Ketika didirikan, semua negara yang menandatangi piagam PBB tentu sepakat dan mendukung keberadaan PBB. Apalagi saat itu dunia dilanda kecemasan kalau-kalau perang dunia meletus kembali.

Didorong pula pula dengan kenyataan bahwa salah satu tujuan utama PBB adalah menciptakan perdamaian dunia, bagi sejumlah negara, terutama negara-negara kecil korban perang, bergabung dengan PBB
adalah ’perlindungan yang aman’. Meski saat itu mereka ‘terpaksa’
menerima maklumat tentang keistimewaan lima negara yang memiliki hak
veto.

Sejalan waktu, situsai dunia kini berubah. Paham demokrasi tumbuh
menjamur. Nyaris semua negara, semua organisasi menjadikan demokrasi
sebagai ideologi. Keputusan diambil secara musyawarah mufakat atau
melalui suara terbanyak.

Kita tengok organisasi Uni Eropa, Liga Arab, atau ASEAN,
tak ada satu negara pun yang menjadi dominan atau berhak memutus suatu
perkara tanpa musyawarah. Semua dilakukan secara kolegial. Tapi yang
terjadi di PBB adalah sebaliknya. Semua keputusan PBB
dapat diveto oleh negara “The Big Five” berdasarkan kepentingan
tertentu. Tak ada demokrasi, hak veto telah menihilkan demokrasi itu
sendiri. Kenyataan paling pahit, PBB ternyata dikuasai oleh sekelompok elit negara.

Hal itulah yang kemudian ‘digugat’ oleh negara-negara non “The Big Five”. Temasuk oleh Indonesia yang sempat keluar dari PBB pada 7 Januari 1965 karena memasukan Malaysia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB yang menurut Soekarno adalah titipan Inggris. Patut diakui, memang ada sejumlah kelemahan yang secara serta merta melekat di PBB, terutama ketika menangani krisis.

Pertama Kelemahan Struktural, walaupun PBB menegaskan dirinya organisasi yang berprinsip pada persamaan kedaulatan dari semua anggota (pasal 2 ayat 1) tetapi PBB
masih mengklasifikasikan anggotanya tersebut ke dalam dua kelompok yang
memiliki kedudukan yang berbeda, yakni kelompok negara-negara besar
(The Big Five) dan kelompok negara-negara tidak besar. Jelas ini tidak
sesuai prinsip-prinsip yang mereka buat sendiri.

Kelemahan Konstitusi, Pada pasal 27 ayat 3 piagam PBB
disebutkan bahwa keputusan dewan akan menjadi sah dan dapat
dilaksanakan kalau mendapat persetujuan sekurang-kurangnya 9 anggota
dari 15 anggota dewan, termasuk seluruh anggota tetap. Kenyataannya,
dewan selalu kesulitan menerapkan keputusan karena selama ini keputusan
dewan tidak pernah tidak bertentangan dengan kepentingan kelima negara
anggota tetap tersebut.

Yang ironis, hak veto ini tak bisa dihilangkan, karena disebutkan
pula bahwa Penghapusan hak veto harus mendapat suara sekurang-kurangnya 9
dari 15 negara anggota Dewan Keamanan, termasuk semua anggota tetap.
Logikanya, tidak mungkin semua negara pemegang hak veto setuju hak
istimewanya dihapus.

Dari kelemahan tersebut, bisa dikatakan nyaris tak mungkin PBB
betul-betul tanggap dalam menangani krisis dunia, karena secara pahit
memang harus dikatakan, semuanya tergantung “The Big Five”.

Maka tak heran, ada sindiran kepada PBB bahwa
secara geopolotik terkait hak veto, anggota tetap membagi wilayah
kekuasaannya. Rusia di Balkan dan Eropa Timur, China di Asia Timur,
Perancis di Eropa, Inggris di Eropa dan Afrika, dan Amerika sebagai
polisi tunggalnya.(yayat)

Untuk Share Artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?35476

Untuk

melihat artikel Utama lainnya, Klik

di sini

Klik

di sini
untuk Forum Tanya Jawab

Mohon beri
nilai dan komentar
di bawah artikel ini

________________________________________________________________

Supported by :