KabariNews –Kelemahan – kelemahan dalam implementasi BPJS Kesehatan bukan hanya semata-mata terkait dengan proses akad, namun   juga terkait dengan berbagai persoalan teknis dan non teknis, demikian penjelasan CORE dalam siaran pers yang diterima KABARI, Selasa, (18/8).  CORE mengingatkan terdapat berbagai kelemahan diantaranya kapasitas infrastruktur layanan dan SDM kesehatan yang terbatas, alokasi anggaran pemerintah untuk pelayanan kesehatan melalui program BPJS yang terlalu kecil, kebijakan fiskal yang belum mendorong berkembangnya jasa kesehatan yang murah, mekanisme kontrol yang lemah atas pelayanan rumah sakit, serta minimnya kerja sama dengan asuransi swasta. Untuk itu, CORE mengajukan lima langkah penting yang perlu segera dilakukan agar program BPJS Kesehatan benar-benar dapat menjamin pelayanan kesehatan yang layak bagi masyarakat.

Pertama, kapasitas infrastruktur layanan kesehatan dan SDM kesehatan harus segera ditingkatkan. Saat ini jumlah Rumah Sakit yang menjalin kerjasama dengan BPJS sebanyak 1,704 unit atau 70% dari jumlah rumah sakit yang tercatat pada Kementerian Kesehatan yang mencapai 2,248 unit. Selain itu, khusus bagi rumah sakit pemerintah, keterbatasan jumlah tenaga medis dan paramedis terutama dokter spesialis dan fasilitas kesehatan membuat banyak pasien mengalami penderitaan lebih berat bahkan meninggal dunia karena kesulitan mencari rujukan rumah sakit yang mampu menangani keluhan mereka. Kalaupun tenaga medis dan fasilitas tersedia, mereka harus harus antri dalam waktu yang lama untuk mendapatkan pelayanan (seperti tindakan operasi, ruang ICU dan NICU, dll), akibat banyaknya jumlah pasien yang membutuhkan layanan tersebut.

Kedua, alokasi anggaran pemerintah untuk penyediaan pelayanan kesehatan harus ditingkatkan untuk mendukung pelaksanaan program BPJS Kesehatan. Pada APBN-P 2015, alokasi anggaran untuk Penerima Bantuan Iuran (PBI) BPJS hanya sebesar Rp 20,3 triliun. Angka tersebut didasarkan pada cakupan penduduk miskin yang mencapai 88,2 juta jiwa dengan nilai PBI per orang sebesar Rp 19.225 per orang selama setahun. Berdasarkan data WHO, pada tahun 2012 belanja kesehatan pemerintah Indonesia sebesar 39.6% dari total biaya kesehatan yang dikeluarkan pada tahun itu. Angka ini lebih lebih rendah dibandingkan dengan beberapa negara di Asia seperti Malaysia (55.2%), Thailand (79.5%) dan Cina (56.0%).Sebagai konsekuensi dari rendahnya alokasi anggaran kesehatan, pengembangan infrastruktur dan kualitas layanan kesehatan menjadi sangat terbatas.

Bagi para dokter, rendahnya anggaran kesehatan berakibat pada rendahnya biaya kapitasi1. Rata-rata biaya kapitasi saat ini hanya Rp 3-6 ribu, dokter primer/klinik swasta sebesar Rp 8-10 ribu dan dokter gigi senilai Rp 2 ribu. Akibatnya, upah yang diterima dokter untuk setiap pasien yang dilayani menjadi demikian rendah, sehingga sebagian dokter tidak dapat memberikan standar pelayanan terbaik kepada pasien. Dengan jumlah pengguna BPJS yang terus berkembang dari tahun ke tahun, apabila tidak diimbangi dengan dukungan anggaran yang memadai, akan berpotensi untuk semakin menurunkan kualitas pelayanan kesehatan dengan sistem BPJS.

Keempat, memperkuat mekanisme kontrol atas pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit. Standar biaya pelayanan dan obat untuk suatu tindakan medis terhadap pasien BPJS telah ditentukan berdasarkan Indonesian Case Base Groups (INA-CBGs), yang merupakan rata-rata biaya obat dan tindakan pelayanan yang diperoleh dari sejumlah rumah sakit di Indonesia yang menjadi sampel. Dengan INA-CBGs ini, diharapkan biaya layanan kesehatan menjadi lebih efisien.

Sayangnya, hingga saat ini belum ada mekanisme kontrol yang memadai untuk mengetahui sejauh mana klaim yang diajukan oleh rumah sakit sesuai dengan pelayanan yang mereka berikan. Ini membuka peluang terjadinya moral hazard berupa mark-up klaim tindakan medis, baik itu menambah diagnosis yang tidak ada pada pasien, menambah prosedur yang tidak dilakukan, atau melakukan manipulasi terhadap diagnosis dengan menaikkan tingkatan jenis tindakan. Selain itu, rumah sakit juga berpotensi memberikan pelayanan dengan mutu yang kurang baik. Misalnya, tidak melakukan pemeriksaan penunjang yang seharusnya, tidak memberikan obat yang seharusnya diberikan, atau membatasi fasilitas kesehatan untuk peserta Jaminan Kesehatan Nasional.

Selain itu, INA-CBGs membuat fleksibilitas pelayanan kesehatan oleh tenaga medis menjadi terbatas, yang membuat pasien sering kali tidak mendapatkan layanan maksimal atau harus memberikan biaya tambahan. Misalnya, menebus obat yang dibutuhkan namun tidak tercakup dalam paket yang ditetapkan dalam INA-CBGs. (1009)

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/79256

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :

Asuransi Kesehatan

 

 

 

 

kabari store pic 1