KabariNews – Kebebasan beragama atau kebebasan berkeyakinan sejatinya yang adalah prinsip yang mendukung kebebasan individu atau masyarakat, untuk mewujudkan agama atau kepercayaan dalam pengajaran, praktek, ibadah, dan ketaatan. Dalam negara yang mengamalkan kebebasan beragama, agama-agama lain bebas dilakukan dan ia tidak menghukum atau menindas pengikut kepercayaan lain yang lain dari agama resmi. Namun dalam kenyataannya di Indonesia keadaan ini masih jauh panggang daripada api.

Di era Presiden ketujuh, Joko Widodo yang memiliki nawacita dimana salah satunya adalah komitmennya terhadap keberagaman dan kebebasan beragama nyanta belum terlihat akan disentuh. Pdt Gomar Gultom, Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI), dalam bincang-bincangnya dengan KABARI beberapa waktu yang lalu mengatakan Jokowi belum menyentuh permasalahan kebebasan beragama.

“Saya mencoba realistis, sembilan bulan masa pemerintahannya terjadi banyak gejolak politik yang tidak mudah. Persoalan politik belum selesai berikut dengan permasalahan ekonomi dengan rupiahnya yang semakin jeblok.” katanya.

Gomar mencoba membandingkan dengan era kebebasan beragama rezim sebelumnya dimana SBY masih berkuasa. Era SBY tidak memiliki komitmen terhadap kebebasan beragama. Presiden yang diam seribu bahasa saat gereja ditutup adalah presiden yang sedang melakukan kejahatan konstitusi. Contohnya masalah pelik yang sampai saat ini belum tuntas terselesaikan, GKI Yasmin dan HKBP Filadelfia PGI. PGI dengan berbagai cara sudah melobi presiden langsung mengenai kasus ini. SBY pernah berkata akan turun lapangan langsung menyelesaikannya.

Namun pada Januari 2012 Staf Kepresidenan mengatakan masalah GKI Yasmin Bogor adalah masalah Walikota Bogor. “Kami hadir dalam berbagai acara ibadah di depan Istana. Kami juga melakukan lobi internasional, pada tahun 2013 kami melobi ke parlemen Belanda dan Jerman, dua bulan kemudian ke Kanselir Jerman. Kanselir german saat datang ke Indonesia. Sebelum bertemu presiden, kanselir khusus bertemu dengan kami. Tahun 2014 kami lobi ke perlemen Uni Eropa dan Belanda melakukan hal sama, tetapi tetap tidak bisa” tuturnya.

Gomar menambahkan PGI ini bukanlah sebuah organisasi yang tidak mempunyai kekuatan penekan dan sebatas hanya kekuatan moral dan mengharapkan kebebasan beragama akan terwujud di era Jokowi. “PGI ini bukan oposisi pemerintah dan koloborator pemerintah tetapi menempatkan posisi sebagai mitra kritis terhadap pemerintah. Ada saatnya kami bersama, ada saatnya juga PGI mengkritisi pemerintah”

Akan halnya dengan Penegakan Hak Asasi Manusia dan Oikumene harus berjalan bersama. Pria kelahiran Tarutung, Tapanuli Utara, 8 Januari 1959 mengatakan selama ini banyak orang menganggap Oikumene ada ketika beberapa gereja bersatu melakukan kegiatan. Hanya saja, Gomar mencoba kembali ke makna terdalam dari Oikumene. Oikumene berasal dari dua kata, oikus berarti rumah, sedangkan mene, berarti mendiami.

Dan sejatinya Oikumene itu secara substansial adalah sebuah upaya untuk menata dunia menjadi rumah yang nyaman untuk didiami untuk semua. Kalau ada orang yang tidak nyaman karena tidak diperlakukan secara adil, disitu lah gereja harus hadir dan menata dunia ini menjadi rumah yang nyaman. “Empat tahun sebagai staf PGI saya berusaha untuk menjembatani PGI dengan berbagai NGO yang berbasis agama maupun sekuler dan menjembatani antara penegakan hak asasi manusia dan Oikumene. Gereja Indonesia sepakat dengan apa yang diperjuangkanmya dengan format PGI yang berjuang untuk itu. (1009)

Klik disini untuk melihat majalah digital kabari +

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/79722

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :

Allan Samson

 

 

 

 

kabari store pic 1