Tak semua sutradara bisa melakukan seperti yang dilakukan
Daniel Rudi Haryanto. Dia adalah sosok penting di balik film dokumenter
tentang terorisme berjudul Prison and Paradise. Untuk membuat film tersebut, dia memerlukan waktu tujuh tahun.

Salah satu yang membuat film tersebut istimewa adanya adegan
wawancara eksklusif dengan para pelaku utama bom Bali 2002. Dengan
menyaksikan film ini, penonton akan mempunyai cara pandang baru dalam
menyikapi terorisme.

Dalam film tersebut, ada adegan yang menggambarkan dua kondisi yang
paradoks. Misalnya, ketika menampilkan sosok Noor Huda Ismail. Dia
adalah pengamat terorisme dan jebolan Ngruki. Pandangan hidup serta
kehidupan yang dia lakoni berbeda dari para pelaku terorisme yang juga
sama-sama jebolan Ngruki. Noor yang juga penulis buku berjudul Temanku Teroris itu pernah menjadi wartawan di The Washington Post dan sekarang mengaku menjadi muslim moderat.

Sosok Noor berbeda dari Ali Imron, Amrozi, dan Imam Samudera yang
telah dihukum mati sebagai perencana bom Bali 2002 yang menewaskan 202
orang dan melukai 240 lainnya. “Aneh ’kan? Kenapa mereka bisa sangat
berbeda padahal akarnya sama”, (dari Ponpes Ngruki, Red) ujar Rudi.

Rudi yang lulusan IKJ (Institut Kesenian Jakarta) tersebut mengambil angle
yang lain daripada yang lain. Jika dalam teror semua orang membicarakan
kejadian dan aktor yang terlibat, pada film tersebut, yang dipotret
adalah hal-hal yang lebih substansial. Yaitu, dampak bom bunuh diri
terhadap keluarga pelaku, terutama anak-anak mereka. “Bagaimana cara
pandang para teroris itu yang akhirnya merugikan orang-orang terdekat
mereka,” papar Rudi.

Menurut dia, cara pandang itu sangat terkait dengan latar belakang
teroris. Misalnya, pendidikan dan lingkungan. Contohnya, dalam satu
adegan, Imam Samudera berkata lugas, bahwa aksinya itu tidak akan bisa
dipahami orang-orang yang menyebut dirinya sekuler. Sedangkan dari sudut
pandang Noor, teroris itulah yang tidak memahami esensi Islam.

Akar perdebatan sebenarnya satu, yaitu perbedaan cara pandang tentang
jihad dan terorisme. Jika teroris menganggap terorisme berarti jihad,
Noor memandang keduanya tidak bisa dihubungkan. Perbedaan itu semakin
tajam seiring dengan pengalaman hidup masing-masing. Jika setiap hari
teroris belajar jihad dengan mengangkat senjata, Noor yang juga jebolan
Ngruki itu berjihad dengan cara membahagiakan keluarga, yakni dengan
menjadi jurnalis media asing.

Akhirnya, perbedaan itu pun terlihat dalam kehidupan sehari-hari.
Misalnya, dalam film tersebut digambarkan bagaimana Noor menikmati
saat-saat bersenda-gurau dengan anaknya yang masih balita. Si istri
duduk manis di sampingnya sambil sesekali ikut merapikan kereta api
mainan. Suasananya adem ayem, menandakan bahwa hidup mereka sempurna.

Dalam adegan berikutnya, penonton harus siap mengelus dada karena
mendengar ucapan pelaku terorisme dari balik jeruji besi. Ali Imron
berkata dengan santai, bahwa dirinya tidak pernah mendampingi istrinya
melahirkan anaknya.

Meski dia mengaku, bahwa sebenarnya dalam Islam kewajiban suami,
antara lain, melindungi keluarganya. Begitu pula ketika istri Ali Imron,
Nissa, bersama anaknya, Azzah Rohidah, ditanya kesannya selepas
mengunjungi abi (panggilan ayah untuk Ali Imron) di Nusakambangan pada
2007. Katanya, Azzah tidak sekalipun menyapa abi-nya, mungkin marah
karena bapaknya tidak pernah mengunjunginya.

