Aturan tentang iklan, kadar rokok, tembakau dan cukai sempat
membuat hiruk pikuk masyarakat di skala nasional maupun internasional.
Namun hiruk pikuk itu, jauh dari telinga kaum buruh perkebunan, dimana
jantung “daun emas” itu dihasilkan. Jember umpamanya. Daerah yang
terletak di sebelah timur pulau Jawa ini merupakan penghasil tembakau
kualitas ekspor bersama Temanggung dan Sumatera Utara.

Data Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Jember pada tahun 2006,
tembakau ditanam di 24 dari 31 kecamatan di kabupaten ini. Tembakau
Jember merupakan salah satu produk andalan ekspor bagi tembakau di
Indonesia yang banyak memberi keuntungan bagi negara dan pengusaha.
Nilai ekspornya pada tahun 2004 mencapai US$ 39.3 juta atau 71,25%1 dari
semua sektor yang ada di kota ini.

Nilai jutaan dolar ini tak dikembalikan kepada buruh, melalui
perbaikan upah, tunjangan, jaminan kesehatan dan keselamatan kerja
serta jaminan sosial. Perlawanan buruh tembakau nyaris tak ada. Kalaupun
ada, tak bersifat terbuka. Mereka mengungkapkannya dengan membakar
gudang tembakau. Buruh kebun tetap berada pada posisi yang marjinal atau
tidak berdaya. Sebuah alasan yang memaksa mereka mengirimkan anak-anak
mereka bekerja untuk membantu ekonomi keluarga.

Mereka adalah anak-anak yang dipekerjakan di kebun-kebun milik
keluarga. Bukan pekerja anak-anak yang bekerja di perkebunan tembakau
besar. Meski begitu orangtua mengatakan, bahwa hubungan antara anak
sekolah dengan anak bekerja bukan hubungan sebab akibat yang langsung. “
Saya punya anak perempuan mbak. Umur 13 tahun. Anak saya berhenti
sekolah karena alasan ekonomi keluarga. Kami gak bisa memenuhi kebutuhan
sekolah. Lalu dia menganggur. Daripada menganggur, dia diajak mandor
tembakau bekerja, “kata Setyo, 45, seorang buruh kebun tembakau dari
desa Ajung, Jember.

Yayasan Prakarsa Swadaya Mandiri (YPSM) sebuah LSM
lokal, pernah mewawancarai 100 pekerja anak berusia di bawah 18 tahun
dan 100 orang tua pekerja anak dengan cara tanya-jawab tertulis , pada
tahun 2008. Hasilnya menunjukkan, bahwa 14% dari anak-anak yang
diwawancarai berusia di bawah 15 tahun, dengan usia termuda 9 tahun
ketika masuk dunia kerja. 86% berusia antara 15 – 17 tahun. Secara
keseluruhan, 80% pekerja dalam usaha tembakau adalah perempuan. Hampir
separuh anak-anak perempuan yang bekerja ini, sudah menikah.

Kawin muda memang merupakan cara untuk mengalihkan tanggung jawab
ekonomi dari orang tua kepada suami anak tersebut. Namun, dalam banyak
kasus, tradisi ini kemudian menyebabkan anak lebih dini masuk ke dunia
kerja karena tuntutan ekonomi.

Keinginan melanjutkan sekolah bagi mereka yang sudah putus sekolah
pun sangat rendah. Ada 2 penyebab: Pertama, sekolah tidak cukup menarik
bagi anak. Apalagi BOS (Biaya Operasional
Sekolah ) baru ada sekitar tahun 2004, dimana anak tak perlu membayar
uang sekolah lagi. Tapi ada biaya-biaya lain yang tak bisa disediakan
oleh orangtua anak. Misalnya biaya pembelian seragam, sepatu, uang
transportasi, uang jajan anak, dan lain-lain. Bagi anak, bila kebutuhan
ini tidak terpenuhi, bisa dijadikan alasan untuk tidak sekolah.

Kedua, dunia kerja sangat dekat dengan kehidupan anak. Imbalan
finansial yang diterima membuka peluang dan lebih memikat anak. Juga
karena telah lama putus sekolah, mereka enggan kembali ke sekolah. ”Ini
adalah masalah yang konstan, “kata Elok Mahbubah dari YPSM
yang selama 10 tahun terakhir melakukan penelitian. Kebutuhan ekonomi
yang mendesak sering kali menempatkan aparat desa dalam situasi, di mana
mereka tidak bisa menolak memberikan surat keterangan bahwa anak
tersebut sudah mencapai usia kerja.

