Terkait dengan perombakan (reshuffle) Kabinet Indonesia
Bersatu Jilid II yang diumumkan tgl 18 Oktober lalu, sulit untuk
dihindari bahwa pemerintah telah menjalankan politik kedekatan yang
dilandasi kepercayaan sesama anggota kabinet koalisi ( gabungan antara
Partai Demokrat, Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Kebangkitan
Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Kesejahteraan Sejahtera (PKS) serta profesional).

Koalisi kali ini memang sedikit menarik dicermati. Karena selain Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)
yang memilih sikap sebagai “musuh / oposisi” pemerintah, ternyata
terjadi polemik sentimen antar sesama anggota koalisi yang mendominasi
karakter koalisi. Tidak satu dua kali anggota koalisi mengancam
mengundurkan diri dari koalisi ini. Bahkan ketika salah satu orang
partai mereka memiliki potensi keluar dari posisi menteri, partai yang
bersangkutan akan bersikap memusuhi presiden. Karenanya timbul kesan,
bahwa Presiden yang juga memangku jabatan sebagai Ketua Dewan Pembina
Partai Demokrat, sekarang lebih terlibat dalam soal-soal peredaman
situasi politik dipahami sebagai cara-cara kompromis.

Yang menjadi perhatian publik di tanah air adalah, kasus penggantian
Fadel Muhammad sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan yang memunculkan
anggapan sebagian elit Partai Golkar terhadap ketidak-adilan presiden
dalam berkoalisi. Kemudian, masyarakat dikejutkan dengan siaran pers
Sudi Silalahi yang menyebutkan salah satu kegagalan penting Fadel
adalah, ketika Komaruddin Hidayat (Rektor UIN
Hidayatullah) melaporkan kasus tanah di Gorontalo yang melibatkan
Fadel. Demikian juga halnya dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
yang mengancam akan keluar dari koalisi jika Presiden mencopot salah
satu kader mereka yang sedang menjabat sebagai Menteri. “Bila satu orang
menteri dari PKS dicopot dari kabinet, maka semua menteri akan mundur,” kata Hilmi Aminuddin, Ketua Majelis Syuro sesaat sebelum SBY mengumumkan perombakan kabinet. Demikian juga dengan kasus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dengan masalah yang berbeda.

Koalisi dengan model seperti ini memiliki potensi konflik antar
partai anggota koalisi jika Presiden masih berputar pada kebijakan
penempatan. Setiap partai cenderung menempatkan diri sebagai sahabat
pemerintah. Sikap-sikap kesukuan, kesamaan kepentingan kedaerahan dan
mutu kader nampak di dalam susunan koalisi di periode 2009 – 2014. Sulit
juga mengabaikan kepentingan jangka pendek elit partai, jika potensi
konflik demi alasan kestabilan ekonomi-politik negara digunakan di
tingkat pengambil keputusan, di tingkat negara.

Kesenjangan pusat-daerah dalam soal hasil pembangunan, tidak saja
menempatkan posisi partai secara naluriah sebagai penentu di dalam
struktur dan sistem politik Indonesia, tetapi juga membuat partai
menjadi semakin dominan. Bisa dilihat secara sepintas bagaimana
kepedulian partai terhadap kontrol dan pendampingan pembangunan di
berbagai daerah sangat kecil. Terutama jika kepala daerah yang memimpin
adalah kader partai yang cukup militan.

Sehingga masyarakat bisa melihat adanya pola yang terbiasa
disepakati, bahwa partai di daerah justru sibuk dengan pembagian porsi
realisasi anggaran kementerian dan lembaga. Manifestasi kepartaian di
daerah justru menguatkan pendapat-pendapat klasik, bahwa para pengambil
kebijakan di dalam lingkungan partai memang hanya menggunakan partai
sebagai komponen strategi partai di tingkat nasional.

Masyarakat juga dapat melihat bagaimana partai-partai yang memiliki
kursi di parlemen sangat berkepentingan dengan struktur dominan partai
di tingkat kepala daerah. Keterbatasan pusat untuk mengawal
program-program mikro juga menjadi celah bagi partai-partai mengambil
porsi peran yang lebih besar. Bahkan agen-agen pembangunan bukan lagi
diartikan sebagai kecenderungan kenegaraan, tetapi lebih pada
kecenderungan partai, tentu saja di dalam pola-pola jangka pendek.

Di dalam struktur piramida kekuasaan, seringkali partai banyak
bergerak di luar kewenangan dan kerja mereka. “Bahwa kemudahan terhadap
informasi membuat sebagian masyarakat tidak dapat membedakan program
unggulan pemerintah dalam pemberdayaan masyarakat dengan program
unggulan partai dalam sisi yang sama” kata Ikrar Nusa Bakti, seorang
peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)

Ini adalah wajah politik Indonesia beberapa waktu belakangan ini.
Siklus kekuasaan selalu berada di lingkaran kepartaian. Tidak ada
jabatan fungsional dan karir di dalam jenjang eksekutif yang tidak
melalui proses resmi partai. Mungkin agak tidak nyaman jika mendengar fit and proper test calon pimpinan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) melalui Komisi III DPR-RI. Sedang di sisi lain kenyataan korupsi juga ada di lingkungan lembaga legislatif.

Bisa dibayangkan bagaimana seorang direktur dan jajaran direksi di Badan Usaha Milik Negara (BUMN),
yang jadi penyumbang pendapatan negara terbesar, harus membangun
relasi kepentingan dengan anggota legislatif. Bahkan calon hakim agung,
sebuah jabatan bergengsi di lingkungan yudikatif, harus juga melalui
proses pemilihan di lingkungan legislatif. Padahal, lingkungan
legislatif itu pada hakekatnya adalah lembaga yang diawasi oleh
yudikatif, dalam soal produk undang-undang.

Artinya secara keberadaan partai sebagai agen pembangunan nasional,
telah beralih menjadi agen pembagian program pembangunan yang ada di
setiap daerah. Jika kita mengurai Daerah Pemilihan dimana setiap anggota
memiliki pemilih bagi dirinya dan partai dimana ia berada, apakah
pemerintah pusat punya kemampuan melakukan pengawasan bagi
daerah-daerah yang menjadi pusat perolehan suara seorang anggota
legislatif? Jika proses keterlibatan pendukung partai mampu meningkatkan
pengawasan, bisa jadi akibat politisasi di tingkat pengambil kebijakan
tidak menimbulkan dampak sistematis terhadap negara.

Susunan Lengkap Kabinet Indonesia setelah reshuffle:
Menteri Koordinator
1. Menko Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan: Djoko Suyanto (Militer)
2. Menko Bidang Perekonomian: Hatta Rajasa (PAN)
3. Menko Bidang Kesejahteraan Rakyat: Agung Laksono (Golkar)
Kementerian
4. Menteri Sekretaris Negara: Sudi Silalahi (Demokrat)
5. Menteri Dalam Negeri: Gamawan Fauzi (mantan Gubernur Sumatera Barat)
6. Menteri Luar Negeri: Marty Natalegawa (Birokrat)
7. Menteri Pertahanan: Purnomo Yusgiantoro (mantan Militer)
8. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia: Amir Syamsuddin* (Partai Demokrat)
9. Menteri Keuangan: Agus Martowardojo (Profesional)
10. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral: Jero Wacik (Partai Demokrat)*
11. Menteri Perindustrian: MS Hidayat( Kadin/Profesional)
12. Menteri Perdagangan: Gita Wirjawan
(Profesional)
13. Menteri Pertanian: Suswono (PKS)
14. Menteri Kehutanan: Zulkifli Hasan (PAN)
15. Menteri Perhubungan: Ever Ernest Mangindaan** (Partai Demokrat)
16. Menteri Kelautan dan Perikanan: Cicip Sutardjo* (Partai Golkar)
17. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi: Muhaimin Iskandar (PKB)
18. Menteri Pekerjaan Umum: Djoko Kirmanto (Profesional)
19. Menteri Kesehatan: Endang Rahayu Sedyaningsih (Peneliti)
20. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan: Mohammad Nuh (Akademisi)
21. Menteri Sosial: Salim Segaf Al-Jufri (PKS)
22. Menteri Agama: Suryadharma Ali (PPP)
23. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif: Marie Elka Pangestu – (Profesional) (Jero Wacik-)*
24. Menteri Komunikasi dan Informatika: Tifatul Sembiring (PKS)

25. Menteri Negara Riset dan Teknologi: Gusti Muhammad Hatta
* (peneliti)
26. Menteri Negara Koperasi dan UKM : Syarifuddin Hasan (Demokrat)
27. Menteri Negara Lingkungan Hidup: Berth Kambuayana* (Akademisi)
28. Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak: Linda Amalia Sari
29. Menteri Negara PAN dan Reformasi Birokrasi: Azwar Abubakar* (PAN)
30. Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal: Helmy Faishal Zaini (PKB)
31. Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bapenas: Armida Alisjahbana (professional)
32. Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara: Dahlan Iskan* (Profesional)
33. Menteri Negara Perumahan Rakyat: Djan Farid* (PPP)
34. Menteri Negara Pemuda dan Olah Raga: Andi Mallarangeng (Demokrat)
Kepala Lembaga Pemerintah Non-kementerian:
1. Kepala Badan Intelijen Negara: Marciano Norman* (Militer)
2. Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal: Gita Wirjawan (sementara rangkap jabatan)

Wakil Menteri:
1. Wakil Menteri Luar Negeri: Wardana* (Sriyono menjadi Duta Besar)
2. Wakil Menteri Pertahanan: Sjafrie Sjamsoeddin
3. Wakil Menteri Perindustrian: Alex Retraubun
4. Wakil Menteri Perdagangan: Bayu Krisnamurti (Wamen Pertanian****)
5. Wakil Menteri Pertanian: Rusman Heriyawan*
6. Wakil Menteri Perhubungan: Bambang Susantono
7. Wakil Menteri Pekerjaan Umum: Hermanto Dardak
8. Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan: Musliar Kasim dan Wiendu Nuryanti*
9. Wakil Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional: Lukita Dinarsyah Tuwa
10. Wakil Menteri Keuangan: Anny Ratnawati + Mahendra Siraegar (Wamen Perdagangan****)
11. Wakil Menteri Pertanian: Rusman Heriawan*
12. Wakil Menteri Kesehatan: Ali Ghufron Mukti*
13. Wakil Menneg BUMN: Mahmudin Yasin*
14. Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara: Eko Prasodjo*
15. Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif: Sapta Nirwanda*
16. Wakil Menteri Hukum dan HAM: Denny Indrayana*
17. Wakil Menteri ESDM: Widjajono Partowidagdo*
18. Wakil Menteri Agama: Nasruddin Umar*

  • Wajah Baru
    • Bergeser
      • Penambahan
        • Jabatan Awal dan kemudian bergeser
          (Indah)

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?37527

Untuk melihat artikel Khusus lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :