Bila ingin melihat Freeport di Indonesia, tempatnya
ada dua. Satu di Jakarta, tepatnya di gedung 89 Kuningan Jakarta dan di
Mimika- Papua. Kabupaten Mimika beribukota Timika berhawa lembab dan
berada sekitar 2500 di atas permukaan laut (dpl). Bandara Moses Kilangin
dibangun oleh PT Freeport dengan mengabadikan nama orang lokal pertama yang membantu perusahaan tambang asal Amerika Serikat (AS) tersebut.

Timika adalah kota yang sangat biasa. Tak terlihat kalau daerah itu
memiliki pendapatan kedua terbesar setelah Tenggarong (Kalimantan
Timur). Pendapatan asli daerah (PAD) Timika sekitar $350 juta pertahun. Bandingkan dengan rata-rata PAD kota lain di Indonesia yang rata-rata hanya $24 juta pertahun.

Dan semua itu, karena PT Freeport Indonesia (PTFI). PTFI membangun 3 pusat pemukiman: Kuala Kencana, Tembagapura dan Hidden Valley (Aing Bugin). Semuanya di wilayah Mimika. Tapi jantung operasional PTFI
terletak di Grasberg dekat Tembagapura, dengan ketinggian sekitar 3000
dpl. Perjalanan dari kota Timika ke kota Tembagapura (mile 68) ditempuh
2 jam jika melalui jalan darat dan hanya 15 menit jika menggunakan
helikopter.
Kota ini berada di wilayah operasi PT Freeport. Jadi jika ingin berkunjung kesana harus memiliki ijin dari manajemen PTFI. Setelah mendapat ijin, kita akan diberi kartu pengenal tamu (ID Visitor).
Disepanjang perjalanan akan dilewati beberapa pos pemeriksaan. Pertama
di mile 34, mile 50, dan di mile 66. Setiap sampai di pos pemeriksaan
kita diminta menunjukkan kartu pengenal kecuali di mile 34.
Mulai dari mile 50 sudah masuk di wilayah dataran tinggi. Jalan yang
dilalui cukup terjal dan berada di tepi gunung. Jika cuaca cerah atau
tak berkabut, kita dapat melihat pemandangan yang indah di sepanjang
perjalanan. Di tengah perjalanan kita akan bertemu dengan sungai Ajkwa
yang membawa sebagian lumpur tailing (limbah tambang) berwarna
kelabu tua seperti semen. Otomatis tak ada yang bisa dimanfaatkan
penduduk dari aliran sungai ini karena terlalu berbahaya untuk mengaliri
tanaman atau kegiatan lainnya. Siputpun enggan untuk hidup di
sekitarnya.
Sejak mile 50, telinga terasa tuli karena tekanan udara yang menipis.
Selain jalan yang naik turun, kita akan melewati terowongan Hanekkam
dengan panjang 1.050 M berada di ketinggian 2.536 M, terowongan ini
dibuat tahun 1971. Selain terowongan, ada juga jembatan bernama 5 day Bridges, karena dibangun dalam 5 hari.
Di Tembagapura kita akan melihat bangunan yang tertata rapi. “Mirip apartemen di New Orleans,” kata Danang, seorang karyawan PTFI. Kontras dengan Timika. Kantor Management PTFI,
sekolah, masjid dan gereja semua tertata dan baik. Dengan suhu antara
3o C – 20o C kita akan merasakan sejuknya udara segar serta pemandangan
yang indah. Air terjun, derasnya arus sungai, kabut di puncak-puncak
gunung menjadi pemandangan yang mengasikkan dan terlihat masih alami.
Pusat pemukiman lainnya adalah Hidden Valley suatu blok
pemukiman, 2 kilometer di atas Tembagapura. Suhu hariannya mencapai
sekitar 10 derajat Celsius. Sangat kabut. Lokasi ini diapit oleh jurang
dan tebing-tebing bukit batu dan hutan alami. Di ’lembah tersembunyi’
ini bermukim para karyawan yang mengelola pertambangan PTFI.

Semuanya dibangun dengan standar Amerika – bersih, baik dan sangat
layak. Apartemen dibangun dengan luas yang disesuaikan dengan jabatan
karyawan. Semua apartemen dilengkapi pemanas ruangan, lemari es
berukuran besar, mesin cuci dan pengering serta peralatan masak yang
lengkap. Sekolah pun begitu – berfasilitas lengkap. Kolam renang berair
hangat, lapangan tennis, golf dan pengelolaan limbah rumah tangga. Bagi
karyawan yang lajang, ditempatkan di mess berupa bekas kontainer
Olympiade Sydney yang berfasilitas memadai.

Tapi jangan berharap ada pasar di tiga tempat itu. Yang ada hanyalah tiga supermarket
Hero yang dikelola oleh anak perusahaan milik Surya Paloh. Anak
Perusahaan Surya Paloh juga mengatur seluruh kebutuhan rumahtangga
keluarga PTFI. Mulai dari tissue paper,
pasta gigi sampai sabun mandi yang dibagikan setiap bulan. Juga
kebutuhan sarapan, makan siang dan makan malam karyawan dipusatkan di
tempat semacam kantin bernama ‘Melati’ dan ‘Mawar’. Menunya,
internasional dan gratis – tentu dengan kartu karyawan. Mulai sup kacang
merah, salad dan roti Perancis selalu ada. Bagi yang setahun hidup di
sana, menu ala hotel itu sangat membosankan.

Bila sudah berkeluarga, biasanya mereka ke kota Timika seminggu
sekali untuk berbelanja. “Dengan begitu kita bisa masak sendiri apa yang
kita mau,” kata Danti, seorang istri karyawan. Di kantin, jarang
masakan rumahan seperti kari, soto atau sayur asem. Karenanya bila
lajang dan ingin masakan rumahan, bisa makan di café yang terletak di dekat supermarket. “Seporsi gado-gado bisa mencapai Rp 22 ribu,” kata Mona, seorang tamu PTFI. Standar asing untuk makanan lokal.

Apabila maghrib menjelang, dua tempat ini sunyi. Dari luar tampak
lampu-lampu rumah bertingkat menyala, sedangkan di luar gelap dan udara
dingin menyergap. Senyap luar biasa. Di tiap apartemen dan mess tersedia
TV kabel sehingga suasana menjadi tak terlalu sunyi. Sesekali
perusahaan mengundang artis ibukota maupun artis dunia untuk menyanyi di
Tembagapura. Selain itu ada klub Lupa lelah yang berupa resto dan
diskotik untuk para karyawannya.

Tidak ada kendaraan pribadi di Tembagapura maupun di di Hidden
Valley. Semuanya memakai bus dan mobil perusahaan. Karyawan yang harus
bekerja di tambang Grasberg, harus naik lagi memakai kereta gantung
menyusuri gunung. Itu satu-satunya alat transportasi untuk ke lokasi
tambang. Tambang di Grasberg ada dua macam. Tambang terbuka (open pit) dan berada di bawah tanah (deep pit). Tambang itu adalah tambang emas terbesar di dunia dan tambang tembaga kedua terbesar di dunia.

Ada dua jenis karyawan di PTFI. Karyawan (staf) dan non karyawan (non staf). Ada juga karyawan kontraktor di naungan PTFI, seperti Trakindo, UT (United Tractor), SOS dll) Hampir sebagian besar non staf adalah penduduk lokal (Papua). Sedangkan staff
ada yang berasal dari Indonesia, tapi sebagian dari AS, Australia,
Philipina dan beberapa negara lainnya. Sebelum aksi mogok, honor minimal
untuk non staf adalah sekitar US $ 1000 / bulan. Setelah aksi, PTFI menaikkan standar honor minimal non staf hingga mencapai sekitar US $ 2000/bulan. Sedangkan standar staf jauh di atas itu.

Bagi Indonesia, PTFI memang luar biasa
kaya. Apalagi ketika Kontrak Karya I ditandatangani tahun 1967, dimana
sebagian besar berisi pasal-pasal yang menguntungkan PTFI.
Beberapa pasal memang mengalami perubahan di Kontrak Karya II, misalnya
berkenaan dengan pajak. Namun besar royalti untuk Indonesia, tetap.

Tailing tambang ditumpuk begitu saja di sekitar Grasberg.
Tak ada pengolahan lebih lanjut. Beberapa pendaki yang pernah ke
Jayawijaya melalui Tembagapura menemukan basecamp bernama Zebra Wall sudah teramat dekat dengan penimbunan tailing. “ Gak ada setahun lagi, basecamp itu tertimbun, “ kata Mona yang akan ke Jayawijaya.

Di wilayah itu pemanasan global memang berlangsung nyata. Permukaan
yang tertutup salju di Puncak Jaya kian kecil. “Salju sudah naik sekitar
100 meter,” kata Mona yang sudah 20 kali mendaki Puncak Jaya dan
Carstensz – gunung tropis yang diselimuti salju sepanjang masa.
Menipisnya salju Puncak Jaya itu sempat jadi perhatian majalah National
Geografi Indonesia (NGI) dan menuliskannya dalam beberapa edisi.

Beberapa perusahaan Amerika memang sukses melakukan penambangan di
Indonesia. Selain Freeport ada Caltex (sekarang Chevron) bersama-sama
dimiliki oleh Standard Oil of California (SoCal) dan Texas,
(Texaco)adalah perusahaan tambang yang beroperasi di Indonesia dan telah
mendapat keuntungan luar biasa. Namun Freeport memang nyata berada di
wilayah yang masih tak aman. Namun ketidakamanan itu beralasan, bagi
penduduk asli yang menerima akibat langsung dari penambangan.

PTFI memang membawa kemakmuran standar
Amerika bagi sedikit orang yang menjadi karyawan dan pejabat militer di
Jakarta yang menerima uangnya. Namun perusahaan ini mungkin terlalu
sedikit membagikannya terutama kesejahteran bagi sekitar dan kelestarian
lingkungan. Sehingga banyak pihak merasa gerah dan sedikit mengacaukan.
Dan ini pekerjaan rumah penting bagi Indonesia dan Amerika.
Masing-masing pihak harus bekerja keras mencari solusi. Masalah keamanan
Papua bukan hanya masalah Indonesia, tapi juga masa depan Freeport –
yang jadi bagian dari negara Amerika Serikat.

(Indah)

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?37762

Untuk melihat artikel Utama lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

_______________________________________________________________

Supported by :