Sebut saja namanya Edo, ia
dulu karyawan sebuah perusahaan yang berkantor di daerah Kuningan
Jakarta Selatan. Ia bekerja sebagai Customer Service dengan status
karyawan kontrak. Sudah dua tahun ia dikontrak dan rencananya pada
tahun ketiga akan ada pengangkatan karyawan. Edo berharap bisa diangkat
menjadi karyawan tetap. Tapi harapan tinggal harapan, jangankan
diangkat, diperpanjang kontraknya pun tidak. Menurut salah satu
temannya di bagian HRD, sang Manajer HRD
enggan mengangkatnya karena ia ‘banci’. Bahkan kekasih prianya, Erick,
yang juga bekerja di perusahaan yang sama, juga dipecat. Edo yakin ada
orang yang tidak suka dengan mereka lalu ‘menyanyi’ di depan Bos
tentang hubungan sejenis mereka.
Kepada Kabari Edo mewanti-wanti
untuk tidak menulis namanya, nama kekasihnya dan nama perusahaan yang
dulu mendiskriminasi dirinya. “Semata-mata, karena saya ingin hidup
tenang sekarang. Soalnya saya sudah berkeluarga sekarang” kata Edo
sembari menyantap sop kambing.
Edo tinggal di Matraman, Jakarta
Timur, persis di belakang Hotel Matra, Jakarta Timur. Ia sudah menikah
dan punya dua anak. Sekarang ia bekerja sebagai marketing sebuah galeri
lukisan. Sementara istrinya bekerja sebagai PNS.

Deskriminasi yang menimpa Edo sesungguhnya hanya sebagian kecil kasus deskriminasi atau kekerasan yang menimpa kaum LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual dan Transgender). LSM Kontras dua tahun lalu merilis laporan kekerasan yang menimpa kaum LGBT,
salah satunya sepanjang tahun 2000-2004 kelompok gay yang sering
berkumpul di Taman Sriwedari, Solo, mengalami tindak kekerasan dari
individu atau sekelompok orang. Lalu hampir setiap kali digelar
pemilihan putri waria, pasti penyelenggaraan itu mendapat ancaman dan
intimidasi.

Bagi Jen Katleya, waria yang kini tinggal di
Bogor, kekerasan fisik barangkali bisa disembuhkan, tapi perlakuan
deskriminatif, teror, pengkucilan, atau ancaman tentu memiliki efek
psikologis yang lebih besar bagi korban. “Jujur Mas, aku sih lebih
memilih dipukul daripada dikucilkan.” kata Jen yang mengaku telah
bersuami seorang pedagang.
Merlyn Sopjan, aktivis waria yang bergiat di IWAMA (Ikatan Waria Malang) mengungkapkan, sebetulnya UU HAM
sudah mengakomodir kesetaraan hak semua warga negara, tapi
implementasinya di lapangan masih sangat lemah. “Pemerintah seolah
menutup mata ketika kami diancam, diteror, dikucilkan, bahkan diserang
kelompok tertentu.” ujarnya.
Menurut Pasal 5 UU No.39 tahun 1999 tentang HAM,
memang jelas tertera di Ayat 1 bahwa : “Setiap orang diakui sebagai
manusia pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta
perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaannya di depan
hukum”. Dan di Ayat 3 : “Setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat
yang rentan, berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih
berkenaan dengan kekhususannya.”

Bicara soal LGBT
di Indonesia memang tak bisa lepas dari masalah kultur, budaya, dan
dogma Agama. Ketiga hal tersebut seolah menjadi sistem yang bertalian
satu sama lain. Ditambah kurangnya pemahaman masyarakat mengenai (LGBT)
membuat stigmatisasi dan diskriminasi terhadap kelompok ini masih
sangat rentan. Stigmatisasi disematkan kepada segala sesuatu yang
berbeda dari pandangan mainstream, misal orientasi seksual,
Stigma ini muncul dari pola dan kultur budaya serta dogma Agama
masyarakat itu sendiri. Yang repot, menjadi legitimasi untuk menyerang,
meneror dan mengancam.
“Satu contoh soal yang saya tak pernah bisa
mengerti, Misalnya, ketika seorang artis mengaku gay, masyarakat luas
serta merta mencapnya abnormal, sakit, menyimpang dan sebagainya.
Buntutnya si artis jadi tidak laku. Padahal, ke-gay-an dia tidak
mengurangi mutunya berakting kan?” tandas Merlyn.
Ketika masyarakat
Indonesia dihebohkan dengan kasus pembunuhan berantai yang diduga
dilakukan oleh Ryan baru-baru ini, sontak persoalan LGBT
menyeruak. Tak sedikit media yang entah sengaja atau tidak, menyuguhkan
stigmatisasi bahwa, seorang Gay rentan melakukan kekerasan. Berbagai LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) LGBT
segera melakukan klarifikasi dengan mengirim rilis ke berbagai media
nasional. Arus Pelangi dan Srikandi Sejati termasuk yang paling giat
meng counter stigma ini. Rido Triawan dari Arus Pelangi
mengungkapkan, di lingkup keluarga, diskriminasi yang paling kentara
adalah ketika mereka dipaksa kawin sesuai konsep heteroseksual. Di
lingkungan pemerintahan, diskriminasi acap kali terjadi saat mereka
dipaksa memilih jenis kelamin laki-laki atau perempuan saat mengurus KTP.
Sementara di media, mereka mengalami penyudutan identitas. Belakangan
penyidikan polisi justru mengarah kepada kesimpulan, Ryan melakukan
pembunuhan itu semata-mata karena ingin merebut harta korbanya.
Motifnya nihil berhubungan dengan orientasi seksual Ryan.

Kekerasan
dan intimidasi memang terjadi kepada mereka, tapi sebenarnya apa yang
sedang terjadi? Menurut Soffa Ihsan dalam bukunya Save Our Sex, Kaum Homo Bersatulah! kaum LGBT
mengalami keadaan kontradiktif dalam dirinya. Di satu sisi mereka tak
bisa mengelak keadaan dirinya namun disisi lain norma-norma masyarakat
menistakan keberadaan mereka. Keadaan ini akhirnya juga menyebabkan
tarik ulur antara rasa ‘nyaman’ dalam dunianya dan rasa ‘berdosa’ dalam
masyarakat. Soffa juga menjelaskan, itu terjadi karena masing-masing
pihak tidak sependapat dalam mendefinisikan tubuh. Yang satu menganggap
tubuh adalah pemberian murni dari Tuhan yang harus dijaga. Pihak yang
lain menganggap tubuh sebagai obyek pasif yang penguasaannya tergantung
si pemilik.
Menyoal perkembangan wacana LGBT,
Pendeta Ester Mariana, pengajar di Fakultas Teologi Universitas Kristen
Krida Wacana, Salatiga, dalam sebuah diskusi di Jakarta, menyebutkan
bahwa kaum LGBT telah mencapai beberapa kemajuan dalam berkehidupan. Menurut Pendeta Ester Mariana, kaum LGBT saat ini sudah menjadi sebuah klasifikasi baru dalam tatanan masyarakat dan ini adalah sebuah kemajuan. Kaum LGBT
telah berani ‘keluar’ dan mengadakan berbagai festival atau acara-acara
terbuka di tengah masyarakat, di luncurkannnya Yoyakarta Principles,
dan mulai bermunculannya LSM-LSM yang menampung dan mengakomodir kepentingan kaum LGBT.
Pencapaian tersebut boleh dibilang sebuah prestasi, dibanding sepuluh
atau dua puluh tahun lalu. Pendeta Ester juga merujuk beberapa nama
waria yang sekarang ini justru eksis dan kiprahnya diapresiasi
masyarakat.

Kembali ke obrolan bersama Edo yang masih
asyik menyantap sop kambing bersama saya di warung kaki lima, Edo yang
sampai sekarang masih berhubungan dengan sesama jenis ini menekankan,
separuh dirinya memang menerima kenyataan bahwa dia mengidap
‘kelainan’, tetapi separuh dirinya yang lain berontak dan menjerit.
“Saya memang sudah begini, terus mau bagaimana? Kenapa mereka membenci
saya?”(yayat)

Lihat video wawancara dengan Jen Kattleya :
www.KabariNews.com/?31831
www.KabariNews.com/?31836
www.KabariNews.com/?31854

Untuk Share Artikel ini, Silakan Klik www.KabariNews.com/?31877

Mohon Beri Nilai dan Komentar di bawah Artikel ini

_____________________________________________________

Supported by :

Borneo