Usia PBB seumuran dengan usia republik. Tapi sebagaimana sejarahnya yang penuh liku, perjalanan PBB hingga mencapai usia sekarangpun dipenuhi banyak pujian sekaligus cercaan.

Patut diakui PBB telah menorehkan banyak
prestasi atas keberlangsungan hidup penduduk dunia. Mereka nyaris
mengisi seluruh ruang kehidupan. Mengurusi bukan saja soal politik atau
perang, tetapi juga masalah air, listrik, wabah penyakit, pakaian hingga
pangan.

PBB adalah satu-satunya organisasi
negara-negara di dunia, yang turut mengatur, mengorganisir, dan menaungi
ratusan negara-negara di dunia. Karenanya postur organisasi ini
haruslah ideal, kuat, dan disegani. Cobalah bayangkan, sebuah dunia
dengan ratusan negara tanpa “naungan” badan dunia yang disegani. Akan
terjadi kekacauan luar biasa.

Sayangnya, kewibawaan PBB bukannya tanpa cela. Terutama menyoal tentang hak veto yang dimiliki oleh lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB.
Hak veto adalah hak istimewa yang dapat membatalkan keputusan/resolusi
Dewan Kemananan. Pemilik hak veto ini hanya lima negara, yakni Amerika Serikat, Inggris, Prancis, China, dan Rusia.

Dunia sepaham saja jika kelima negara tersebut diistimewakan, sebagai penghargaan atas kerja keras mereka mendirikan PBB dan sebagai negara pemenang perang.

Tapi pertanyaannya, masih relevankah hak veto? Bagi kelima negara
pemiliknya, keberadaan hak veto tak bisa diganggu gugat. Apalagi Piagam PBB secara tertulis memuatnya. Bagi mereka, mempertanyakan hak veto berarti menggugat Piagam PBB. Pada gilirannya, hal itu akan berarti menggugat eksistensi PBB.

Sebaliknya, mayoritas warga dunia menganggap keberadaan hak veto
telah kadaluwarsa. Prinsip-prinsip demokrasi yang paling dasar pun akan
menolak hak veto. Bila kelima negara anggota tetap Dewan Keamanan mau
jujur, hak veto sebenarnya sudah tak relevan dengan perkembangan dunia.

Namun dunia belum kiamat. Banyak hal yang masih bisa diperjuangkan.
Setidaknya, ada empat hal yang harus segera diupayakan untuk mereformasi
Dewan Keamanan.

  1. Pembatasan penggunaan hak veto. Hak veto seharusnya hanya digunakan
    untuk persoalan security and peace yang gawat. Langkah ini sangat
    penting agar anggota tetap Dewan Keamanan tak bertindak sewenang-wenang.
    Langkah ini sebenarnya sangat realistis. Sebab, untuk membatasi
    penggunaan hak veto, anggota PBB tak perlu mengubah Piagam PBB.
  2. Pengadaan hak veto atas veto (overriding veto). Hak ini (bisa jadi)
    tetap diberikan kepada anggota tetap Dewan Keamanan. Tujuannya, bila
    suatu veto dianggap tak mencerminkan kehendak umum, anggota yang lain
    bisa membatalkannya. Sehingga, sebuah resolusi penting tetap bisa
    berjalan.
  3. Hak veto minimal digunakan dua anggota tetap Dewan Keamanan. Hal ini diperlukan untuk masalah yang sangat penting.
  4. Penambahan anggota tetap dan tak tetap Dewan Keamanan. Ada desakan
    Jerman dan Jepang juga masuk menjadi anggota tetap Dewan Keamanan.
    Selain itu, anggota tak tetap, yang sekarang berjumlah 10, juga harus
    ditambah lagi. Penambahan itu bertujuan memperkuat barisan negara yang
    tak memiliki veto. Mereka akan menjadi kekuatan moral di Dewan Keamanan. Indonesia bisa berperan penting dalam mengusung ide-ide itu.

Sebagai anggota Gerakan Nonblok, Indonesia dapat mempengaruhi opini
dunia. Apalagi pendapat Nonblok selalu mendapat dukungan Kelompok G-77
yang memiliki sangat banyak anggota. Langkah ini sekaligus menghidupkan
kembali peran Gerakan Nonblok yang melempem sejak Perang Dingin usai.

Dengan membangun opini publik yang kuat, apalagi bila didukung rakyat
di negara pemegang hak veto, kita bisa mereformasi Dewan Keamanan.
Sebab, bukankah tanpa dukungan rakyat sebuah pemerintahan tak berarti
apa-apa? Tanpa dukungan anggotanya, PBB pun tak lebih dari sebuah nama.(yayat)

Untuk Share Artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?35477

Untuk

melihat artikel Utama lainnya, Klik

di sini

Klik

di sini
untuk Forum Tanya Jawab

Mohon beri
nilai dan komentar
di bawah artikel ini

________________________________________________________________

Supported by :