diperingatkan perihal anaknya yang dikatakan sudah menjadi komunis. Hatta termasuk salah seorang yang tidak menerima kiriman uang lagi dari orang tuanya, walaupun orang tuanya bukan ambtenaar Belanda.

Pada September 1927 Hatta, Abdul Madjid, Nazir Pamuntjak ditangkap di Den Haag dan dibawa ke penjara Casiusstraat. Mereka dituduh menjadi anggota perkumpulan terlarang, terlibat dalam pemberontakan, dan menentang kerajaan Belanda. Bantuan uang dari Samaoen dijadikan persoalan dalam pengadilan, dan PI dituding menerima bantuan uang dari Moskwa. Demikian pula konvensi yang dibuat Hatta dengan Samaoen pada akhir Desember 1926, dituding sebagai kerjasama untuk melawan pemerintah kolonial.

Dalam sidang pengadilan Den Haag, 1928, Hatta mengatakan, PI menjalankan daya upaya dalam menguatkan kesatuan pikiran bagi seluruh Bangsa Indonesia. Dengan kata lain, semangat persatuan dan kesatuan Bangsa Indonesia itu sudah dimulai oleh para mahasiswa di negeri seberang laut tersebut. Hatta menegaskan kembali konflik kepentingan antara negara penjajah dan daerah jajahan.

Untuk share artikel ini klik www.KabariNews.com/?35629

Untuk melihat artikel Utama lainnya, Klik di sini

Klik di sini untuk Forum Tanya Jawab

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

________________________________________________________________

Supported by :