Para pekerja anak ini mencakup setingkat Sekolah Dasar hingga Sekolah
Menengah Atas. Hal ini memberi gambaran, bahwa usaha tembakau tidak
mempersoalkan tinggi rendahnya pendidikan para pekerjanya. Hal ini
mengakibatkan rendahnya apresiasi masyarakat desa terhadap pendidikan.
Karena meski anak mereka bersekolah hingga SMA, pekerjaannya toh tetap sama, yakni sebagai buruh atau pekerja di perkebunan tembakau.

Dilihat dari tipe pekerjaan yang dilakukan, anak-anak terlibat di
hampir semua tahapan pekerjaan dalam usaha tembakau, kecuali pekerjaan
menaikkan dan menurunkan daun tembakau yang telah di-sujen pada rak
bambu gudang. Anak-anak yang berusia 13-14 tahun, melakukan pekerjaan
ringan. Jam kerja kurang dari 4 jam.
Semakin tinggi usia pekerja anak, semakin panjang jam kerjanya. Sebagian
besar anak berusia 15-17 tahun bekerja sepanjang hari (7-9 jam) seperti
halnya buruh dewasa. Tanaman tembakau merupakan tanaman musiman,
sehingga para pekerja di kebun tembakau tidak bekerja sepanjang tahun.
Sebagian besar pekerja anak bekerja tidak lebih dari 3 bulan dalam
setahun.

Alan Boulton, Direktur International Labour Organization (ILO)
Jakarta, mengungkapkan, di seluruh dunia lebih dari 132 juta anak
perempuan dan laki-laki berusia 5-14 tahun yang bekerja di perkebunan
dan pertanian. “Ini juga terjadi di Indonesia di mana diperkirakan lebih
dari 1,5 juta anak berusia 10-17 bekerja di sektor pertanian dan
perkebunan di Indonesia, “ Kata Alan. Pekerjaan di sektor ini, bisa
mengandung bahaya-bahaya seperti kena temperatur yang tinggi, pestisida,
dan debu organik. Pekerjaan di pertanian seringkali juga membutuhkan
jam kerja yang panjang serta penggunaan peralatan mesin yang berat dan
berbahaya.

Dalam hal ini, sebenarnya Indonesia telah meratifikasi Konvensi ILO tentang bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak (No. 182) dan Konvensi ILO
mengenai usia minimum memasuki dunia kerja (No. 138) pada tahun 2000
dan 1999. Dengan meratifikasi Konvensi 182, Indonesia berkomitmen untuk
“mengambil tindakan dengan segera dan efektif untuk melarang dan
menghapuskan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak”. Sebagai
tindak lanjut, Pemerintah Indonesia telah mengembangkan sebuah Rencana
Aksi Nasional Penghapusan Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak yang
disahkan melalui Keputusan Presiden no. 59 tahun 2002. Rencana Aksi ini
mengidentifikasikan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak,
termasuk pekerja anak di perkebunan.

Yuni, seorang anak kelas 6 menyatakan bahwa pekerjaannya di usaha
tembakau keluarganya, sangat mengganggu sekolahnya. Sering menyebabkan
terlambat masuk sekolah, dia juga tidak bisa mengerjakan PR karena
lelah, dan tidak bisa konsentrasi mengikuti pelajaran. Namun demikian,
dalam 6 bulan terakhir, ia belum pernah absen dari sekolah karena
pekerjaannya. “ Bapak lebih suka saya belajar mengaji daripada belajar
di sekolah,”katanya. Dua kakaknya putus sekolah karena telah menikah dan
bekerja di kebun tembakau. Menurutnya, ayah ibunya dulu juga bekerja
sejak anak-anak. Nenek dan kakeknya juga bekerja di gudang tembakau
sejak remaja. Keluarga mereka memang memiliki kebun tembakau yang
hasilnya mereka setor ke perkebunan besar.

“Dengan kata lain, buruh anak yang ditemukan sekarang merupakan anak
dari orang tua yang dulunya juga buruh anak. Sekarang masih menjadi
buruh yang telah dewasa. Ini juga berlaku pada generasi-generasi
sebelumnya . Ini yang saya maksud dengan tak berdaya. Karena kemiskinan
materi dan pengetahuan. Dan ketidakberdayaan ini bersifat konstan. “
kata Elok Mahbubah menutup pembicaraan.

Untuk share atrikel ini klik www.KabariNews.com/?36558

Untuk melihat artikel Khusus lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :