Sore menjelang, magrib akan datang. Seorang gadis kecil turun dari boncengan motor. Pengendara mematikan motor dan bersamanya menuju rumah. Berbincang sebentar dengan seorang ibu. Tak lama, pengendara itu kembali ke motor dan pergi. Gadis itupun bersiap shalat magrib. Mengaji sebentar. Lantas, dia makan dan tidur. Besok pagi jam 7 dia harus sekolah. Bungsu dari tiga bersaudara itu, lelah.

Namanya Yuni. Umurnya 12 tahun. Pelajar kelas 6 SD di Sukoreno, Kecamatan Kalisat Kabupaten Jember. Pagi, dia bersekolah. Sepulangnya, harus membantu orangtuanya mengolah daun tembakau yang sudah panen. Musim ini adalah waktunya mengeringkan daun-daun emas itu di gudang tembakau dekat rumahnya. Tanpa pelindung, dia “nyujen’. Yaitu menyusun daun-daun tembakau dengan jarum kayu (sujen) dan benang atau tali untuk dijemur di bangsal/gudang atag. Tak jarang tangannya yang kecil terluka akibat sujen. Selepas membantu , dia pergi “les”.

Bila berangkat les, pengendara motor tadi akan menjemput dan mereka berpamitan kepada orang tua Yuni. Lalu, mereka menjemput teman Yuni yang juga bertujuan sama. Bertiga mereka berboncengan menuju sebuah rumah. Di rumah itu sudah ada sekitar 10 remaja lain yang juga sedang belajar. Mereka juga sedang “les”. Di teras rumah, ada beberapa anak tanggung lainnya sedang belajar tali temali.

Rumah tempat anak-anak belajar itu adalah rumah yang disewa oleh sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lokal . LSM itu bekerja sama dengan International Labour Organization (ILO-Jakarta) lembaga bentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk melindungi kaum buruh. Mereka melakukan program Remedial bagi anak-anak buruh perkebunan. Yaitu program pelajaran tambahan untuk perbaikan nilai. Mereka lakukan selepas anak-anak bersekolah.

“Di sini jumlah anak-anak putus sekolah cukup tinggi,” kata Hanafi, Manager Program Pencegahan Pekerja Anak di LSM SKETSA ( Studi Kebijakan dan Transformasi Sosial). Dia adalah pimpinan proyek LSM lokal. Mereka berhasil membina 700 anak yang tersebar di tiga desa. Desa Sukoreno, Sumberkalong dan Sumber Ketempa. Seluruhnya di kecamatan Kalisat, Jember. Kebanyakan penduduk kota ini memang hidup di sektor perkebunan, khususnya tembakau. Tembakau mereka diekspor ke Paraguai, Honduras, Belgia, Portugal, Tunisia, Nikaragua, Republik Dominika, USA, Sri Lanka, Jerman, Denmark, Swiss, Puerto Rico, Malaysia, Filipina, Prancis, Spanyol, Rusia, Norwegia, Senegal, Inggris, Afrika Selatan, Maroko, dan Swedia.

Secara periodik, mereka bekerjasama dengan ILO untuk melakukan pembinaan bagi anak-anak sekolah di desa kantong petani dan buruh tembakau. Jenis tembakau yang ditanam oleh perkebunan rakyat adalah Na Oogst (NO). Ada sekitar 3-4 perkebunan besar di kabupaten ini. Selebihnya adalah perkebunan milik rakyat yang menjual hasil tembakaunya ke pabrik-pabrik tembakau atau perkebunan swasta lain yang lebih besar. Perkembunan rakyat ini biasanya berskala kecil. Rata-rata mereka memiliki lahan tak lebih dari 2,5 hektar kebun dan puluhan pekerja.

Di perkebunan kecil/rakyat inilah seringkali terdapat anak-anak yang diperkerjakan. Perkebunan besar semacam PTPN atau perkebunan swasta yang besar umumnya menghindari menerima anak-anak dibawah 15 tahun untuk bekerja. Bukan karena ILO atau pemerintah Indonesia menstandarkan 15 tahun sebagai batas minimum bagi pekerja. Namun karena beberapa perusahaan macam British American Tobacco (BAT) tak mau menerima tembakau jika pihak perkebunan memperkerjakan anak-anak. Sedangkan perkebunan kecil milik rakyat cenderung masih lepas dari pengawasan ini. Celah inilah yang sering dimanfaatkan oleh orangtua mereka untuk meminta anak-anaknya bekerja.

