Siapa tak tahu Kintamani, Trunyan? Juga danau Batur dan Toya
Bungkah di kabupaten Bangli? Tempat-tempat yang indah di Bali. Wisatawan
akan terpesona keindahannya. Lembah Batur ini menyimpan sejarah sebelum
Hindu datang ke Bali.

Ada desa-desa tua yang memiliki kaitan dengan Tionghoa. Ada desa Songan
(dari kata Song Ahn). Ada juga desa Lampu (dari marga Lam dan Pho). Tapi
desa terpenting bagi sejarah Tionghoa di seputar Batur adalah desa
Pinggan. Desa itu memiliki pura bersejarah yaitu Pura Dalem Balingkang.
Letak desa Pinggan, 9 kilometer dari danau Batur menuju Singaraja arah
timur laut.

Awal perjalanan, tak istimewa. Kanan kiri jalan, penuh lahar dingin
bekas letusan gunung Batur. Dari jauh, desa Pinggan terkesan sederhana.
Tapi, sampainya di sana, kita akan disambut pemandangan yang luar biasa
indah. Berlatar gunung Penulisan dan Batur. Tanaman sayur kol dan sawi
berbaris rapi. Di kejauhan tanaman pinus menyejukkan mata. Kita akan
jumpai juga bocah bertipikal sama. Muka bulat, mata sipit, sawo matang.
Mereka berdarah Tionghoa tapi berkulit coklat matang. Kadang terlihat
membantu ayahnya berkebun.

Sepuluh tahun lalu desa ini termasuk desa tertinggal di wilayah
Bangli. Jangan bayangkan rumah indah berterakota seperti di Denpasar.
Kebanyakan rumah masih dari anyaman bambu. Dapur, seruangan dengan ruang
tamu. Sekarang, beberapa rumah sudah bertembok. Malah ada yang memiliki
antene parabola. Mata pencarian mereka umumnya petani sayuran.

Kapan orang Tionghoa sampai di Bali ? Hubungan dengan orang asing di
Bali ditandai adanya kontak perdagangan dengan orang Tionghoa sekitar
tahun 900 M – 1250 M. Dibukanya pantai-pantai Bali, pertukaran
kebudayaan pun terjadi.

Adanya uang kepeng Tiongkok menunjukkan, bahwa uang zaman Tang (abad 7-9
Masehi), dipakai sebagai alat transaksi ekonomi di Bali. Fungsi uang
kepeng Tiongkok sebagai penukar yang sah di Bali berlanjut sampai masa
kolonial. Sampai sekarang pun uang kepeng dipakai sebagai pelengkap
upacara agama Hindu.


Berpengaruh pada seni dan arsitektur

Selain mata uang kepeng, unsur budaya Tionghoa juga berpengaruh pada
seni di Bali. Seni ukir dan taribaris Tionghoa di desa Sanur. Tari
dengan kostum yang unik.

Juga arsitektur Bali. Bangunan dengan atap bertingkat yang lazim di Bali
dikenal dengan nama Meru terlihat adanya pengaruh arsitektur Tionghoa.
Seni ukir dengan pola sulur atau batang perambat disebut patra Tionghoa.
Sampai sekarang perayaan Galungan dan Kuningan dimeriahkan pertunjukan
barong yang berasal dari Tiongkok. Makananpun adalah olahan babi yang
merupakan pengaruh Tionghoa.

Lantas, bagaimana awal hubungan desa Pinggan dengan Tionghoa ? Desa
Pinggan termasuk Bali Mula (Aga). Desa kuno terletak di wilayah Batur
yang sulit dijamah Hindu Majapahit. Raja wilayah ini pada 1181-1269 M
adalah Raja Sri Jaya Pangus Harkajalancana. Di masa itu, ada saudagar
Tionghoa bermarga Kang. Dia bersama anak perempuannya bernama Putri Kang
Cing Wie, berlayar ke Asia Tenggara untuk berdagang. Kapal saudagar
Kang hancur karena badai dan mereka terdampar di Bali. Mereka tak punya
pilihan lain selain hidup di tempat baru itu. Setelah agak lama
berjalan, mereka sampai di wilayah Batur. Raja Sri Jaya Pangus terpesona
melihat kecantikan Putri Kang Cing Wie. Dia mempersuntingnya. Putri
Kang Cing Wie pun mencintai keluarga baru, rakyat dan daerah barunya
dengan tulus. Pinggan-lah pelabuhan terakhirnya. Putri ini lantas
bergelar Paduka Sri Mahadewi Cacangkaja Cihna (Cihna-Cina). Selama
hidupnya, Raja Sri Jaya Pangus punya dua permaisuri, yaitu Paduka
Bhatari Sri Parameswari Indujaketana dan Paduka Sri Mahadewi Cacangkaja
Cihna.

Setelah Putri Kang Cing Wie wafat, sebagai bentuk cinta Raja,
dibangun Pura yang diberi nama Pura Dalem “Balingkang”. Terletak di
sebelah kiri jalan dari arah danau Batur. Nama Balingkang diyakini
berasal dari kata kata “BALI + ING (Permaisuri pertama ) KANG
(Putri Kang-permaisuri kedua)”. Cinta Raja Sri Jaya Pangus kepada Putri
Kang Cing Wie diwujudkan masyarakat Bali dalam simbol ‘Barong Landung’
yang selalu berdampingan. Barong Landung selalu ada, bila kisah
senderatari Legenda Balingkang ditampilkan pada Pesta Kesenian Bali (PKB) atau perayaan lainnya.

Kekhasan Pura Dalem Balingkang, karena adanya ornamen uang kepeng dan
beberapa interiornya. Pura yang mirip pagoda ini juga dijadikan istana
raja oleh keturunan Raja Sri Jaya Pangus. Di bagian tengah terdapat
palinggih Ratu Ayu Subandar, didominasi warna merah dan kuning. Dua
warna itu khas kelenteng/wihara. Palinggih ini sebagai pemujaan pada
Kang Cing Wie. Diyakini membawa berkah.

Selain di wilayah Bali Aga, ada beberapa komunitas di Bali yang
menunjukkan dengan jelas akulturasi Bali dan Tionghoa. Mereka bukan saja
beragama Hindu, tapi juga Khong Hu Cu. Komunitas Tionghoa di Bali bisa
kita jumpai di Baturiti, Marga, Pupuan, Petang, Carangsari, Gumicik-
Sukawati, Blahbatuh-Gianyar, dan Menanga. Mereka umumnya bermukim di
dekat pasar tradisional. Di Pabean, Sangsit (Buleleng), Pesanggaran
(Denpasar), Abiansemal (Badung), tempat ibadah umat Khonghucu
berdampingan dengan Pura. Komunitas Tionghoa di Bali sebagian
menunjukkan ke-Bali-annya dengan memakai nama Bali, yaitu Putu, Made,
Nyoman, dan Ketut. Mereka juga memakai bahasa Bali sehari-hari. (Indah
Winarso)

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?36322

Untuk melihat artikel Utama lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

_______________________________________________________________

Supported by :