KabariNews – Pekan lalu Bank Indonesia  mengumumkan bahwa Neraca Pembayaran Indonesia pada triwulan IV tahun 2014 mengalami surplus sebesar US$ 2,4 Milliar. Akan tetapi, pada saat yang sama nilai tukar Rupiah terus mengalami pelemahan terhadap Dolar AS. Seringkali argumentasi pelemahan Rupiah disandarkan pada situasi ketidakpastian global. Pada satu sisi argumentasi tersebut dapat diterima, namun di sisi lain pelemahan Rupiah juga disebabkan oleh buruknya kinerja perekonomian nasional, khususnya pembengkakan defisit pada neraca transaksi berjalan.

Seperti dilansir dari siaran pers CORE, Selasa, (24/02), neraca transaksi berjalan Indonesia telah mengalami defisit sejak tahun 2012. Berbagai jurus yang telah ditempuh oleh Pemerintah maupun BI masih belum dapat mengatasi masalah ini. Surplus pada perdagangan nonmigas dan penurunan defisit neraca perdagangan migas dalam beberapa bulan terakhir pun belum memberikan dampak yang signifikan terhadap kinerja transaksi berjalan.

Meskipun defisit pada sektor jasa dan sektor migas juga menjadi pendorong defisit neraca transaksi berjalan, sebenarnya penyumbang defisit terbesar adalah neraca pendapatan primer. Pada tahun 2014 lalu, neraca pendapatan primer mengalami defisit hingga mencapai US$ 27 Miliar, melebihi defisit pada transaksi berjalan secara keseluruhan yang mencapai US$ 26 Miliar. Sayangnya, belum banyak usaha yang dilakukan untuk memperbaiki kinerja neraca pendapatan primer.

Penyumbang terbesar defisit pendapatan primer adalah besarnya pembayaran investasi, baik investasi langsung, investasi portofolio, maupun investasi lainnya. Setiap US$ 1 Miliar investasi asing yang tertanam di Indonesia dalam satu tahun (2010 – 2014) sebanding dengan US$ 12 Miliar yang ke luar negeri, yang merupakan hasil keuntungan investasi asing yang kembali ke negara asal, pembayaran bunga utang luar negeri, dll. Di antara komponen pendapatan investasi tersebut, defisit pendapatan investasi langsung menyumbang hampir 64% dari defisit neraca pendapatan primer.

Hal ini harus diwaspadai mengingat keinginan besar Pemerintahan Jokowi untuk menarik investasi asing. Target investasi langsung untuk periode 2015-2019 dipatok Rp 3.519 Triliun, dimana 63,7% di antaranya diharapkan berasal dari investasi asing. Target investasi langsung ini lebih dari dua kali lipat realisasi investasi di era SBY yang hanya Rp 1.687 triliun (2009-2014). Untuk mencapai target tersebut, berbagai roadshow telah dilakukan dan kebijakan perijinan satu pintu pun telah dikeluarkan awal tahun ini untuk menggenjot investasi

Pada investasi portofolio, investasi asing juga masih mendominasi pasar keuangan. Memang pada pasar Sukuk maupun obligasi, investor lokal mampu menguasai hingga 95% dan 62%. Namun dalam pasar saham maupun reksadana, porsi asing sangat besar. Investor asing menguasai 64% pasar saham dan 50% pasar reksadana.

Meskipun dalam sistem ekonomi yang semakin terbuka sentimen ataupun diskriminasi terhadap pelaku asing memang perlu dihindari, CORE memandang perlu diambil langkah-langkah agar investasi asing yang masuk dan pengambilan keuntungan yang dibawa investor ke luar negeri menjadi lebih seimbang, agar defisit neraca pendapatan primer dapat ditekan. Di antara langkah-langkah yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut:

Pertama, memberlakukan Repatriation Requirement dan meningkatkan Reserve Requirement untuk investasi asing. Repatriation/surrender requirement adalah menetapkan syarat-syarat bagi investor yang akan melakukan repatriasi investasinya, sebagaimana yang dilakukan negara berkembang lain seperti Tiongkok dan India. Reserve requirement adalah penetapan batas minimum cadangan yang harus disimpan di Bank Indonesia untuk investasi dalam mata uang asing. Tentunya cara ini juga perlu diperkuat dengan memberlakukan ketentuan jangka waktu minimal bagi investor asing untuk menarik dana keluar. Harapannya, agar modal tidak keluar-masuk dengan sangat cepat.

Kedua, memperdalam pasar keuangan. Pendalaman pasar keuangan diperlukan agar terjadi diversifikasi dan perluasan instrumen pasar keuangan yang dapat mendorong terjadinya re-investasi (investasi kembali) di pasar keuangan.

Ketiga, mengurangi penerbitan obligasi pemerintah. Salah satu penyebab besarnya capital outflow adalah pembiayaan hutang, terutama karena dalam beberapa tahun terakhir pemerintah membiayai 74% kebutuhan hutang dari penerbitan obligasi. Penerbitan obligasi dari pemerintah yang menawarkan yield tinggi ini tidak dapat diikuti oleh sektor swasta. Alhasil, sektor swasta mencari sumber pembiayaan dari pinjaman luar negeri dengan resiko perubahan nilai tukar yang tinggi. Ditambah lagi, suku bunga acuan di dalam negeri (BI Rate) masih bertahan di level yang cukup tinggi. (1009)