5 Desember 2011 jam 6 malam, salju tidak turun di kawasan New
Jersey tengah, Amerika Serikat. Sekitar 200 orang Indonesia dan para
pendukungnya menghadiri Malam Puasa dan Doa di Gereja Reformed,
Highland Park, New Jersey. Ada suasana tegang dan genting terpancar
dari wajah-wajah yang datang. Acara malam itu bukan pertemuan biasa.
Lama rangkaian acara semalam suntuk.

Di luar gereja berbata merah ini terpampang tajuk acara di satu
spanduk besar. Bunyinya, deportasi mengoyak-ngoyak keutuhan keluarga.
Betapa tidak. 70-an lebih keluarga Indonesia di New Jersey terancam
deportasi. 42 anak mereka yang kelahiran Amerika terancam terpisah
dengan ibu dan ayahnya yang asal Indonesia! Dan esok pagi, banyak warga
Indonesia ini yang harus lapor diri ke Kantor ICE (Immigration and Custom Enforcement) untuk mengetahui nasib mereka selanjutnya.

Dua tahun lalu, Pastor Seth Kaper-Dale memang mengatur kesepakatan
khusus dengan pihak Imigrasi di Newark melalui program Order of
Supervision. Sebagai alternatif masuk tahanan, lebih dari 70 warga
Indonesia wajib lapor secara teratur ke ICE. Mereka diberi izin tinggal dan bekerja di AS, selagi mencari cara membereskan kasus imigrasinya di AS.

Tetapi, kesepakatan khusus selama dua tahun tadi tampaknya berakhir
sudah. Pemutihan yang dinantikan selama pemerintahan Obama tak kunjung
datang juga.

Menjelang Natal tahun lalu, 70-an warga Indonesia di New Jersey ini mulai menerima surat dari Homeland Security
untuk siap-siap dengan tiket pesawat dan angkat koper dari Amerika.
Mereka bukan pendatang baru, kebanyakan lari ke Amerika karena kemelut
etnis dan agama di Indonesia di akhir tahun 90-an. Lamaran suaka politik
mereka umumnya ditolak gara-gara diajukan lewat satu tahun setelah
sampai di Amerika.

Malam mulai merayap. Acara Vigil dibuka dengan doa dan potluck.
Memastikan setiap orang bisa bertahan puasa selama 24 jam. Ada nasi
kuning, ayam woku, gado-gado, babi rica-rica dan babi putar.

Jam 8 malam Pastor Seth Kaper-Dale mulai menaikkan doa, memimpin
kidung pujian dan memimpin penyalaan lilin bersama di depan gerejanya.
Ada api anggun untuk menghangatkan badan dan suasana.

Harry Pangemanan, 41, adalah salah satu orang Indonesia yang hadir
malam itu. Pangemanan datang ke AS tahun 1993. Disusul istrinya,
Mariyana Sunarto (Yana), 46, yang mengungsi ke Amerika karena huru hara
Mei 1998.

Pangemanan yang ayah dua anak ini mendampingi Jocelyn, putri
pertamanya, membaca surat kepada Presiden Obama, memohon agar papa dan
mamanya diperbolehkan tinggal bersama dia dan Christa, 5, adiknya di
Amerika.

Pangemanan tampak kusyuk berdoa malam itu. Pemimpin bible study
aktif ini yakin benar dengan kekuatan doa. Akhir Maret 2009, suami Yana
ini nyaris kena deportasi. Ketika Pastor Seth mendengar, bahwa
Pangemanan akan dideportasi dan sedang digiring ke pesawat, pastor
gesit ini langsung berangkat menuju bandara Internasional Newark.
Berjubah pastor, rohaniwan ini bersikeras meyakinkan petugas untuk
bertemu Pangemanan untuk berdoa.

Tiga menit sebelum pintu gerbang pesawat ditutup dan semua penumpang
sudah naik, Pastor Seth akhirnya diperbolehkan masuk badan pesawat dan
mendapati Pangemanan berada di kursi paling belakang. Diapit dua agen ICE, pastor Seth menaikkan doanya bersama aktivis gerejanya ini.

“Kuatlah dan jangan menyerah. Saya akan berjuang dari luar. Berikan
saya waktu 3 minggu”, ujar Pastor Seth di waktu menegangkan itu.

Pesawat itu ternyata memindahkan Harry secara mendadak dari Elizabeth Detention Center di New Jersey ke Tacoma, Washington.

Setelah memprotes orang-orang Obama di Washington, 2 minggu kemudian
Harry Pangemanan dibebaskan dari tahanan imigrasi. Dari kasus Pangemanan
inilah, program Order of Supervision yang disepakati ICE dan Gereja Pastor Seth ini mulai kepada ratusan orang Indonesia di New Jersey dan sekitarnya.

Semenjak keluar dari tahanan imigrasi di 2009, Harry Pangemanan memilih tinggal dekat gerejanya dan bekerja sebagai Manager perusahaan ekspedisi.

Impian Amerika keluarga Pangemanan ini terancam buyar jika
dideportasi ke Indonesia. Kedua putrinya kelahiran Amerika. Kerabat yang
lain juga Warga Amerika. “Karena publikasi yang luas tentang saya di
media, secara manusiawi, saya takut keselamatan diri saya di Indonesia”,
tambahnya serius.

Ada Harry lain malam itu. Harry Tuwo namanya. Harry Tuwo, 41, datang
bersama Rita Pauned, 37, dan dua putrinya, Angela, 9, dan Georgia, 2.
Keduanya asal Manado. Mereka tinggal di kota Edison, New Jersey. Ini
kota tempat Thomas Alfa Edison, penemu bola lampu dari Amerika itu.

Harry datang ke negeri Paman Sam tahun 1995. Rita Pauned datang
belakangan di tahun 1999, di masa Indonesia masih dilanda banyak
kerusuhan. Tuwo and Pauned ketemu dan menikah di Atlanta, sebelum pindah
ke kota Edison. Keduanya mengajukan suaka politik di Amerika.

Sayangnya, lewat satu tahun sejak masuk ke Amerika.

Harry Tuwo bekerja keras sebagai chef hibachi di sebuah restoran Jepang di Edison. Dan, Rita Pauned tinggal di rumah menjaga Georgia, putrinya kedua yang menderita ketunaan Sindroma Down (Trisomy 21).

“Di Amerika anak saya bisa menerima terapi dan pendidikan layak dan
khsus untuk anak seperti dia, “ ujar Rita Pauned yang sudah berusaha
mencari sekolah luar biasa buat anaknya di Manado, tapi tidak ada.

Pendeknya, keluarga Tuwo bisa mengalami penderitaan serius jika
Geogia, putrinya yang warga negara AS dibawa dan dibesarkan di
Indonesia. “Saya tidak ingin anak saya meninggal di sana”, katanya.

Malam semakin larut, komunitas Indonesia dan para pendukungnya
menghabiskan malam itu di gereja. Ada yang berdoa sendirian, doa bersama
dan doa syafaat. Semua beristirahat mengumpulkan tenaga untuk secara
bersamaan melakukan “Talkathon”, menelepon anggota Kongress AS untuk
mendukung agar mereka bisa tinggal di AS.

Di sela-sela Vigil, Pastor Seth dan beberapa warga Indonesia lainnya
diwawancarai berbagai media internasional untuk menceritakan perjuangan
ini.

Di satu wawancara di CNN, Pastor Seth
Kaper-Dale bilang, “Saya marah besar. Tetapi, lebih dari itu, yang
menyedihkan adalah perpolitikan di Washington membuat pemerintah kita
tidak mampu untuk membuat keputusan yang berbelas kasihan guna
menyelamatkan keutuhan bersama keluarga ini”.

Orang-orang seperti dua Harry ini berada di bawah radar Homeland Security
(Imigrasi AS) karena mereka berasal dari Indonesia, negara berpenduduk
muslim terbesar di dunia, melakukan wajib daftar diri ke Imigrasi AS
setelah Peristiwa 9/11.

“Yang paling mengusik hati nurani saya: orang yang jujur dan wajib
lapor diri waktu 911 malah dikejar, sementara orang yang tidak lapor
bisa hidup bebas dari deportasi. Ini kan tidak fair”, ungkap Pastor
Seth.

Secercah harapan muncul di Juni 2011 ketika ICE mengeluarkan Memo Norton. Kepala ICE, John Norton, mengumumkan bahwa Imigrasi AS punya keterbatasan sumber daya, dan akan menggunakan Prosecutorial Discretion
untuk menuntaskan banyak kasus imigran ilegal yang masih menggantung.
Ini kebijakan yang memberikan keleluasaan kepada seorang pejabat
Imigrasi AS untuk mengurangi beban kerja mereka.

Secara teori, kasus orang-orang Indonesia seperti Harry Pangemanan dan Harry Tuwo bisa diselesaikan lewat Prosecutorial Discretion.
Karena mereka sudah tinggal lebih dari 10 tahun, tidak punya catatan
kriminal, selalu taat membayar pajak, punya kerabat dekat yang sudah WN
Amerika, punya sumbangsih dan ikatan kuat dengan masyarakat di Amerika.

Bahkan, di sebuah pernyataan tertulis, ICE
menjanjikan adanya upaya administratif besar-besaran untuk memfokuskan
razia imigrasi bagi mereka yang terlibat kasus kriminal, pelintas batas,
dan pelanggar Undang-Undang kelas berat saja.

Tetapi, secara praktek, siapa tahu?

Awal Desember 2011, dua anggota Konggres AS Partai Demokrat, Carolyn
Maloney dan Frank Pallone memperkenalkan Rancangan Undang-Undang yang
bisa menolong orang-orang Indonesia yang melarikan diri dari penganiyaan
agama untuk membuka kembali kasus asylum-nya, tetapi ini hanya berlaku
untuk mereka yang datang ke Amerika antara tahun 1997 dan 2002 saja. RUU
yang diprakarsai pastor Gereja Reformed di Highland Park, New Jersey
ini akan menolong orang-orang seperti Harry Pangemanan, Harry Tuwo dan
ribuan orang Indonesia lain membuka kasusnya kembali.

Harry Tuwo dan keluarganya optimis dan menyanyikan “Bersoraklah
Terus” di acara Malam Puasa dan Doa. Dan Harry Pangemanan tetap beriman
bahwa dia dan istrinya tidak akan dideportasi.

Selepas Natal tahun lalu, ICE masih menangguhkan deportasi kebanyakan warga Indonesia di New Jersey. Perjuangan dan doa belum usai …
(Peter Phwan)

Untuk share artikel ini klik www.KabariNews.com/?37726

Untuk melihat artikel imigrasi Amerika lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :