Anda ingat lagu Nina Bobok, Timang-timang atau Tak Lelo Ledhung?
Lagu yang akrab di telinga ketika ibu akan menidurkan anak. Di wilayah
lain di Indonesia ada lagu Oa-Oa, Timang si buyung dan Upiak yang juga
berfungsi sama, membuai si kecil terlelap. Pernah dengar lagu buaian
tanah air itu dilagukan dengan alat gesek ala musik klasik? Atau lagu Di
Bawah Sinar Bulan Purnama, Baris Barantai, Kambanglah Bungo Parautan
dan Medley Sulawesi yang dilagukan ritme musik klasik? Mendayu dan
dahsyat musiknya.

Bila mendengar musik klasik, ingatan kita pasti terpaut pada
lagu-lagu karya Mozart dan Paganini. Selama ini, musik klasik seakan
berjarak dengan masyarakat Indonesia. Terasa jauh karena bukan saja
berasal dari benua berbeda tetapi juga dibatasi pemikiran bahwa musik
itu hanya bisa dinikmati oleh kalangan tertentu. Bayangkan, untuk
menikmati musik klasik ini, orang Indonesia harus mendatangi gedung
megah dan mewah di kota besar.

Kini di Indonesia, menikmati musik klasik bisa sewaktu-waktu dan
tempatnya juga tidak di gedung mewah. Datangi saja Tembi Rumah Budaya di
daerah Bantul Yogyakarta, tempat Sa’Unine String Orkestra berlatih.
Kalau beruntung kita akan menjumpai mereka memperdengarkan lagu
Indonesia dengan kemasan musik klasik di tempat-tempat publik.

Awal September misalnya. Mereka bermain string orkestra di perempatan
Kantor Pos Besar Yogyakarta, Taman Parkir Abubakar Ali dan Bundaran
Universitas Gajahmada Yogyakarta. Sa’Unine String Orchestra pimpinan Oni
Krisnerwinto ini membawakan lagu-lagu nusantara ala klasik di jalanan,
tak berjarak dengan masyarakat. 45 musisi memainkan berbagai alat gesek,
seperti biola, cello, bass dan kontrabass dengan gembira. Ini salah
satu usaha mereka untuk mendekatkan musik klasik dengan masyarakat.

Tak hanya itu, September sampai Oktober mereka melakukan Ngamen
Tamasya di 7 kota, mula-mula di Jakarta, Bandung, Semarang, Solo,
Salatiga, Surabaya dan Malang. Pertengahan November ini mereka juga akan
melakukan konser di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ).
“Untuk karya kami kali ini, sengaja ingin ngamen ke berbagai kota besar
di Indonesia,” kata Nuranto, Direktur Utama Tembi Rumah Budaya –
Yogyakarta penyelenggara ‘Ngamen Tamasya Sa’unine String Orchestra’.
Para sponsorpun berdatangan menyokong kegiatan ini, misalnya dengan
menyediakan dua bus yang dicat khusus untuk membawa rombongan
berkeliling ke kota-kota itu.

Tentang lagu atau langgam asli Indonesia dan dibawakan dengan musik
gesek yang dikemas ala musik klasik memang tak lazim. “Kami berusaha
menerjemahkan langgam Jawa, Bali, Melayu dan Kalimantan termasuk
cengkoknya ke dalam instrumen gesek yang sebenarnya memang sangat
barat,” ujar conductor Oni Krisnerwinto. Tantangan serius bagi
orkestra ini adalah untuk memastikan instrumen barat yang dimainkan
tetap bisa menyuguhkan langgam yang pas dengan tembangnya karena tidak
ada instrumenmusik tradisional Jawa dalam mengiringi pengiring musik
kamar ini.

Sa’Unine berasal dari bahasa Jawa, yang artinya asal bunyi. Namun
jangan salah. Dalam menghadirkan lagu, komposisi mereka sangat enak
didengar. Suara biola, bass dan cello amat pas. Kadang mereka menambah
seruling, gitar elektrik dan English Horn sebagai instrumen tambahan tergantung pada lagu yang mereka bawakan.

Sa’Unine merupakan kata yang merepresentasikan semangat kelompok ini dalam membuat musiknya. Menurut Oni, semua anggota Sa’unine String Orchestra
adalah musisi profesional yang bermain atas panggilan jiwa. Anggota
kelompok ini bisa silih berganti karena tak ada keanggotaan tetap. Sa’Unine String Orchestra ini merupakan rumah kami semua dimana kami bisa kembali pulang dan bersama-sama dan bermain musik yang kami sukai,” ujar Oni.

Kelompok musik yang rata-rata lulusan Institut Seni Indonesia (ISI)
– Yogyakarta ini sudah menghasilkan dua album. Album pertama bertajuk
“Masa lalu Selalu Aktual” berhasil terjual lebih dari sepuluh ribu
keping CD. Isinya tembang tempo dulu yang mampu mereka urai dengan baik
dan enak didengar telinga. Album kedua adalah “Buaian Sepanjang Masa”.
Mereka seolah ingin menunjukkan musik orkestra tidak harus serius dan
membosankan, sehingga lagu-lagu dan tembang asli Indonesia yang
diklasikkan pun jadi enak didengar.

Dalam psikologi, musik klasik sangat baik untuk menunjang
perkembangan mental manusia dan hal tersebut merupakan dorongan Sa’Unine
untuk menciptakan musik klasik Indonesia. “Kami berusaha konsisten
dengan konsep musik kami. Meskipun kami membawakan musik klasik kami
tetap memasukan unsur budaya Indonesia,” terang Oni.

Dengan komposisi instrumen yang keseluruhannya terdiri dari musik gesek tentu menjadi tantangan bagi Sa’Unine String Orchestra untuk mengeksplorasi musik mereka agar menarik. Eksplorasi yang sejauh ini dilakukan Sa’Unine Orchestra
adalah pada teknis memainkan alat musik ini. “Kami terkadang memainkan
alat musik ini dengan teknik- teknik yang tidak lazim seperti dipetik
dan dipukul. Selain pada teknik memainkan kami juga bereksplorasi pada
komposisi lagu dan aransemen,” jelas Oni.
“Selain ingin membuat terobosan kami juga ingin membuktikan, bahwa musik
gesek pun memiliki harmonisasi yang tidak kalah dengan orkes vokal dan
seriosa,” tambah Oni.

Kelompok musik orkestra yang anggotanya seluruhnya adalah musisi
gesek masih sangat jarang dan boleh dibilang tidak ada di Yogya. Oni
merasa sangat optimis dengan proyek bersenang-senang dengan ide “Sak
unine, sak karepe” (sesukanya-Jawa, red) ini dapat mengantar budaya
Indonesia ke kancah manca negara dengan instrumen gesek. Semoga.
Indah

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?37380

Untuk melihat artikel Seni lainnya, Klik disini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :