Setelah menginap selama dua pekan
di Mesjid Asyifa, kompleks RS Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta, Toriq, bocah
berusia dua bulan yang mengidap pembesaran kepala (Hydrochepalus), akhirnya
mendapatkan kamar inap di RS terbesar se-Indonesia tersebut.

Orangtua Toriq berasal dari
keluarga tak mampu, saat oleh dokter RSCM diminta untuk menjalani rawat jalan.
Orangtua Toriq menyatakan tak sanggup, karena harus bolak-balik Cilegon-Jakarta
yang tentu saja memerlukan ongkos banyak.

Toriq dideteksi mengidap Hydrochepalus
sejak di dalam kandungan. Secara medis Toriq seharusnya langsung dioperasi
sehari setelah dilahirkan. Namun karena pengetahuan kesehatan yang minim serta
kemampuan ekonomi yang terbatas, orangtua Toriq tak bisa berbuat banyak.  Bahkan untuk biaya sehari-hari selama menginap
di mesjid, orangtua Toriq kerap mendapat bantuan ala kadarnya dari pengunjung untuk
sekedar makan.

Cerita serupa bukan saja dialami Toriq,
tapi masih banyak cerita lain yang tak kalah memilukan. Pada November 2008, bayi
penderita gizi buruk, Muhammad Rinaldi,  meninggal
dunia beberapa saat setelah pulang dari Rumah Sakit Haji Jakarta (RSHJ), Pondokgede,
Jakarta Timur. Bayi berusia lima bulan ini sempat satu bulan dirawat di rumah
sakit tersebut dan terpaksa pulang karena biaya perawatan yang terus
membengkak, mencapai Rp 10 juta, sementara orangtua Rinaldi bukanlah orang yang
mampu. Sehari setelah dibawa pulang, bayi malang
ini menghembuskan napas
terakhir di rumahnya di daerah Tanjungbarat, Jagakarsa, Jakarta Selatan.

Ada pula cerita Sukemi, yang akhirnya harus
menjemput ajal digerogoti kanker payudara. Seperti pernah dilansir Kabari
sebelumnya, perempuan warga Rorotan, Cilincing, Jakarta Utara, ini meninggal
dunia pada pertengahan 2009 setelah terlambat melakukan operasi gara-gara tidak
punya biaya. Meski telah mengantungi SKTM (Surat Keterangan  Miskin) tetap saja Sukemi harus melewati
prosedur berbelit di Rumah Sakit, sehingga akhirnya nyawanya tak tertolong.

Kemudian pada awal 2010, ada juga
seorang bayi bernama Abdullah Ichsanulfikri atau Fikri, bayi berusia 18 bulan,
yang mengidap penyakit atresia billier (saluran empedu tidak terbentuk
sempurna atau buntu). Fikri sampai kini masih tergolek lemah di rumahnya
menjalani rawat jalan karena tidak ada biaya.

Begitu juga dengan Keisha Nailah,
bayi perempuan berusia 15 bulan ini menderita pembesaran perut dan pusar. Bayi dari
pasangan Jamaludin Rizal dan Nina Nurhasanah ini  butuh bantuan biaya untuk operasi. Menurut
pengakuan Jamaludin, anaknya harus dioperasi dengan biaya sekitar Rp 100 juta. Jamaludin
sendiri tak tahu harus kemana mencari uang sebanyak itu.

Cerita lain dialami bocah bernama
Bilqis yang mengidap penyakit atresia billier dan memerlukan operasi
dengan biaya sekitar Rp 1 miliar. Untuk menutupi biaya operasi, sejumlah relawan
mengadakan aksi “Koin untuk Bilqis”. Boleh dibilang nasib Bilqis sedikit lebih
beruntung, karena banyak orang yang terketuk dan membantunya. Kabar terakhir
pengumpulan donasi untuk Bilqis telah melebihi satu miliar rupiah.

Kasus-kasus demikian seungguhnya baru
sedikit yang terekspos. Diyakini masih banyak kasus serupa yag dialami oleh
warga miskin yang tidak dapat pemenuhan hak atas kesehatan yang seharusnya  menjadi tanggung jawab negara.

Anggaran Kesehatan Yang Minim

Soal jaminan pelayanan kesehatan
bagi warga negara, Indonesia
sebetulnya telah meratifikasi  Kovenan Hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya pada tahun 2005. Dalam kovenan tersebut termaktub bahwa
negara wajib menjamin pemenuhan hak atas kesehatan warga negara. Negara juga
menyediakan fasilitas kesehatan yang terjangkau dan mekanisme penyelesaian
hukum atas pelanggaran hak atas kesehatan.

Tapi yang nampak dalam UU Kesehatan
No. 36 tentang Kesehatan justru Negara terkesan malah melemparkan tanggung
jawabnya kembali kepada masyarakat. Seperti tertuang dalam pasal 16 ayat 1, dimana
negara mewajibkan setiap orang untuk memiliki asuransi kesehatan sosial. Dengan
bahasa gampang, kalau tak punya asuransi sosial, maka salah warga sendiri.

Jika tujuannya agar warga
memiliki asuransi kesehatan sosial, seharusnya negara pun wajib menyediakan dan
menfasilitasi perusahan asuransi sosial milik negara yang tidak berorientasi
profit. Sehingga kecurigaan masyarakat bahwa pasal ini hanya akan menguntungkan
asuransi swasta bisa direduksi, dan masyarakat dapat mengambil manfaatnya.

Meski saat ini pemerintah memiliki
program Jaminan Kesehatan Masyarakat, namun
dalam pelaksanaannya, program ini kerap terkendala. Saat ini hanya warga yang
terdata oleh Pemerintah Daerahnya saja yang bisa menggunakan fasilitas Jamkesmas,
padahal masih banyak warga miskin yang tidak terdata atau tidak memiliki KTP di
daerah dimana dia tinggal. Singkatnya, dalam urusan kesehatan yang mendesak,
pemerintah pun masih perlu menanyakan status warga negaranya sendiri. Padahal di
sisi lain, pemerintah juga tengah sibuk menyongsong visi Indonesia
Sehat 2010.

Jika kita berbicara mengenai anggaran, hati
kita tentu akan terasa miris. Saat ini anggaran
anggaran kesehatan
negeri ini minim sekali. Meski ada kenaikan anggaran kesehatan dari 5,8 triliun
pada 2005 menjadi 16 triliun pada tahun 2008, dan dianggarkan menjadi 19,3
triliun untuk tahun 2009. Angka ini tetap saja masih jauh dari standar yang
seharusnya. Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO)
menetapkan anggaran kesehatan minimal 5 persen dari Produk Domestik Bruto
(PDB).

Begitu pula jika berpatokan dengan Tap MPR No.5/2003 yang
mengharuskan anggaran kesehatan mencapai angka 15 persen dari total anggaran.
Jika total APBN untuk tahun 2009 sebesar 1.037,1triliun, maka setidaknya
alokasi dana untuk anggaran kesehatan bisa mencapai sekitar 155,6 triliun.

Jika melihat perbandingan anggaran kesehatan negara-negara
anggota ASEAN, Indonesia
memang menjadi salah satu negara yang memiliki anggaran kesehatan paling kecil.
Dalam WHO World Health Report 2006, persentase anggaran kesehatan Indonesia
terhadap PDB adalah yang terkecil dibanding anggota ASEAN lainnya. Anggaran
kesehatan Indonesia hanya 2,2 persen dari PDB, lebih rendah dari Birma (2,3),
Filipina (3,3), Singapura (3,4), Thailand (3,5), Laos (3,6), Malaysia (4,3),
Kamboja (6,0), dan Vietnam (6,6). Alhasil dana yang dialokasikan untuk
kesehatan setiap penduduk Indonesia (anggaran kesehatan per kapita) tak lebih
dari 34 dolar AS pertahun, jauh di bawah Malaysia yang anggaran kesehatan per
kapitanya mencapai 255 dolar AS, apalagi Singapura (1.035 dolar AS).

Namun ditengah minimnya anggaran kesehatan,
Pemerintah SBY malah menganggarkan dana pembelian pesawat hingga Rp 700 miliar.
Terbayang di benak, jika saja uang sebanyak itu dialokasikan untuk penambahan
anggaran kesehatan, tentu saja bocah-bocah seperti Fikri, Bilqis, atau Keisha
sedikit banyak terbantu.

Untuk share artikel ini klik www.KabariNews.com/?34525

Untuk melihat Berita Indonesia / Utama lainnya, Klik disini

Klik disini untuk Forum Tanya Jawab

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :