PT Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc, masuk
Indonesia setelah persetujuan izin penambangan yang ditandatangani pada 5
April 1967 melalui Kontrak Karya Pertama (KK I). Perusahaan Amerika
Serikat yang awalnya bermarkas di New Orleans itu, kemudian pindah ke
Poenix, Arizona. Awalnya menguasai hak penambangan eksklusif tembaga
dan emas selama 30 tahun untuk 30 km² dihitung dari pembukaan tambang
tahun 1981.

Penduduk setempat banyak yang tidak setuju atas hal in, namun segera
dikendalikan. Pada 1989 lisensi pertambangan diperluas menjadi 25.000
km². Menarik, karena KK ini juga menjadi dasar penyusunan Undang-Undang
Pertambangan Nomor 11 Tahun 1967 yang disahkan bulan Desember 1967,
atau delapan bulan berselang setelah penandatanganan KK.

Pada sisi sejarah, awalnya Papua hanya dianggap Belanda sebagai
tempat aman bagi pendirian pos pemerintahan untuk maksud tertentu saja.
Namun, setelah datangnya Jepang dan Portugis, konfrontasi untuk
menjadikan Papua sebagai tanah surga karena kekayaan alamnya menjadi
panas. Bahkan beberapa kali konflik di perairan terbuka antara
kapal-kapal asing terjadi dalam memperebutkan Papua.

Garis batas kemudian ditarik atas kesepakatan sepihak pihak luar;
Kerajaan Inggris dan Kerajaan Belanda. Jadilah Papua Nugini (Papua
Timur/PNG) diwujudkan dalam satu negara baru
dibawah Inggris Raya yang kemudian diserahkan ke Australia, sedangkan
Papua Barat yang awalnya adalah milik Belanda dijadikan kuda hitam saja.

Potensi luar biasa Papua terhadap tembaga dan emas sebenarnya telah
diketahui tahun 1936 oleh seorang Belanda. Pihak Amerika melakukan
penelitian, mengkonfirmasi dan nyata-nyata berminat atas lebih dari 13
juta ton bijih tembaga dan 14 juta ton emas di bawah tanah untuk setiap
100 meter kedalaman. Konsultan lain memperkirakan, bahwa pabrik harus
memproses 5.000 ton bijih per hari (waktu itu). Suatu angka yang sangat
besar.

Sejak pemerintahan Presiden Kennedy dan sesudahnya, peran Amerika
mulai nampak dan menonjol dalam mengendalikan perseteruan politik antara
Indonesia dengan Belanda. Untuk mempercepat proses perdamaian antara
dua negara itu atas wilayah Papua, diselenggarakan tahapan perundingan
hingga konferensi.

Atas desakan untuk memelihara kepentingan ekonomi dan politik serta mempercepat pengoperasian Freeport Indonesia
(PT FI), Amerika Serikat mendesak banyak pihak untuk melakukan semacam
referendum atau lebih dikenal sebagai Pepera (Penentuan Pendapat
Rakyat) pada tahun 1969 dan menghasilkan Indonesialah yang berhak atas
Papua. Namun sebenarnya rakyat Papua banyak sekali yang ingin nyatakan
berdaulat sendiri, lepas dari Indonesia. Melalui berbagai perundingan,
baru tahun 1979 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengakui Papua di bawah Indonesia.

Penyelesaian Papua memang didasarkan keinginan ekonomi negara-negara
barat. Maka selanjutnya penyelesaian masalah Papua tidak bisa bebas
dari unsur kepentingan ekonomi global. Sehingga tak dimungkiri, wilayah
Papua dipandang sebagai suatu wilayah pembangunan yang dijalankan dengan
penguatan investasi dan kekerasan militer. Untuk mengamankan eksplorasi
Freeport, Indonesia mengedepankan militerisasi dalam
menjalankan pengamanan aset Amerika Serikat maupun pengamanan wilayah
pelosok Papua. Daerah Operasi Militer (DOM) berlaku selama puluhan tahun lamanya menyebabkan rakyat Papua kehilangan jati diri.

Freeport, Pembayar Pajak Terbesar Indonesia


PT. Freeport McMoran Indonesia mendapatkan konsesi jenis
galian hanya pada: Tembaga dan Emas. Sedang lokasi yang dieksploitasi
adalah Grasberg dan Ertsberg, Pegunungan Jayawijaya dengan luas konsesi
1,9 juta ha (Grasberg) dan 100 Km2 (Ertsberg). Komposisi pemilik saham
adalah Freeport McMoRan Copper & Gold Corp (81,28%) PT Indocopper Investama (9,36%), dan pemerintah Indonesia sebesar 9,36%.

Kegiatan ini sebenarnya berdampak yaitu dengan digusurnya ruang
penghidupan suku-suku di pegunungan tengah Papua diantaranya suku
Amungme dan Nduga. Limbah tailing Freeport McMoRan menimbun
sekitar 110 km2 wilayah estuari tercemar, sedangkan 20 – 40 km bentang
sungai Ajkwa telah beracun dan 133 km2 lahan subur terkubur. Saat
periode banjir datang, kawasan-kawasan subur pun tercemar. Perubahan
arah sungai Ajkwa menyebabkan banjir, kehancuran hutan hujan tropis (21
km persegi) dan menyebabkan daerah yang semula kering menjadi rawa.
Kesejahteraan hanya untuk kalangan tertentu saja dan Timika, kota
tambang Freeport McMoRan, adalah kota dengan penderita HIV AIDS tertinggi di Indonesia.

Ironisnya, disaat penghasilan Freeport McMoRan naik dua kali lihat pada tahun 2005 hingga mencapai 4 kali pendapatan Papua, Index Pembangunan Manusia (IPM) Papua berada di urutan ke 29 dari 33 propinsi. Nilai IPM
diartikan dengan tingginya angka kematian ibu hamil dan balita akibat
kurang gizi. Lebih parah lagi, “kantong-kantong kemiskinan” yang berada
di kawasan konsesi pertambangan Freeport McMoRan mencapai angka di atas 35%.

Namun Freeport mengaku telah berbuat banyak untuk rakyat Papua.
“Freeport Indonesia memberikan kontribusi tidak langsung bagi Indonesia
termasuk investasi infrastruktur di Papua seperti kota, instalasi
pembangkit listrik, bandar udara dan pelabuhan, jalan, jembatan, sarana
pembuangan limbah, dan sistem komunikasi modern,” tutur Juru Bicara PT Freeport Indonesia,
Ramdani Sirait. Sementara itu, infrastruktur sosial yang disediakan
oleh perusahaan tersebut adalah sekolah, asrama, rumah sakit dan klinik,
tempat ibadah, sarana rekreasi dan pengembangan usaha kecil dan
menengah. “Freeport Indonesia telah melakukan investasi senilai kurang
lebih US$ 7,2 Miliar pada berbagai proyek,” jelas Ramdani.

Namun, keadaan menjadi sangat timpang. Disaat gaji dan tunjangan dua orang pimpinan Freeport
di Amerika (James Moffet dan Richard Aderson) mencapai US$ 207,3 juta,
pendapatan rata-rata penduduk Papua kurang dari US$ 240 per tahun.

PT Freeport Indonesia telah sangat kaya karena Papua. Bisa dikatakan,
Papua identik dengan Freeport dan sebaliknya. Mereka adalah pembayar
pajak terbesar bagi Indonesia. Selama bulan April-Juni 2011, PT Freeport Indonesia
telah membayar pajak sebesar US$ 692 juta atau sekitar Rp5,9 triliun!
Ramdani Sirait mengatakan pada awal Agustus lalu, bahwa pajak yang
dibayarkan PT Freeport terdiri atas Pajak Penghasilan Badan sebesar US$
594 juta, Pajak Penghasilan Karyawan, Pajak Daerah serta pajak-pajak
lainnya sebesar US$48 juta, dan royalti sebesar US$50 juta. Namun hasil
Audit BPK (Badan Pemeriksa Keuangan)tahun 2005 menunjukkan, sebenarnya Indonesia belum mendapatkan hasil optimal dari PT Freeport Indonesia.

Secara khusus, PT FI memang membayar militer untuk mengamankan
perusahaannya. Dalam laporan resmi tahunan Freeport tertulis, telah
memberikan sejumlah US$ 6,9 juta pada tahun 2004, lalu US$ 5,9 juta pada
tahun 2003, dan US$ 5,6 juta pada tahun 2002 kepada militer (TNI dan polisi) setiap tahunnya. Perusahaan itu selalu melaporkan telah membiayai TNI untuk melindungi keamanan tambangnya. Namun penembakan atas karyawan Freeport dan daftar panjang pelanggaran HAM (Hak Azazi Manusia) terjadi di area pertambangan itu.

Anehnya hingga saat ini tak ada tindakan berarti yang dilakukan oleh
pemerintah terhadap PT FI. Wajar jika rakyat Papua menuduh pemerintah
Indonesia hanya merampok kekayaan mereka. Aksi-aksi yang terus mendesak
pertambangan ini dikaji ulang atau segera ditutup, terus merebak.(Indah)

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?37748

Untuk melihat artikel Utama lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

_______________________________________________________________

Supported by :