KabariNews – Niat Presiden Jokowi agar Indonesia bergabung ke dalam Perjanjian Kemitraan Trans Pasifik (TPP) perlu ditinjau ulang karena dinilai akan menghambat akses terhadap akses obat-obatan generik. Perjanjian dagang internasional yang diinisiasi Amerika Serikat (AS) dan melibatkan 12 negara ini mengandung pasal-pasal hak kekayaan intelektual yang memperkuat monopoli perusahaan farmasi dan dapat membatasi akses obat-obatan murah. Hal ini mengemuka dalam diskusi “TPP, Jangan Korbankan Obat Murah” di Indonesia for Global Justice di Jakarta, Senin (25/1).

Dalam paparannya, dr Maria Guevara, Perwakilan Regional Dokter Lintas Batas (MSF) untuk kawasan Asia mengatakan, “MSF sangat khawatir TPP akan memperburuk krisis obat-obatan di dunia. Pasal mengenai hak kekayaan intelektual dalam perjanjian TPP akan memperpanjang, memperkuat dan memperluas monopoli perusahaan farmasi melebihi apa yang sudah diatur dalam ketentuan perdagangan internasional yang telah ada sebelumnya.”

Sebagai contoh, TPP akan mempermudah perusahaan farmasi untuk mendapatan paten untuk obat lama yang hanya sedikit dimodifikasi – praktik ini disebut peremajaan paten atau patent evergreening.

Sindi Putri, Staf Advokasi dari Indonesia Aids Coalition (IAC) yang merintis Koalisi Obat Murah Indonesia mengatakan, “Dari perspektif pasien, kami khawatir TPP akan membawa kemunduran dalam perjuangan akses obat-obatan murah. Saat ini kami sedang mendorong revisi UU Paten agar lebih memihak kesehatan masyarakat,” ujar Sindi. “TPP akan memaksa negara untuk mengikuti aturan-aturan yang tidak memihak pada kepentingan kesehatan masyarakat,” pungkasnya.

TPP juga mengandung pasal yang problematis terkait investasi asing. Lutfiyah Hanim, peneliti dari Third World Network (TWN) menyoroti pasal terkait investasi yang memberikan wewenang kepada perusahaan untuk menuntut negara apabila dinilai menerapkan kebijakan-kebijakan yang merugikan perusahaan.

Pasal ini berkaitan dengan bab Investasi di dalam Perjanjian TPP yang memang memasukan ketentuan Investor-State Dispute Settlement (ISDS) yang dalam prakteknya berdampak terhadap hilangnya ‘policy space’ negara untuk dapat membuat kebijakan yang melindungi kepentingan publik.

Indonesia for Global Justice selaku perwakilan civil society Indonesia terus melakukan advokasi agar pemerintah menelaah isi perjanjian TPP secara hati-hati dan meninjau ulang rencana untuk bergabung.

Rachmi Hertanti, Research & Monitoring Manager IGJ mengatakan, “Pembukaan akses terhadap investor asing di sektor farmasi dalam revisi Daftar Negatif Investasi (DNI) yang dilakukan oleh Pemerintah tidak akan memberikan jaminan bahwa industry farmasi di Indonesia bisa berkembang dan bisa mengakses bahan baku obat-obatan yang hingga kini masih dimonopoli oleh perusahaan asing melalui Hak Paten. Sehingga jangan mimpi Indonesia punya Industri Farmasi besar kalau kita gabung dengan TPP”. (1009)