Di tahun 2008, puluhan ribu wisatawan asing dan lokal
menyerbu kawasan wisata Puri Ubud, Gianyar, Bali. Hampir seluruh media
lokal dan asing meliput upacara kolosal ini dan menyiarkannya ke seluruh
dunia. Saat itu, mereka datang untuk melihat rangkaian upacara terbesar
dari sejarah Bali yaitu berupa ngaben( upacara pembakaran jenazah)
keluarga Raja Ubud ; jenazah Tjokorda Gde Agung Suyasa, Tjokorda Gde
Raka dan Gung Niang Raka.

Lautan manusia terkonsentrasi dari halaman Puri Ubud hingga menuju
setra (komplek pemakaman). Keranda mayat (bade) yang berbentuk binatang
diusung oleh 8.000 orang dari 67 desa adat di Bali dengan cara estafet.
Satu regu pengusung berjumlah minimal 150 orang. Ini karena tinggi bade
mencapai 28,5 meter dengan berat 6 ton.

Berbeda halnya dengan Raja Karangasem, Made Djelantik. Dalam surat
wasiatnya, Raja yang juga tokoh intelektual Bali ini memilih dikremasi
di tempat kremasi dan tidak diaben dengan upacara megah seperti Raja
Ubud.

Ngaben adalah hal penting dalam agama Hindu. Menurut kepercayaan
Hindu, jasad manusia terdiri dari badan kasar (fisik) dan badan alus
(roh). Badan kasar dibentuk oleh 5 unsur yang disebut Panca Maha Bhuta,
yang terdiri dari pertiwi (tanah), apah (air), teja (api), bayu (angin),
serta akasa (ruang hampa). Kelima unsur ini menyatu membentuk fisik
manusia yang kemudian digerakkan oleh roh.

Ketika seseorang meninggal, yang mati sebetulnya hanyalah jasadnya
saja, sementara rohnya tidak. Oleh sebab itu, untuk menyucikan roh
tersebut diperlukan Upacara Ngaben/Upacara Pelebon untuk memisahkan
antara jasad kasar dan roh tersebut. Upacara ngaben dapat juga dilihat
sebagai upaya untuk mengantarkan roh menuju Brahma-loka yaitu linggih
Dewa Brahma sebagai manifestasi Hyang Widhi (Tuhan) dalam mencipta.

Upacara ngaben melibatkan banyak hal yaitu keluarga, Banjar (semacam
Rukun Warga), jadwal upacara di banjar, hubungan sosial dengan krama
(warga) lain, wasiat dan kondisi keuangan. Bila seseorang meninggal,
kadang tidak bisa langsung diaben karena beberapa alasan di atas. Bila
tak langsung diaben, jenazahnya sementara dikubur di setra banjar
terdekat.

Sepuluh tahun ini, kremasi bagi keluarga yang meninggal menjadi salah
satu alternatif di Bali. Soroh (klan) Pasek memulainya dengan
mendirikan krematorium Santha Yana di Penatih – Denpasar Timur yang
dibangun oleh perkumpulan Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi (MGPSSR) di Bali. MGPSSR
adalah nama kelompok bagi warga dengan garis keturunan pasek (bukan
aliran dalam Hindu). Selain warga Pasek yang merupakan mayoritas,
terdapat belasan klan lainnya di Bali.

“Nama Santha Yana artinya jalan damai,” ujar Prof dr. I Wayan Wita, Ketua MGPSSR
yang juga mantan rektor Universitas Udayana. Ia menjelaskan,
krematorium ini dicetuskan karena konflik warga memperebutkan hak
menggunakan setra. Konflik antar desa adat di Bali memang kadang
terjadi. Seringkali disebabkan sengketa status warga adat atau persoalan
lain. “Sayang sekali, jika warga tidak bisa melaksanakan upacara ngaben
karena konflik,” kata Wita. Alasan lainnya adalah mahalnya biaya
ngaben. Menurut Wita, krematorium adalah jalan realistis untuk mengatasi
persoalan ekonomi akibat mahalnya biaya pembakaran jenazah atau
pembuatan bade.

Pihak krematorium tidak lagi menggunakan bade untuk mengangkut
jenazah, namun ambulans. Biaya bisa dihemat. Harga jasa krematorium pun
sudah pasti, yaitu berkisar 1 juta rupiah sampai 20 juta. Dengan metode
ini, tradisi ngaben tetap terlaksana (melebur Panca Maha Butha Alit —
tubuh manusia) menuju Panca Maha Bhuta Agung — alam semesta). “Dengan
cara itu, biaya, waktu, kelelahan tenaga dan psikologis bisa dihindari”,
kata IG Putu Suka Arjawa, dosen Fakultas Ilmu Politik dan Sosial
Universitas Udayana.

Ada beberapa tahapan yang harus dilakukan sebelum jenazah dikremasi
bisa dilakukan di krematorium, yaitu Nyiramin Layon atau memandikan
jenazah, pembakaran atau ngaben, serta nyekah. Pelaksanaan ngaben juga
harus memperhitungkan hari yang baik. Biasanya pihak keluarga menanyakan
kepada pedanda (pendeta Hindu Bali) hari yang baik untuk melakukan
Ngaben. Apabila Ngaben ingin dilakukan segera setelah orang tersebut
meninggal, biasanya pedanda akan memilih hari tidak lebih dari 7 hari
sejak kematiannya.

Ada sejumlah pilihan yang akan diberikan jasa krematorium ini.
Pertama, menyediakan jasa kremasi saja, yang dibuka untuk semua
masyarakat. Kedua, pelaksanaan ngaben sebelum nyekah, karena nyekah bisa
dilakukan di rumah atau tempat lain. Atau bisa juga ngaben secara penuh
di krematorium ini, dengan sarana upacara yang bisa dibeli atau
disiapkan sendiri termasuk sulinggih (pemimpin upacara).

“Abu jenazah bisa dilarung di Sungai Ayung yang bersisian dengan
krematorium ini. Semoga tidak ada keluhan soal biaya ngaben lagi bagi
umat Hindu,” ujar Jero Mangku Dalem Babakan, pemilik lahan lokasi
krematorium Santha Yana.

Saat ini Bali telah memiliki 3 tempat kremasi ; dua krematorium di
daerah Mumbul (kawasan Nusa Dua) dan satu di daerah Penatih (Peguyangan)
Kabupaten Badung. Krematorium di kawasan Nusa Dua itu juga digunakan
untuk pemeluk Kristen dan Budha. Tiga krematorium ini terbuka untuk umum
termasuk warga Hindu perantauan dan jenazah tanpa identitas di rumah
sakit.

Wita menegaskan, sarana kremasi ini tidak akan menggantikan warga
sebagai penyelenggara ngaben atau proses ritual lainnya. Terutama
suasana dan kemeriahannya. Wita juga yakin bahwa Bali tak akan
kehilangan kemeriahan ngaben tradisonal. “Krematorium hanya alternatif
di tengah banyak masalah yang dihadapi warga ketika melakukan
pengabenan,” katanya. (Indah)

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?36852

Untuk

melihat artikel Sana-Sini lainnya, Klik

di sini

Mohon beri nilai dan komentar di
bawah artikel ini

____________________________________________

Supported

by :