Menjadi pilot bagi sebagian orang merupakan pekerjaan yang
dimimpikan. Masa pendidikan cenderung singkat (minimal 8 bulan).
Pendapatan, di atas rata-rata pekerjaan lain, fasilitas yang cukup
bagus, kesempatan jalan-jalan gratis ke berbagai kota di seluruh
Indonesia bahkan seluruh dunia adalah salah satu alasannya.

Apalagi, keadaan geografis Indonesia yang merupakan kepulauan,
diiringi perkembangan industri dan peluang pasar yang begitu
menjanjikan, kini hampir semua perusahaan penerbangan berlomba-lomba
menambah jumlah armadanya. Sehingga kebutuhan akan pilot juga tinggi.

Menurut hitungan Hasfriansyah, Ketua Federasi Pilot Indonesia,
perusahaan penerbangan di Indonesia butuh tambahan sebanyak 800 – 900
pilot baru. “Secara rata-rata kita masih kekurangan pilot sekitar 300
orang setiap tahun,” katanya.

Dari 13 sekolah pilot yang ada di Indonesia, baru sanggup meluluskan
650 pilot untuk setiap tahunnya. Dari jumlah itu, sebagian lulusannya
melirik perusahaan penerbangan asing. Hingga saat ini, jumlah pilot
lokal yang mengantongi sertifikat terbang baru berjumlah 5.500 orang.
Jumlah ini ternyata masih kurang banyak.

Tak heran, perusahaan penerbangan terpaksa mempekerjakan pilot asing.
Meski harus mengeluarkan dana lebih besar karena gaji pilot asing lebih
tinggi ketimbang pilot lokal, tapi mereka tak punya pilihan lain. Saat
ini, jumlah pilot asing yang ada di Indonesia sekitar 700 orang.
“Jumlah ini tergolong banyak,” kata Hasfriansyah.

Lebih baik sekolah pilot Indonesia atau luar negeri?

Salah satu kendala kurangnya pasokan pilot lokal adalah, karena biaya
sekolah pilot tergolong mahal. Menurut Hasfriansyah, total biaya
pendidikan satu pilot di Indonesia sekitar Rp 500 juta-Rp 700 juta.
Kalau di luar negeri bisa sekitar US$ 35 ribu – US$ 50 ribu. Semua orang
bisa menjadi pilot asal ada uang sebesar itu. Tapi apakah benar seperti
itu? Siapapun yang berminat menjadi pilot asal memiliki biaya atau
sponsor maka akan dengan mudah bisa menjadi seorang pilot komersial ?

Untuk menjadi pilot, seorang calon pilot harus menyelesaikan pendidikannya di sekolah penerbangan (flying school), dimulai dari first flight, first solo, first cross country, PPL (Private Pilot License) , CPL (Commercial Pilot License), hingga Multi Engine dan Instrument Rating
yang biasanya menghabiskan jam terbang sebanyak 150 hingga 225 jam
terbang. Sehingga total waktu sekolah sekitar 8 bulan atau lebih.

Menjadi penerbang profesional artinya adalah menjadi penerbang yang
dibayar. Pesawat apapun yang diterbangkan jika ingin dibayar, maka
seseorang harus memiliki lisensi minimal CPL (Commercial Pilot License). Seorang calon penerbang harus melakukan minimal 150 jam terbang untuk menjadi penerbang professional

Acuan Indonesia untuk industri penerbangan adalah Amerika dan
Inggris. Kebanyakan calon pilot memilih ke negara-negara itu untuk
sekolah pilot. Tapi tak menutup kemungkinan juga bersekolah di
Indonesia.

Bila di Indonesia, tes yang diharuskan untuk menjadi penerbang adalah
tes kesehatan dan bahasa Inggris. Tapi dengan terbatasnya tempat yang
tersedia di sekolah penerbang maka setiap sekolah di Indonesia
mengadakan tes penerimaan yang biasanya berupa tes akademik termasuk
bahasa Inggris dan mungkin juga tes psikologi serta tes bakat terbang.

Bentuk tesnya tidak diatur dalam peraturan penerbangan , jadi hal itu
merupakan kewenangan sekolah. Sekolah penerbang bersubsidi pemerintah
seperti Sekolah Penerbang Curug dan TNI
memberikan tes yang mungkin lebih banyak macamnya untuk mencari calon
penerbang terbaik yang akan dibiayai oleh pemerintah. Hal yang sama juga
berlaku untuk sekolah penerbang bersubsidi dari perusahaan penerbangan
baik milik pemerintah maupun swasta.

Mengapa banyak orang lebih memilih sekolah penerbang di luar negeri
dibanding dalam negeri? Jawabannya adalah, selain soal harga,
ketersediaan pesawat dan pelatih (instruktur) menjadi daya tarik utama.
Dunia sekolah penerbangan di Indonesia, rata-rata memiliki sedikit
pesawat latih dan sedikit pelatih.

Dengan pengaturan yang baik, perbandingan antara pesawat dan siswa
adalah; satu pesawat berbanding 12 siswa. Dengan catatan, pesawat telah
terbang dari jam 5 pagi sampai jam 11 malam. Satu jam terbang untuk
seorang siswa dan 30 menit waktu pergantian antar siswa.

Jadi kalau ada sekolah dengan 5 pesawat, maka secara ideal (nyaris
tidak mungkin terjadi di Indonesia) maksimum siswa yang terbang adalah
60 orang. Dalam kondisi normal jumlah ini cukup sulit untuk dicapai.
Karena kondisi cuaca di Indonesia, 12 jam terbang sehari kadang-kadang
tidak dapat dipenuhi karena hujan misalnya. Jadi, 1 pesawat 6-8 siswa di
satu waktu adalah cukup ideal.

Sebagai ilustrasi sekolah penerbang di Malaysia memiliki 170 siswa
dan 20 orang di antaranya adalah orang Indonesia. Mereka memiliki 30
buah pesawat latih. Di Filipina, ada sebuah sekolah penerbang yang
memiliki sekitar 20 orang Indonesia di antara sekitar 100 orang
siswanya. Mereka punya 35 buah pesawat latih. Indonesia, kadang sebuah
sekolah penerbang yang memiliki 80 siswa hanya punya 5 pesawat latih.

Siswa dari Indonesia yang di Malaysia dan Philiphina itu adalah
pindahan siswa dari sekolah penerbangan di Indonesia yang sudah bosan
menunggu giliran terbang dan menghabiskan uang yang lebih banyak jika
tetap di sekolah dalam negeri.

Untuk pelatih, normalnya, seorang pelatih dapat terbang maksimal
selama 4 jam sehari. Idealnya mereka terbang 2-3 jam untuk
mempertahankan staminanya. Jadi dengan asumsi satu siswa terbang satu
jam sehari, maka maksimum yang bisa dibawa oleh pelatih sehari adalah 3
siswa. Ini adalah rasio yang ideal. Satu pelatih- 3 orang siswa di satu
waktu. Jadi dalam 1 angkatan, mungkin 1 pelatih dengan jumlah maksimum
6-8 siswa.

Di Indonesia juga akan sulit ditemui sekolah penerbangan baru. Karena
sekarang amat sukar untuk mendapatkan perijinan dan lokasi sekolah.
Beberapa investor luar negeri menyatakan enggan membuka sekolah
penerbang di Indonesia karena birokrasi yang rumit dan sukarnya
mendapatkan bahan bakar pesawat.

Susahnya mendapat bahan bakar sampai membuat enggan investor membuka
sekolah penerbang baru? Bisa jadi iya. Namun kita bayangkan, misalnya
ada sekitar 10 sekolah di luar negeri yang menjadi tujuan belajar bagi
calon penerbang Indonesia, dan diperkirakan ada 15 orang di setiap
sekolah tersebut, maka ada 150 calon penerbang Indonesia yang sedang
bersekolah di luar negeri. Angka ini cukup besar mengingat biaya yang
dibutuhkan berkisar antara US$ 35 ribu sampai US$ 50 ribu. Bayangkan
devisa negara yang tersedot ke luar negeri karena kurangnya sekolah
penerbang di tanah air.

Itulah sebabnya, masih banyak siswa Indonesia yang tergoda untuk
sekolah penerbang di luar negeri. Memang berbiaya mahal, namun diyakini
hasilnya maksimal. Dan bersekolah di Aerotech Academy / Accelerate 36 di California adalah salah satu godaan calon siswa penerbang asal Indonesia. Sialnya, mereka tertipu.(Indah)

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?37856

Untuk melihat artikel Utama lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

_______________________________________________________________

Supported by :