Sri Sumarti

Gunung Ijen di perbatasan Situbondo-Banyuwangi, Jawa Timur merupakan salah satu gunung api berair asam terbesar di dunia. Lainnya, Gunung Poás di Kosta Rika dan Gunung Ruapehu di Selandia Baru. Karena berstatus aktif, gunung api harus dipantau ketat. Itulah Sri Sumarti, Kepala Seksi Gunung Merapi, Balai penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Mari mengenalnya lebih jauh!

Datang ke kawasan Gunung Ijen pasti akan tercium dari jauh bau menyengat sulfur dan belerang, terbawa bersama asap putih yang membumbung dari kawahnya. Uniknya, pada Agustus dan September, gunung tersebut semarak oleh bunga abadi kuning dan putih Edelweis tumbuh subur di sana. Kontras sekali dengan keberadaan asli daerah itu. Air kawah gunung tersebut sangat beracun dan mematikan. Besi saja masuk ke dalamnya jadi lumer, apa lagi makhluk hidup, tentu binasa.

Yang menarik, meski nyawa taruhannya, sekitar 500 warga setempat mencari nafkah menambang belerang di dinding-dinding tebing kawah gunung tersebut. Mereka menerabas hutan pinus dan kebun kopi yang terhampar luas, lalu turun-naik lereng terjal berbentuk tanah pasir dengan sudut kemiringan 25-35 derajat. Dengan berani mereka memecah bongkahan belerang yang merupakan bekuan dari lelehan sulfur. Dalam keranjang, belerang dibawa ke penampungan sejauh 1 km, sehingga sehari terkumpul 2-3 ton.

Raksasa Tidur dan Bahaya ‘Tsunami

Sri Sumarti-1

Halnya gunung berapi manapun, Gunung Ijen berpotensi ‘batuk’ dan mengeluarkan isi perutnya. Namun, karena jenis tanahnya kedap maka air yang semestinya terserap malah menampungnya hingga membentuk danau kawah. Ratusan tahun gas pembentuk Sulfur Dioksida (SO2), Karbon Dioksida (CO), Hidrogen Sulfida (H2S), Klor (Cl), Fluor (F), dan Asam klorida (HCl) terakumulasi dengan air hingga menjadi air asam.

“Air yang sangat asam ini menyerupai air aki. Inilah ancaman terbesar Gunung Ijen. Bila sampai meletus, dampaknya luar biasa dahsyat, bak’tsunami’ air aki,” kata sarjana Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Gajah Mada (FMIPA UGM) yang kemudian menempuh jenjang S-2 di Utrecht University, Belanda.

Tercatat, Gunung Ijen meletus pada: Menurut catatan Taverne (1926) dalam Kusumadinata (1979), saat meletus 1817, 1796, 1913, dan 1936. Lumpur air asam mengaliri Sungai Banyu Pahit dan menuju lembah setempat yang dihuni oleh 12.000 jiwa. Bahkan pada riset Palmer, letusan tersebut sampai menjangkau Banyuwangi, lebih dari 25 kilometer jaraknya. Bekas letusan itu meninggalkan lubang besar disebut kaldera berukuran 19×21 km2 di bawah dan 22×25 km2 sisi atas. Di bagian tengahnya itulah kawah Ijen berada, dan termasuk danau berair asam terbesar di dunia.

Pada November 2011-Januari 2012, Gunung Ijen sempat menunjukkan aktivitas vulkanik cukup mengkhawatirkan. Pada 18 Desember 2011, PVMBG Bandung menaikkan status gunung setinggi 2.386 meter dari Waspada (level II) menjadi Siaga (level III). Daerah itu dinyatakan tertutup, termasuk bagi penambang. Namun, selaku peneliti geokimia, Sri Sumarti tampak menaiki perahu karet di kawah Ijen, bersama tim periset yang kesemuanya laki-laki. Suzuki dari Jepang, Surgey Fazlulin dari Rusia, Alain Bernard dari Belgia dan Sri Sumarti dari Indonesia. Adapun riset untuk mengukur batrimetri pada danau Kawah Ijen guna mengambil sampling air kawah dan mengetahui profil dasar danau.

Sri Sumarti dan Rekan

Mengingat medan berbahaya yang taruhannya nyawa, pimpinan penelitian, Bokuichiro Takano, sempat meragukan penunjukan Sri Sumarti, boleh jadi karena ia perempuan dan bertubuh mungil pula. Sri diam saja diragukan serupa itu, tapi dalam hati ia bersumpah akan membuktikan kemampuannya selaku perempuan Indonesia.

“Kalau Anda berani berlayar di danau Kawah Ijen, mengapa saya tidak?” demikian jawaban Sri, ringan, namun menghunjam dalam. Akhirnya ia bersama tim mengarungi kawah tersebut. Dengan menggunakan alat yang disebut echo sounding, sebulan mereka menaiki perahu karet (catamaran). Tidak boleh perahu logam, karena akan meleleh.

Perahu ini biasa digunakan untuk penelitian kawah berair di gunung. Lebih stabil dalam pengoperasiannya, dapat dikembang-kempiskan sesuai kebutuhan. Bentuknya mirip banana boat tetapi pada bagian tengahnya terdiri dari bidang datar terbuat dari bambu untuk penumpang, sekaligus penyangga sebagai tempat duduk dan meletakkan berbagai peralatan. Sebelum dijalankan, perahu dilapisi terpal plastik tebal dan rapat, dijahit dengan sangat kuat untuk melindungi dari pengaruh air asam.

Baru tatkala pemasangan rakit penyangga dari bambu itulah, terlihat kemampuan Sri Sumarti bekerja dalam tim. Ia juga supel dan mampu berkomunikasi dengan penambang belerang. Pemasangan rakit yang diperkirakan butuh dua hari ternyata cukup setengah hari saja berkat bantuan penambang belerang. Mereka dengan suka rela membantu, secara gratis.

“Ketua dan anggota tim akhirnya percaya pada kemampuan saya. Tidak selalu keberhasilan itu melulu ditentukan oleh bentuk dan kekuatan fisik seseorang, tetapi juga oleh kemampuan berkomunikasi yang baik, “ kata Sri Sumarti, yang bersama teman tim mengenakan pengaman lengkap berupa penutup kepala, jaket, sarung tangan dan sepatu antiair selama mengarungi Kawah Ijen yang panas itu.

Sri Sumarti dan Belerang

Kekhawatiran tak luput singgah di hati Sri Sumarti dan rekannya. Pasalnya, jika terjadi kesalahan dalam teknis pengarungan sedikit saja, maka fatal akibatnya. Perahu bisa terbalik, semua orang tercebur ke danau, tak seorang pun selamat. Kedalaman Kawah Ijen 180 meter dan luas 900 x 600 meter!

Setiap hari selama dua minggu mereka mengarungi Kawah Ijen yang pengarungan dilakukan dengan kompak, bahu membahu meski masing-masing mempunyai fungsi dan tugas sendiri. Total 7 orang, 4 di antaranya bertugas mendayung, 1 orang sebagai nakhoda, dan 2 lagi mengambil sampel air dan melakukan penelitian.

Tiap hari mereka memasang beberapa lintasan dengan membentangkan tali plastik berdiameter 1 cm dari sisi timur ke barat, dengan masing-masing tali digantungi botol sebagai pemberat. Ternyata, proses riset itu tidak selalu mulus. Pada hari pertama, misalnya, beberapa benang penjahit terpal putus, yang berarti kemungkinan akan memutuskan benang di sejumlah jahitan. Tentu berbahaya. Dengan cepat, mereka menarik perahu, lalu memutuskan untuk dijahit ulang sehingga jarak jahitan lebih rapat dan otomatis lebih kuat.

Bersyukur, tugas penelitian berhasil dituntaskan dengan baik. Sri Sumarti yang semula kemampuannya sempat diragukan, ternyata memberi kontribusi besar dalam program kerja sama internasional itu. Satu hal yang menjadi catatan baginya adalah Gunung Ijen, meski menyimpan bahaya yang luar biasa, tapi kandungan belerangnya tinggi dan punya nilai jual. Itu sebabnya warga masih memilih bermukim di sekitar gunung itu, padahal kawah Ijen telah bocor dan mencemari aliran air sungai dan sumur di Banyu Putih. Jelas, air asam ini sangat membahayakan kesehatan.

Pecinta Gunung Api

Perempuan kelahiran Yogyakarta 6 Juli 1961 ini tak disangkal, memiliki keberanian ekstra dari pada kaumnya. Boleh jadi tergolong langka, karena ketertarikannya bersinggungan dengan tantangan. Dasarnya sudah seperti itu. Waktu SMU, ia sudah tertarik pada dunia gunung berapi, dan kerap menjelajah dan mendaki gunung. Tercatat ia hadir dalam acara Pengembaraan Desember, Napak Tilas Jendral Soedirman, Napak Tilas Perlawanan Rakyat terhadap Sekutu, dan masih banyak lagi. Intinya, kegiatan terkait gunung nyaris tak ditinggalkannya.

Itu sebabnya setelah lulus kuliah, ia bergabung di Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK), di bawah naungan PVMBG, Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Banyak melakukan penelitan geokimia pula dan tulisan ilmiahnya dikelola oleh Jurnal Geologi Indonesia. Ia banyak terlibat dalam sejumlah pertemuan internasional terkait bidang keahliannya. (1003)

Untuk share  artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?57107

Untuk melihat artikel Profil lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :

lincoln