Penguatan peran lembaga perundingan saksi dan korban menjadi pokok pembahasan Komisi III DPR RI bersama mitra kerja dan pemangku kepentingan selama berada di Washington, D.C., tanggal 5 Agustus 2014. Delegasi Komisi III DPR RI telah melakukan serangkaian pertemuan dan tukar pikiran dengan pejabat Department of Justice dan US Marshals Service (USMS). Delegasi dipimpin oleh  Dr. Azis Syamsuddin (F. Partai Golkar) dan beranggotakan 11 orang yang terdiri dari perwakilan Fraksi PAN, Fraksi Partai Demokrat, Fraksi PDIP, Fraksi PKB dan Fraksi Partai Hanura.

Seperti dikutip dari siaran pers embassyofindonesia.org (7/8),  maksud kunjungan Delegasi Komisi III untuk mencari informasi, bahan dan data baik berupa masukan maupun perbandingan mengenai konsepsi dan bentuk perlindungan terhadap saksi dan korban di AS terkait dengan proses pembahasan Rancangan Undang-Undang Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang saat ini sedang berjalan.

Pertemuan dengan Mr. Bruce Ohr (Counselor for Transnational Organized Crime and International Affairs, Department of Justice) mengawali kegiatan Komisi III DPR RI di Washington DC. Pada pertemuan tersebut, delegasi Komisi III dan Mr. Ohr memfokuskan bahasan pada formulasi UU mendukung keberadaan lembaga perlindungan korban dan saksi. Juga dibahas mengenai aturan yang di AS dikenal sebagai 5K1.1 motion, di mana tersangka atau pelaku kejahatan memutuskan bekerjasama dengan pihak penegak hukum untuk mendapatkan keringanan hukuman. Diawali dengan pengakuan bersalah dan bersedia bekerjasama dengan pihak penegak hukum maka tersangka atau pelaku kejahatan beralih status menjadi saksi dan wajib dilindungi oleh penegak hukum (witness protection).

Namun demikian, kewajiban perlindungan akan gugur dengan sendirinya jika saksi memutuskan mencabut semua keterangannya pada saat persidangan berlangsung. Pelanggaran aturan yang telah ditetapkan pada program perlindungan saksi juga menggugurkan kewajiban penegak hukum memberikan perlindungan. Implementasi program perlindungan saksi di bawah koordinasi Department of Justice dipandang efektif mendukung penegakan hukum di AS.

Walaupun berada di bawah wewenang Department of Justice namun program perlindungan saksi di AS dilaksanakan oleh US Marshals Service (USMS). USMS bertanggungjawab sepenuhnya atas keselamatan saksi baik sebelum, saat menjalani proses pengadilan maupun setelah proses pengadilan selesai. Ditegaskan oleh Mr. Patrick Payne (Chief Inspector, Office of Witness Security) bahwa USMS juga bertanggungjawab penuh atas keselamatan saksi sekaligus melindungi petugas dan gedung pengadilan guna menjamin penegakan hukum.

Dengan keberadaan 94 marshal yang diangkat oleh Presiden AS dan dikukuhkan oleh keputusan Senat AS, sejak tahun 1971, program perlindungan saksi USMS telah melindungi sekurangnya 8.500 orang saksi dan 9.900 orang anggota keluarganya. Tidak hanya memberikan perlindungan fisik 24-jam, USMS juga memberikan identitas baru yang didukung dokumen otentik, fasilitas tempat tinggal, biaya hidup dan biaya kesehatan serta bantuan pekerjaan bagi para saksi yang mengikuti program perlindungan saksi.

Pertemuan dengan Komisi 3 DPR RI ditutup dengan tawaran USMS menjajaki kemungkinan kerjasama program perlindungan saksi, dalam kerangka OPDAT (Overseas Prosecutorial Development, Assistance and Training) dengan LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) Indonesia. (1009)

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?68686

Untuk melihat artikel Khusus lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini
______________________________________________________

Supported by :

th_Alan180x180copy