Setiap April, kita selalu memperingati Hari Bumi. Sebuah tema
besar juga berat, dan sering hanya seremoni dan slogan, tanpa tindakan
nyata. Dalam keseharian kita masih sering melakukan pengrusakan
terhadap bumi kita.

Kerusakan demi kerusakan, menyebabkan terjadinya pemanasan global.
Konsentrasi gas-gas tertentu yang dikenal sebagai gas rumah kaca, terus
bertambah di udara akibat tindakan manusia melalui kegiatan industri.
Terutama adalah karbon dioksida, yang umumnya dihasilkan dari penggunaan
batubara, minyak bumi, gas, penggundulan hutan, serta pembakaran hutan.
Asam nitrat dihasilkan oleh kendaraan dan emisi industri, sedangkan
emisi metana disebabkan oleh aktivitas industri dan pertanian. Karbon
dioksida, chlorofluorocarbon, metana, asam nitrat adalah gas-gas polutif yang terakumulasi di udara dan menyaring banyak panas dari matahari.

Awal Malapetaka

Kerusakan hutan merupakan awal dari siklus penurunan kualitas
lingkungan hidup. Hutan merupakan bagian terpenting dalam siklus
ekologi. Kerusakan hutan di Indonesia sudah dalam tingkat yang
membahayakan. Pemerintah daerah dengan adanya otonomi daerah
berlomba-lomba mengeruk sumber daya hutannya untuk mencukupi kebutuhan
dana pembangunan daerahnya. Itu sering menguntungkan perseorangan atau
kelompok elit daerah.

Bahkan kadangkala tidak ada rencana yang sesuai dengan kaidah-kaidah
lingkungan hidup. Kalaupun ada, sering dilanggar. Daerah-daerah yang
haram disentuh, seperti Taman Nasional, Hutan Lindung, dan sejenisnya,
terpaksa harus ditebang atas nama kebutuhan rakyat.

Akibatnya, Indonesia menjadi negara dengan laju kerusakan hutan
(deforestasi) yang tercepat di dunia (Guinness Book of World Records
April 2007). Indonesia dinilai bertanggung jawab atas menciutnya
kapasitas paru-paru dunia. Juga dituduh sebagai negara yang membiarkan
berlangsungnya illegal logging dan pembakaran hutan untuk lahan
perkebunan. Indonesia bersama Papua Nugini dan Brasil memang mengalami
kerusakan hutan terparah sepanjang kurun 2000-2005.

Menurut Badan Pangan Dunia (Food and Agriculture Organization),
Indonesia menghancurkan kira-kira 51 kilometer persegi hutan setiap
harinya. Nilai setara dengan hancurnya 300 lapangan bola setiap jam. Hal
ini disebabkan hutan alam Indonesia secara legal dieksploitasi di
bawah kebijakan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hutan Tanaman Industri (HTI). Kedua kebijakan ini membuka peluang eksploitasi hutan yang menguntungkan para taipan pemegang konsesi. Sistem HPH dan HTI sangat bertanggung jawab atas percepatan laju deforestasi di Indonesia.

Namun jangan salah. Penduduk kaya mengkonsumsi sebagian besar sumber alam dunia. Terjadinya global warming
memang diakibatkan oleh adanya kebijakan pemerintah yang tidak tepat.
Namun, juga disebabkan oleh adanya konsumsi yang berlebihan. Bukan oleh
80% penduduk miskin di 2/3 belahan bumi, tetapi oleh 20% penduduk kaya
yang mengkonsumsi 86% dari seluruh sumber alam dunia.

Belum lagi di sektor kelautan. Sektor kelautan yang paling parah
mengalami kerusakan adalah hutan bakau dan terumbu karang. Ini akibat
dari sistem pertanian dan pertambakan yang tidak terencana dan
terkontrol. Diperkirakan hanya tinggal 60 persen hutan bakau Indonesia
masih dalam kondisi baik. Namun pada saat yang sama, lebih dan 840.000
hektare hutan bakau akan diubah menjadi lahan pertambakan. Terumbu
karang yang merupakan habitat kehidupan laut juga mengalami ancaman
hebat. Terutama dari praktik penangkapan ikan yang destruktif, yaitu
dengan pemboman ataupun pemakaian racun. Sektor pariwisata juga
mengancam kehidupan terumbu karang dengan pemakaian terumbu karang
sebagai fondasi dari cottage yang dibangun untuk kepentingan industri pariwisata.

Dampak Investasi Asing Pada Kerusakan Lingkungan

Investasi asing turut juga menyumbang kerusakan bumi Indonesia.
Selain merugikan karena hasil bumi kita dikeruk, hanya untuk kepentingan
bangsa asing dan sedikit dari elite kekuasaan, juga akibat jangka
panjang untuk generasi selanjutnya adalah kerusakan lingkungan.
Kerusakan lingkungan ini secara luas dan masif sudah terjadi sejak tiga
puluh tahun terakhir.

Ditandai dengan kelahiran tiga paket UU yang membuka peluang
eksploitasi sumber daya alam Indonesia secara masif, yaitu UU Kehutanan
1967, UU Pertambangan 1967, dan UU Penanaman Modal Dalam dan Luar Negeri
1967. Akibatnya terjadi dampak yang mengerikan yaitu banyak penanam
modal asing yang masuk ke Indonesia yang mengeksploitasi sumberdaya alam
Indonesia tanpa aturan perlindungan lingkungan dan kesadaran lingkungan
yang belum berkembang seperti sekarang, sehingga mereka beroperasi
tanpa dibebani kewajiban sosial dan lingkungan. Bahkan, protes dari
masyarakat muncul pada tahun 1980-an berupa kemarahan masyarakat atas
rusaknya lingkungan mereka akibat aktivitas pertambangan. Sebut saja
Suku Amungme dan Komoro di Papua Barat yang bersengketa dengan PT
Freeport Mc Morran mengenai lahan mereka; perusahan minyak Mobil Oil di
Aceh dan tambang Newmont di Sulawesi Utara.

Padahal timbal balik yang diterima Indonesia tidak sebanding dengan
kerusakan yang ditimbulkan. Freeport yang mengambil emas dan tembaga di
Papua hanya sedikit memberikan pemberdayaan untuk masyarakat di
sekitarnya. Juga Newmont di Sulawesi dan Exxon di Jawa dan Sumatera.
Mereka bekerjasama dengan Pertamina. Pertamina hanya mengeksploitasi 8%
saja. Formula kontrak bagi hasil mengatakan 85% untuk Indonesia dan 15%
untuk perusahaan minyak asing. Namun kenyataan, 40% dinikmati oleh
perusahaan-perusahaan asing dan 60% oleh bangsa Indonesia. Perusahaan
asing tidak memperoleh 15% sesuai dengan kontrak, karena di dalam
kontrak itu ada ketentuan bahwa biaya eksplorasi harus dibayar terlebih
dahulu sampai habis (tetapi hingga kini tidak habis habis). Yang tersisa
untuk Indonesia adalah, kerusakan hutan dan lingkungan.

Upaya Pencegahan dan Penyelamatan

Lalu apa yang dapat kita lakukan? Indonesia yang merupakan paru-paru
dunia, sangat berdampak pada dunia. Tetapi pemerintah yang mempunyai
kekuatan secara politis perlu mengembangkan struktur yang dapat
melindungi lingkungan global dengan melakukan lobi-lobi lembaga-lembaga
internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Keutuhan lingkungan yang nyata hanya akan dicapai dengan upaya
terpadu dari semua pihak. Krisis lingkungan pada dasarnya adalah krisis
nilai. Kita membutuhkan suatu model sikap untuk melihat dunia secara
berbeda. Pendidikan diperlukan agar masyarakat waspada tidak saja
terhadap lingkungan yang mengancam bumi. Tapi juga waspada terhadap
misteri yang mendasari eksistensi bumi. Menjaga lingkungan hidup berarti
ajakan untuk memperhatikan semua ciptaan dan untuk menjamin kegiatan
manusia. Sambil mengolah alam, manusia tidak merusak keseimbangan
dinamika yang ada di antara semua makhluk hidup yang bergantung pada
tanah, udara dan air bagi keberadaannya.

Terlepas dari pro dan kontra, hal yang terpenting adalah, pemerintah
Indonesia harus berbenah diri dalam menerapkan kebijakan yang pro
lingkungan dan berperan aktif dalam merubah paradigma pembangunan yang
selama ini tidak ramah lingkungan. Tak slogan semata. Sehingga tanah
yang tadinya subur, kemudian diperas habis-habisan demi kepentingan kaum
elite dapat dieliminir. Keseluruhan hasil yang diperoleh dari kekayaan
alam dalam bumi Indonesia dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya anak cucu
kita . Juga untuk masyarakat Indonesia. Selamat Hari Bumi….(Indah)

Untuk share artikel ini klik www.KabariNews.com/?36573

Untuk melihat artikel Utama lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

_______________________________________________________________

Supported by :