Desember, bulan yang dinanti oleh beberapa jemaat Kristen.
Ada sekumpulan jemaat yang tinggal agak jauh dari keramaian. Di wilayah
Kulonprogo, tak jauh dari Yogyakarta, ada sebuah gereja kecil bernama
Gereja Kristen Jawa (GKJ) Wates Selatan.
Tempat itu adalah rumah ibadah bagi beberapa puluh kepala keluarga.
Seorang hamba Tuhan sejak 1995 setia memimpin jemaat itu.

Desa itu jauh di kedalaman. Jalan yang tidak mulus dan berbukit
menjadi kendala bagi kemajuan daerah itu. Taraf hidup mereka biasa-biasa
saja. Beberapa berkecukupan, namun tak terlalu kaya. Ada yang menjadi
pegawai kecamatan, pegawai swasta, beberapa lainnya adalah petani dan
usaha kecil lainnya. Beberapa jemaat juga ada yang hidup di bawah
rata-rata, karena tak bisa bersaing dengan ketrampilan yang dimilikinya.

Gereja kecil dan sederhana itu kadang juga ‘ditinggalkan’ oleh
beberapa warganya. Beberapa jemaat yang memiliki kendaraan bermotor
lebih menyukai beribadah di Gereja Wates, sekitar 15 kilo dari Gereja
Wates Selatan. Letak gereja Wates lebih “kota” dibanding gereja Wates
Selatan yang awalnya berinduk di Gereja Wates.

Meski begitu ada beberapa jemaat yang setia beribadah di gereja Wates
Selatan. Pak Daliman salah satunya. Dia adalah ayah dari 3 orang anak
dan mencari nafkah dengan membuka jasa tambal ban di tepi jalan
kecamatan Wates menuju Kulon Progo.

Kehidupan Pak Daliman amat sederhana. Dengan rupiah yang terbatas,
dia harus menghidupi 3 anaknya yang masing-masing kelas 2 Sekolah
Lanjutan Pertama (SMP) bernama Sandi, kelas 6 Sekolah Dasar (SD) bernama Sinta dan terkecil kelas 2 SD bernama Danti.

Itu tak mudah. Karena kebutuhan yang semakin banyak dan harga-harga
semakin tinggi mereka harus berhemat sedemikian rupa untuk mencukupi
kebutuhan keluarga. Memang uang sekolah anak-anak gratis, namun mereka
juga harus membeli peralatan sekolah yang tidak gratis. Anak tertuanya,
Sandi, berprakarsa untuk memenuhi kebutuhannya dengan menjadi pemanjat
kelapa.

Banyak kelapa di sekitar mereka dan para pedagang dan banyak yang
membutuhkannya untuk dijual menjadi minuman segar di pinggir jalan.
“Meski tak banyak saya bisa membeli buku tulis dan pensil dari upah
memanjat pohon kelapa,” kata Sandi.

Tahun ini, mereka ingin membeli sebuah pohon Natal. “Yang ingin itu
adik saya, Danti,” kata Sandi. Menurutnya Danti menginginkan pohon
Natal, karena dua tahun lalu pernah datang ke rumah seorang kerabat yang
punya pohon Natal yang berkilau dan bagus. Tahun lalu, ketika mereka
datang pada natal di Yogyakarta, ada sebuah pohon Natal berwarna putih
berujung keemasan dan bisa berputar sendiri. ‘Sepulang dari Yogya, Danti
bilang ke Bapak , kalau dia inginkan pohon Natal seperti yang kami
lihat di kota. Berkali-kali keinginannya itu dikatakannya kepada Bapak,”
kata Sandi.

Kebutuhan hidup mereka memang terpenuhi meski sederhana. Namun
menyisihkan uang untuk membeli sebuah pohon Natal, adalah keinginan yang
jauh dari pikiran keluarga sederhana ini. Di Wates Selatan memang ada
beberapa orang yang memiliki pohon Natal sederhana. Beberapa jemaat
memakai cemara hidup untuk dihias dengan lampu berkelip-kelip.

“Bapak sudah menabung sejak tahun lalu untuk bisa membeli pohon Natal
sesuai dengan keinginan Danti, “ kata Sandi. Menurutnya Danti sangat
menginginkan pohon Natal itu sampai menangis memintanya. Sang Bapak
menyanggupinya.

Pada minggu terakhir di bulan November lalu, pak Daliman sudah
menghitung tabungannya. Cukup untuk membeli sebuah pohon Natal, hiasan
dan lampu-lampunya. Selasa pagi pak Daliman menyiapkan sepedanya untuk
pergi ke Wates. Dari Wates, nanti dia akan memakai kendaraan umum ke
Yogya. “Wates tak jauh. Sama dengan kalau bapak pergi ke tempat tambal
ban miliknya,”ujar Sandi.

Di rumah mereka sudah menyiapkan tempat untuk pohon Natal yang akan
dibeli pak Daliman hari itu. Ada sebuah pojok di ruang tengah sudah
dibersihkan.

Sandi menunggu di tempat tambal ban. Dia menggantikan pekerjaan
Bapaknya. “Sampai siang tak ada kabar,” kata Sandi. Sekitar pk 14.00
ada seorang berseragam PMI dan bersepeda motor
datang ke tempat itu. Petugas itu mengabarkan, bahwa pak Daliman
ditabrak mobil ketika hendak menyeberang dan saat ini sedang berada di
rumah sakit St Betesda Yogyakarta.

Sandi yang terkejut, hanya sempat memberi kabar ke seorang temannya
yang tinggal di sekitar jalan Kulonprogo dan diantar seorang jemaat dari
GKJ Wates Sandi Ke Betesda. Bapaknya terluka
parah. Kakinya patah dan penuh bekas darah di celana panjangnya. “Ada
beberapa biaya bisa diusahakan rumah sakit untuk gratis, karena kami
orang tak mampu,” kata Sandi. Tapi, beberapa biaya harus mereka sediakan
sendiri. Sandi ingat bapaknya memiliki beberapa lembar ratusan ribu
yang sedianya untuk membeli pohon Natal idaman Danti. “Saya pakai untuk
keperluan pengobatan Bapak,” ujar Sandi sambil memegang kaki ayahnya
yang tengah di gips.

Beberapa jemaat gereja Wates Selatan datang menjenguk. Ada bantuan
sedikit dari gereja untuk ayah mereka. Kebanyakan untuk pengobatan
sesudah keluar dari rumah sakit. Keluarga pak Dalimanpun bisa ke Yogya
karena bantuan beberapa jemaat.

Sandi tahu adiknya sedih karena sebuah pohon Natal tak jadi bisa
mereka beli tahun itu. Meski bisa disembunyikan di wajah kecilnya, namun
kesedihan tetap kelihatan. Pertama, karena ayah mereka mengalami
musibah, karena itu pohon Natal tak terbeli.

Di hari terakhir ayah mereka akan dibawa pulang dengan mobil pinjaman
pendeta gereja Wates, Sandi menyelinap pergi ke pasar terdekat dan
membeli lampu Natal dengan uang hasil tabungannya sebagai pencari
kelapa. Tak banyak memang. Tapi cukup untuk membeli lampu dan hiasan
bintang yang sering dilihatnya di toko-toko.

Sampai di rumah, setelah ayahnya istirahat memulihkan sakit dan
keluarganya sibuk dengan berbagai keperluan, Sandi mulai mencari sebuah
perdu di pot sederhana dan mulai menghiasnya. Lampu Natal dan hiasan
bintang diselipkannya di perdu itu. Memang,tak mirip pohon Natal. Tapi
dia yakin Danti akan menyukainya.

Minggu kedua bulan Desember, Sandi memperlihatkan perdu berhiasan
lampu Natal dan hiasan bintang itu kepada ibu dan adik-adiknya. Ayahnya
yang ikut terbaring juga melihatnya. Tak ada yang berbicara demi melihat
perdu berhias itu. Tapi Danti memeluk Sandi sambil menangis.

Bila seorang tamu datang ke rumah mereka dan melihat perdu berlampu
itu, tak akan menyangka bila perdu itu istimewa. Tapi bagi keluarga
Daliman, perdu berlampu itu adalah pohon Natal pertama dan terindah
dalam hidup mereka. (Indah)

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?37639

Untuk melihat artikel Kisah lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

_____________________________________________________

Supported by :