KabariNews Siapa yang tak kenal dengan Politisi dari Partai Demokrat yang terkenal dengan logat bicaranya aksen Medannya dan pernyataan-pernyataannya yang selalu mengundang kontraversi. Ruhut Sitompul lebih dikenal dengan sebutan Raja Minyak dari Medan berkat perannya saat memerankan tokoh si Poltak dalam sinetron Gerhana.

Berawal menjadi seorang pengacara yang sering menangani kasus-kasus yang berbau kontraversi dan kurang populer di masyarakat, Ruhut kemudian menangani sejumlah yayasan milik mantan Presiden Soeharto dan menjadi pengacara Akbar Tandjung. Dari situ, ia mulai mengenal dunia politik dan mulai meniti karir politiknya saat bergabung dengan Partai Golongan Karya (Golkar).

Pria kelahiran Medan, 24 Maret 1954 ini, namanya sempat melijit lewat tokoh Poltak yang ia perankan dalam sinetron televisi berjudul Gerhana yang diproduksi oleh Starvision. Hingga saat ini, masyarakat masih memanggil Ruhut dengan nama Bang Poltak.

Bukan Bang Poltak, jika tidak membuat kontraversi lewat pernyataan-pernyataannya, hingga sejumlah orang dalam partainya gerah dibuatnya. Ia pun mengundurkan diri dari Partai Golkar dan kemudian bergabung dengan Partai Demokrat pimpinan Susilo Bambang Yudhoyono yang terkenal dengan sapaan SBY.

Ciri khas Ruhut kembali terlihat saat menjadi narasumber dalam diskusi publik dengan tema Menelusuri Peran Kinerja DPR Dalam Memberantas Korupsi yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum, Universitas Airlangga Surabaya, yang bertempat di Gedung A Lt.3, Selasa (04/04). “Kita sadar betul, rakyat miskin karena ulah para koruptor,” tegas Ruhut.

Acara yang menyoroti peran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam pemberantasan korupsi di Indonesia juga dihadiri oleh Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Alex Marwata. Diskusi semakin hangat tatkala Ruhut memaparkan materi diskusi. Dengan gaya bicara yang ceplas-ceplos dan kental dengan logat orang Medan, peserta diskusi terpingkal-pingkal dibuatnya.

“Tadi saya bicara dengan penyelenggara, kalau saya tidak bikin makalah. Karena kadang-kadang kalau saya bicara ada bukti otentik, karena saya orang hukum besok saya dilaporkan ke polisi. Capek juga saya nanti. Lebih baik pengalaman yang saya sampaikan. Jadi saya bisa ngeles kalau ada yang sakit hati. Kan begitu,” candanya.

Menurut Ruhut, yang utama harus jujur. “Kita belum siap dengan lahirnya Orde Reformasi yang mengedepankan demokrasi. Akhirnya yang terjadi seperti ini, kita dulu mengira era Orde Baru yang paling korup, nyatanya korupnya Orde Baru tidak ada apa-apanya dibanding korupnya Orde Reformasi. Karena kita  belum siap berdemokrasi. Kalau dulu, kita hanya ada tiga partai, itu sudah benar. Kalau perlu hanya ada dua partai seperti di Amerika. Karena demokrasi, sekarang ada banyak partai,” tukasnya.

“Ini menjadi biang kerok. Biang keroknya, ya kader-kadernya. Saya sudah dua periode menjadi anggota DPR dan tahu anggota DPR yang duduk di sana. Di luar sebelum menjadi anggota DPR mereka orang yang baik. Ada yang dari pesantren, ada tokoh agama, ada ketua LSM, macam-macam orang duduk di sana. Begitu menjadi anggota DPR, idealisme itu keluar karena belum ada kesempatan. Begitu ada kesempatan, waduh, ngeri sekali,” sambung Ruhut.

Sontak saja membuat peserta tertawa, karena kalimat yang dilontarkan oleh pengacara senior ini. Dulu, kata ruhut, kita membayangkan pada masa Orde Baru, Bupati dan Walikota dari tentara, tapi tentara lebih sedikit korupsinya dibanding yang sipil ini.

Ruhut mengakui, dirinya mundur dari anggota DPR di komisi tiga karena merasa tidak kuat berada disana. Padahal dirinya masih tersisa tiga tahun lagi masa akhir jabatannya. Jika dihitung selama tiga tahun ke depan hingga Ruhut mengakhiri masa jabatannya menjadi anggota DPR, penghasilan yang ia terima sebagai anggota DPR, bisa mencapai Rp  6 hingga Rp 7 miliar.

“Padahal jika hitung-hitung saya sebagai anggota DPR dengan sistem 4D saja, datang, duduk, diam, dan duit selama tiga tahun, Rp 6 sampai 7 miliar bisa saya terima. Modal saya saat masuk sebagai anggota DPR, paling minim sekitar Rp 200 juta,” tutur Ruhut.

Bagaimana dengan anggota DPR yang lain?  “Modal mereka untuk menjadi anggota DPR sebesar Rp 20 hingga Rp 25 miliar. Ada yang bermodal Rp 40 miliar, tapi dia gak jadi. Hal inilah yang menjadi pertanyaan, kapan balik modal? Nah, mulailah mereka kelakuannya begini-begitu,” kata Ruhut.

Selanjutnya Ruhut mengibaratkan, yang indah itu cinta pada pandangan pertama, begitu tulus. kemudian Ruhut mengkaitkan dengan undang-undang KPK dengan cinta pada pandangan pertama. Undang-undang KPK itu seperti cinta pertama. Di era presiden Ibu Megawati di tahun 2002, DPR termasuk dirinya untuk pertama membuat undang-undang KPK. Undang-undang KPK yang dulu sudah bagus, kenapa mau direvisi?.

Menurutnya, saat ini revisi undang-undang KPK hanya untuk melemahkan KPK. Padahal undang-undang KPK yang sekarang sudah bagus.

“Nah di komisi 3 DPR sama aku sering berantem terus kalau yang gini-gini dan buntutnya aku kalah. Indah ideologi kita Pancasila, musyawarah untuk mufakat. Begitu adu argumentasi, banyak suara yang muncul untuk minta voting. Ya, kalahlah aku. Orang aku begini kelakuanku. Stres aku lama-lama,” kata Ruhut.

Kembali peserta dibuat tertawa terpingkal-pingkal oleh Ruhut dengan gaya bicaranya khas orang Medan. “Janganlah idealisme kita hilang gara-gara kesempatan itu,” kata Ruhut disesi wawancara.

Ditanya soal agenda penguatan KPK terkait revisi undang-undang KPK? “Ya, People Power! Rakyat kan,” tegasnya.

Artinya, apakah revisi itu bisa terjadi untuk melemahkan KPK? “Jelas dong! Lihat SP3, ijin penyadapan. Itukan celah untuk mengetahui peradilan. Belum lagi bocor!,” tutur Ruhut.

Diakhir sesi wawancara, Ruhut berpesan, bahwa korupsi mengsengsarakan rakyat. “Janganlah main-main disana,” tutupnya. (Kabari :1003)