Penggalan-penggalan film selama 93 menit tersebut merujuk pada satu
hal yaitu, korban terorisme bukan hanya mereka yang tewas terkena
ledakan bom, tapi juga keluarga teroris itu sendiri. “Kebanyakan teroris
yang saya temui tidak memberitahukan kegiatannya kepada keluarganya,”
ungkap Rudi.

Film penuh ironi itu dikemas dalam dua kata, yaitu prison (penjara) dan paradise
(surga). Jika bagi pelaku terorisme bom bunuh diri adalah jalan menuju
surga, itu bertolak belakang dengan anggapan keluarga mereka dan
keluarga korban. “Dampak terorisme itu membawa mereka pada penjara
dunia,” tambah Rudi.

Bagaimana tidak, keluarga korban harus menanggung kesusahan karena
tulang punggung keluarga meninggal. Dan bagi keluarga teroris, mereka
harus menanggung beban seumur hidup atas tindakan yang tidak pernah
mereka ketahui sebelumnya.

‘Prison and Paradise’ merupakan film independen pertama
bikinan Rudi. Tidak mudah membuatnya . “Saya wawancara dengan mereka
(teroris) di Nusakambangan selama 14 jam,” tuturnya.

Rudi sendirian masuk ke sel dan mendengarkan Imam Samudera yang katanya
ahli cuci otak tersebut. “Kalau mereka mengatakan sebagai aktivis jihad,
saya aktivis penentang Orba (Orde Baru),” kata sutradara yang bekerja
sama dengan Yayasan Prasasti Perdamaian untuk membuat film tersebut.

Rudi dianggap radikal oleh rezim Soeharto dan sempat ditangkap. Dia
juga ikut merencanakan demonstrasi 27 Juli 1996 dan jatuhnya rezim
Soeharto 1998.

Pembuatan film dimulai pada 2003 di Bali. Beberapa bulan setelah para
teroris ditahan, dia meng-interview mereka. Pada 2007, Rudi mengambil
gambar keluarga para terpidana mati ketika ke Jakarta. “Noor Huda yang
menghubungkan saya dengan keluarga teroris,” jelasnya. Pada 2010, Rudi
merampungkan filmnya.

Waktu pembuatan yang lama itu terbayar dengan diputarnya ‘Prison and Paradise’ pada premiere Dubai International Film Festival (DIFF). Dalam website-nya, DIFF dijelaskan sebagai ajang bergengsi bagi sineas
di Timur Tengah, Asia, dan Afrika. Sejak diadakan (2004) sampai
sekarang, hanya film Garin Nugroho dan Rudi yang pernah masuk ke DIFF.

Dalam waktu dekat, Rudi dan Prasasti Perdamaian mengadakan road show film ‘Prison and Paradise’
di 36 kota di Indonesia. Di antaranya, Bali, Ambon, Solo, Banten,
Medan, Aceh, Poso, dan Pontianak. Mereka juga akan mengunjungi berbagai
macam pesantren, baik yang “shoft” maupun yang “hard”. Film tersebut belum tayang di bioskop-bioskop di Indonesia, tapi malah sudah diputar di kota-kota di India dengan dana dari VIBGYOR.

Selain dijadikan pembuka dalam DIFF, film itu mendapat penghargaan di Official Selection Asia Pacific Screen Award 2011, meraih award
dalam Festival Film Dokumenter Jogja 2010, dan menjadi film pembuka
dalam Cindi (Cinema Digital) Film Festival di Korea Selatan 2011.(Indah)

Untuk share artikel ini klik www.KabariNews.com/?36828

Untuk
melihat artikel Film lainnya,
Klik
di sini


Mohon
beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported
by :