Di tengah gencarnya upaya
reformasi birokrasi yang dilakukan Polri, praktik pungli di kantor Samsat (Sistem
Administrasi Manunggal Satu Atap) rupanya masih saja terjadi dan malah terkesan
telah membudaya.

Hal ini dialami sendiri oleh
Kabari ketika mengurus surat-surat kendaraan di kantor Samsat Jakarta Timur
Kebon Nanas.  Sebetulnya, upaya reformasi
birokrasi  terutama di jajaran pelayanan
kantor Samsat sudah mulai terasa sejak setahun belakangan ini. Misalnya, pelayanan
petugas sudah semakin baik, prosedur tidak bertele-tele dan prosesnya tidak
memakan waktu lama.

Pada Sabtu (16/01/10), Kabari mendatangi
kantor Samsat  Jakarta Timur yang terletak
di Kebon Nanas, Jakarta Timur. Tujuannya ingin memperpanjang STNK sepeda motor dan
membayar pajak STNK yang sudah mati sejak Oktober 2009.

Sesuai prosedur untuk pengurusan
STNK yang pajaknya mati,  maka harus dilakukan
cek fisik pada kendaraan. Kabari pun mengikuti prosedur tersebut dengan
mendatangi lokasi cek fisik yang terletak di samping gedung utama Samsat.

Disana Petugas cek fisik memeriksa
nomor rangka dan nomor mesin, apakah sesuai dengan STNK atau tidak. Setelah dicek,
petugas memberikan formulir tanda bahwa kendaraan telah dicek fisik.  Di situlah pungli terjadi, petugas cek fisik dengan
terang-terangan meminta uang sebesar Rp 5.000 yang katanya untuk biaya cek
fisik.

Padahal  sama sekali tidak ada keterangan, papan
pengumuman misalnya yang menerangkan  bahwa cek fisik kendaraan dikenakan biaya. Kutipan
tersebut juga tidak disertai tanda terima, stempel, blanko, kwitansi pembayaran,
atau bukti  apapun. Jadi langsung masuk
ke kantung petugas begitu uang diserahkan.

Usai mendapatkan bukti bahwa cek
fisik telah dilakukan, Kabari lalu ke lantai tiga gedung utama untuk mengurus
pembayaran pajak STNK yang mati. Urusan pajak di lantai tiga  ini masuk ke dalam urusan Dipenda (Dinas
Pendapatan Daerah DKI), jadi nyaris tidak ada anggota Polisi di sini.

Setelah memberikan berkas cek
fisik lengkap kepada petugas Dipenda,  Kabari
diminta menunggu dan diberikan nomor antrian untuk mendapatkan SKP (Surat
Ketetapan Pajak). Lima
belas menit kemudian, Kabari dipanggil dan menerima SKP  yang menerangkan biaya-biaya pajak yang harus
dibayar dan denda atas pajak STNK yang mati.

Disini pungli kembali terjadi,
petugas Dipenda dengan cara yang juga terang-terangan meminta uanag kepada kepada
Kabari sebesar Rp 5.000 sebagai biaya atas penerbitan SKP (Surat Ketetepan Pajak).
Sekali lagi, pungutan ini pun tidak disertai  tanda terima, stempel, blanko, kwitansi
pembayaran, atau bukti  apapun.

Ketika Kabari mendesak meminta
bukti resmi atau dasar hukum pungutan ini, petugas mengatakan buktinya adalah
SKP itu. Soal dasar hukum, si petugas menjawab dengan ketus “Enggak ada itu, pokoknya
di sini biayanya lima
ribu untuk SKP,” kata si petugas. Jawaban petugas Dipenda semakin menjelaskan
bahwa pungutan liar semacam itu sudah membudaya di lingkungan Samsat.

Si petugas bersikeras bahwa bukti
pungutan itu ada SKP, padahal SKP bukanlah bukti pungutan,  melainkan semacam formulir yang berisi
biaya-biaya pajak yang mesti dibayar. Formulir itu juga mesti ditebus di kasir
supaya STNK perpanjangan bisa keluar. Jadi untuk mendapatkan formulir yang
mesti kita tebus itu, kita juga dipungut biaya.

Setelah membayar denda pajak di
kasir SKP, itu Kabari  ke lantai satu
untuk membayar pajak STNK tahun berjalan. Prosedur di lantai satu terbilang
mudah dan tidak rumit, semuanya tertib dan lancar. Hanya  memakan waktu sekitar 45 menit, STNK baru
Kabari sudah keluar lengkap dengan plat nomor yang baru, dan tanpa pungli.

Mengenai pungutan-pungutan yang dialami
Kabari, Petugas di bagian Pelayanan Pengaduan Samsat dengan tegas mengatakan bahwa
cek fisik kendaraan tidak dipungut biaya. Soal penerbitan SKP juga demikian,
sama sekali tidak dipungut biaya. Petugas tersebut memastikan  bahwa setiap pungutan di lingkungan Samsat pasti
ada buktinya, jika tidak, berarti pungli.

Petugas pengaduan juga mengatakan
bahwa keluhan tentang pungli ini akan di sampaikan kepada pimpinan dan dibahas
dalam rapat. Soal pungutan yang dilakukan petugas Dipenda DKI, dia akan sampaikan
kepada pimpinan Dipenda DKI Jakarta Timur.

Soal jumlah pungutan memang tidak
terlalu besar, hanya Rp 5.000,  tapi jika
ini dikalikan dengan dua ratus  orang saja
yang datang setiap hari misalnya, maka jumlahnya cukup besar, yakni Rp 360 juta
per tahun. Nah kemanakah larinya uang-uang itu?

Untuk share artikel ini klik www.KabariNews.com/?34385

Untuk melihat Berita Indonesia / Jakarta lainnya, Klik disini

Klik disini untuk Forum Tanya Jawab

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :