Kabari News – Prahara 1965 di Indonesia sepertinya benar-benar tak habis untuk terus dikupas. Mulai dari spekulasi, kontroversi, sampai dengan literasi yang mengulas peristiwa yang terjadi di tahun tersebut sudah banyak beredar.  Nah, kali ini di majalah mingguan Shukan Toyo Keizai edisi 11 Oktober 2014 yang beredar Jumat (10/10/2014), seorang profesor hukum, proyek persuasi visual New York Law School, Richard K Sherwin mengulas mengenai kemungkinan Soeharto melakukan kudeta terhadap mantan Presiden Soekarno. Tulisan ini sebenarnya berasal dari tulisan Sherwin dengan judul Menjejaki Legitimasi keaslian The Act of Killing.

“Saya ingin Anda untuk mempertimbangkan rezim Suharto di Indonesia. Aplikasi ini mengklaim antara 1966-1998, bahwa ada kekejaman oleh pemberontak komunis, untuk menyampaikan, rezim itu harus dilihat dalam bioskop dan televisi. Gambar kerusakan di dalamnya telah dibuktikan yaitu dimaksudkan untuk menanamkan rasa takut kepada orang yang melihatnya. Strategi visual rezim Soeharto pada terorisme dan kekejaman, ia telah menciptakan realitas baru,” tulis Sherwin.

Sementara tulisan Sherwin menanggapi film The Act Killing menuliskan bahwa ancaman komunis memang benar ada masih belum jelas. Bisa saja sebagai bagian dari rencana menjatuhkan mantan Presiden Soekarno. Sherwin  menuliskan pembantaian di Indonesia mulai tahun 1965 sampai tahun berikutnya. Lebih dari satu juta orang tewas namun tidak ada yang tahu jumlah pastinya.

“Komunis telah mendalangi kudeta yang diduga dimulai ketika sebuah  sekelompok perwira militer  penjaga elit Presiden Sukarno menewaskan  enam jenderal penting. Untuk mengusir ancaman, Mayor Jenderal Soeharto Komandan Pasukan Strategis meluncurkan serangan balik” tulisnya

Pemberontak di tentara dihancurkan dan media tentara yang dikendalikan langsung  memulai aksi kampanye melawan Komunis, menyatakan bahwa mereka berada di belakang  percobaan kudeta. Mulai dari anggota Partai Komunis sampai kepada mereka yang diduga kolaborator (yang  berarti siapa pun yang menentang kenaikan Suharto berkuasa) ditargetkan untuk eksekusi.

Namun masih belum jelas apakah ancaman komunis itu nyata atau dalih yang digunakan oleh  Suharto ke panggung sendiri kudeta untuk menggulingkan pendahulunya, Presiden Soekarno.  Dalam hal apapun, ‘Orde Baru’ Soeharto, dibantu oleh militer dan sipil menjadi mesin teror dan kematian, tidak hanya menang atas musuh-musuhnya, tetapi juga  berhasil untuk tetap berkuasa selama 32 tahun, dari tahun 1966-1998.

Sherwin  menuliskan kisah resmi negara dari narasi dasar Soeharto  soal kedaulatan berulang kali ditampilkan dalam film propaganda resmi, yang  publik dari muda sampai tua dipaksa untuk menonton di televisi dan bioskop  seluruh negeri sepanjang pemerintahan Suharto. Sehingga memberlakukan apa yang orang mungkin menggambarkan  sebagai ritual simulasi pemaksaan dari penobatannya. ‘Simulasi’ karena paksaan memaksa  gerakan formal normatif, bukan penerimaan otentik yang  datang dari rasa bebas  berkeyakinan.(1009)

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?71616

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini
______________________________________________________

Supported by :

 jason_yau_lie

 

 

 

Kabaristore150x100-3