Rata-rata usia mereka 7 – 17 tahun. Terbanyak adalah 15 tahun. “Sejak kecil mereka sudah diperkenalkan dengan dunia kerja di gudang atau kebun tembakau milik orangtua mereka. Awalnya hanya mengajak mereka bekerja bersama-sama. Sifatnya membantu orangtua. Jadi mau tak mau, sejak belia mereka diperkenalkan dengan dunia kerja, “ lanjut Hanafi. Mereka terpaksa bekerja membantu orang tua karena kebiasaan keluarga. Orangtuanya juga diperkenalkan dunia kerja oleh kakeknya. Kakeknya oleh buyutnya. Begitu seterusnya. Mereka bekerja juga karena kemiskinan struktural . Karenanya, tak sadar orangtua ikut mendorong anak-anak mereka menjadi pekerja sejak usia anak mereka sangat muda.

“Anak-anak tidak dapat menolak perintah orangtua untuk ikut bekerja karena sudah menjadi kultur setempat bahwa orangtua dan anak bekerja bersama-sama,” katanya. Ini yang membuat angka putus sekolah sangat tinggi.

Di daerah itu, penyebab putus sekolah karena tiga hal. Pertama, murni alasan ekonomi; bekerja untuk membantu orangtua. Kedua, karena masalah akademis, misalnya angka mereka rendah dan anak tak bisa konsentrasi ke pelajaran. Ketiga, karena dikawinkan dini. Karena itu, LSM lokal berusaha mencegah mereka putus sekolah dengan program ini. Kegiatan yang mereka lakukan, antara lain memberi pelajaran matematika, pengetahuan alam dan bahasa Indonesia, juga ketrampilan lain misalnya menjahit atau tali-temali dan ketrampilan lainnya. Disamping itu mereka juga mendirikan sanggar untuk bakat seni anak-anak itu. Menari dan melukis.

“Itu adalah bentuk penguatan untuk senang belajar, agar anak tak mudah tergoda bekerja di kebun tembakau. Juga memberi pengertian kepada orangtua soal pentingnya pendidikan untuk anak-anak”, ujar Hanafi. Sesuai kultur masyarakat yang berada di daerah tapal kuda Jawa Timur dimana basis Islam sangat kuat, orangtua lebih berharap anaknya pintar mengaji dan bekerja daripada bersekolah formal. Untuk itu tak segan LSM-LSM melakukan kunjungan ke rumah-rumah dan bertemu orang tua anak-anak binaan mereka. “Bahasa sederhana kepada para orangtua adalah kami memberikan les kepada anak-anak mereka. Semacam pelajaran tambahan,” kata Hanafi. Tak semua orangtua dengan mudah melepas anaknya les.

Orangtua Yuni umpamanya. Dia meminta satu orang dari LSM lokal itu untuk menjemput dan mengantar anaknya. Bukan masalah fasilitas. Tapi soal kepercayaan melepas anaknya. Anak gadis seumur Yuni di desa itu umumnya sudah dijodohkan dengan pemuda kenalan orangtua. Setahun atau dua tahun kemudian, kala gadis berumur 13-14 tahun, mereka dinikahkan. Kakak Yuni yang laki-laki sudah menjadi buruh tembakau sejak 4 tahun lalu. Sedang kakak perempuannya, sudah menikah setahun lalu, saat umurnya 15 tahun.

Kepada Hanafi, Yuni kerap mengeluh lelah. “Dia sering mengaku kelelahan. Bayangkan sehabis sekolah mereka harus bekerja di gudang atau kebun. Anak-anak di kota mungkin sudah tidur siang. Setelah bekerja mereka berangkat les. Mengerjakan PR. Sore mereka diharuskan orangtua untuk belajar mengaji,” kata Hanafi. Tapi Yuni tak pernah tak masuk sekolah.

Bekerja untuk anak-anak di bawah 17 tahun memang sangat beresiko. Keselamatan kerja yang hampir tak ada. Anak-anak perempuan yang bekerja di tempat pengolahan tembakau juga sering mengalami pelecehan seksual. Mulai dari disuiti sampai pada memegang badan mereka. Umumnya anak-anak gadis ini tak berdaya.

Lantas bagaimana dengan anak-anak ini sendiri ? “Saya ingin jadi guru,”ujar Yuni mantap. Artinya dia harus masuk ke perguruan tinggi. “Saya tetap ingin sekolah. Meski lelah karena bantu orangtua, saya pingin tetap sekolah,” katanya sambil menerawang. (Indah)

Untuk share artikel ini klik www.KabariNews.com/?36561

Untuk

melihat artikel Kisah lainnya, Klik
di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

_____________________________________________________

Supported by :