Mungkin hanya sedikit orang mengenal Prof. Sunario Sastrowardoyo sebagi tokoh pemuda yang turut menggaungkan pergerakan kemerdekaan Indonesia. Profesor kelahiran Madiun, Jawa Timur, 28 Agustus 1902 ini meski tidak setenar seperti Soekarno atau Hatta, adalah satu-satunya tokoh muda yang terlibat langsung dalam dua peristiwa yang menjadi tonggak sejarah nasional.

Pertama, Manifesto 1925 dan kedua, Kongres Pemuda II. Manifesto Politik 1925 dicetuskan oleh organisasi mahasiswa Perhimpunan Indonesia di Leiden, Belanda. Soenario menjabat sebagai Sekretaris II, sedangkan Hatta adalah Bendahara I. dan ketuanya Soekiman Wirjosandjojo.

Soenario pertama kali mengecap pendidikan di Frobel School(Sekolah Taman Kanak-kanak) di Madiun tahun 1908. Di sekolah tersebut, ia diajar oleh guru-guru wanita yang bernama Nn. Acherbeek dan Nn. Tien.

Setelah lulus, ia melanjutkan ke Europeesche Lagere School (ELS) atau setara Sekolah Dasar di Madiun tahun 1909 – 1916. Soenario tinggal di rumah kakeknya, pensiunan Mantri bernama Sastrosentono. Soenario termasuk murid yang cerdas dan tidak pernah tinggal kelas yang membuat orang tuanya bangga.

Setelah menyelesaikan pendidikan, Sunario melanjutkan sekolahnya ke MULO, atau Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, setara dengan Sekolah Menengah Pertama selama setahun.  Setelah itu ia pergi ke Batavia untuk menempuh pendidikan di Rechtschool (setingkat dengan SMK/Sekolah Menengah Kejuruan Hukum) tahun 1917. Selama bersekolah di sana, Soenario aktif sebagai anggota Jong Java.

Setelah menyelesaikan pendidikannya di Rechtschool, ia melanjutkan pelajarannya ke Belanda. Ia berangkat ke Belanda dengan biaya sendiri dengan menaiki kapal laut sampai ke Genoa, lalu meneruskan perjalanan dengan kereta api ke Brussel, Belgia dan menginap disana semalam. Setelah itu, ia pergi ke Den Haag dan tukar kereta api menuju Leiden. Di Leiden, ia diterima di Universitas Leiden dan mengikuti kuliah doktoral, sehingga pada tahun 1925 ia meraih gelar Mr. atau Meester in de Rechten yang artinya ahli dalam ilmu hukum. Ia menerima ijazah pada tanggal 15 Desember dan ditandatangani oleh Prof. C. van Vollenhoven dan Prof. N.Y. Krom.

Akhir Desember ia pulang ke Indonesia. Aktif sebagai pengacara, ia membela para aktivis pergerakan yang berurusan dengan polisi Hindia Belanda. Kemudian, ia menjadi penasihat panitia Kongres Pemuda II tahun 1928 yang melahirkan Sumpah Pemuda. Bahkan dalam  kongres itu Sunario menjadi pembicara dengan makalah “Pergerakan Pemuda dan Persatuan Indonesia”.

Tahun 1945 setelah Indonesia merdeka, Sunario menjadi anggota Badan Pekerja KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat).

Kiprahnya di tanah air terus berlanjut. Soenario menjabat sebagai Menteri Luar Negeri pada periode 1953-1955. Di masa jabatannya itu Soenario penah menjabat sebagai Ketua Delegasi RI dalam Konferensi Asia Afrika di Bandung pada tahun 1955. Konferensi ini dicatat sebagai salah satu pertemuan yang sangat bersejarah . Ia juga menandatangani Perjanjian tentang Dwi kewarganegaraan etnis Tionghoa dengan Perdana Menteri RRT (Republik Rakyat Tiongkok) Chou En Lai.

Setelah menjadi Menteri Luar Negeri , dia mengemban jabatan sebagai Duta Besar RI untuk Inggris pada tahun 1956 hingga 1961. Jabatan lain di Kabinet selain Menteri Luar Negeri , adalah Menteri Dalam Negeri dalam Kabinet Burhanuddin Harahap (1955-1956) dan juga sempat berperan sebagai Menteri Perdagangan di kabinet Djuanda (1957-1959) Dalam bidang Akademik, Soenario juga besar jasanya dalam mendirikan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Ketika itu, dia bersama Mr. Boediarto, Ir. Marsito, Prof. Dr. Prijono, Dr. Soleiman, Dr. Buntaran, dan Dr. Soeharto bermaksud mendirikan Balai Perguruan Tinggi Swasta di Yogyakarta.

Pertemuan tersebut diikuti oleh beberapa pertemuan berikutnya, salah satunya adalah pertemuan di Gedung KNI Malioboro, tanggal 3 Maret 1946. Dalam pertemuan ini, diumumkan berdirinya Balai Perguruan Tinggi Gadjah Mada, yang terdiri atas Fakultas Hukum dan Fakultas Kesusasteraan.

Selain menjabat sejumlah posisi dalam kabinet, Soenario juga pernah menjadi Guru Besar bidang politik dan hukum internasional, lalu menjadi Rektor Universitas Diponegoro, Semarang (1963-1966).

Pada 1968, Sunario memprakarsai pertemuan pelaku sejarah Sumpah Pemuda, dan meminta kepada Gubernur DKI mengelola dan mengembalikan gedung di Kramat Raya 106 milik Sie Kong Liang yang telah berganti-ganti penyewa dan pemilik kepada bentuknya semula. Tempat ini disepakati menjadi Gedung Sumpah Pemuda, tetapi usulan mengganti nama jalan Kramat Raya menjadi jalan Sumpah Pemuda belum tercapai.

Setelah pensiun, diangkat sebagai Panitia Lima tahun 1974. Panitia itu dibentuk pemerintah karena muncul kehebohan di kalangan masyarakat tentang siapa sebetulnya penggali  Pancasila. Panitia ini diketuai Bung Hatta. Anggota lainnya adalah Ahmad Subardjo, A. A. Maramis, dan A. G. Pringgodigdo, tokoh yang ikut merumuskan Piagam Jakarta tahun 1945.  (yayat)

Untuk share artikel ini klik www.KabariNews.com/?35634

Untuk melihat artikel Utama lainnya, Klik di sini

Klik di sini untuk Forum Tanya Jawab

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

________________________________________________________________

Supported by :