Dari sekedar hobi lalu menghasilkan. Bahkan bukan hanya untuk sendiri tapi juga berbagi dengan mereka yang tertarik menekuni dan menjadikan penghasilan tambahan atau tetap. Inilah yang dilakukan oleh Sanggar Melati di Semarang.

Dewi Arumsari Purnomo, pengembang dan ketua sanggar ini memilih sulam pita sebagai bisnis lokalnya. Bisnis yang dikerjakan bersama kedua kakaknya, Mamiek dan Yuli serta dibantu dengan para pengrajin dari ibu rumah tangga sekitar tempat produksi, awalnya hanya berupa hobi. “Saya kenal dengan sulam pita sejak tahun 2004 waktu masih bekerja di sebuah perusahaan media surat kabar di Semarang. Terkadang ketika merasa jenuh dengan pekerjaan, saya mencoba mencari hal baru dan kebetulan ada teman yang memberi pelatihan sulam pita. Saya mulai belajar dan menyukainya,” tutur Dewi. Berawal dari hobi itulah akhirnya lama kelamaan ternyata dapat memberi kontribusi penghasilan sehingga Dewi pun serius mendalami berbagai tingkat kemahiran sulam pita. Dengan sertifikat yang sudah dimilikinya, Dewi dapat merambah memberi pelatihan sulam pita serta menjadi narasumber dan motivator.

Menurutnya keterampilan sulam pita mudah dipelajari dan sangat indah hasilnya. Dengan warna-warni corak bunga dan motif yang dapat diaplikasikan ke media apapun. Asal dapat ditusuk dengan jarum sulam. Tetapi dibutuhkan imajinasi dan kreativitas yang tinggi. Sulam pita yang sudah dikenal sejak abad 18 di Eropa kemudian merambah ke Asia dan masuk ke Indonesia ini prospeknya sangat bagus di masa depan. Di Indonesia sendiri memiliki ciri khas masing-masing di setiap daerah. Bahkan kini menjadi ikon barang kerajinan tangan kota Semarang karena sudah menjadi OVOP (One Village One Product) atau satu jenis produk yang memiliki keunikan atau unggulan untuk dikembangkan.

Produk yang dihasilkan oleh Sanggar Melati beragam dari tas, dompet, sampai kerudung, mukena, sandal, serta aksesoris seperti bros. Di sulam di atas bahan-bahan dari karung goni dikombinasikan dengan batik, tenun, lurik, kanvas, dan bahan ramah lingkungan atau go green. Harganya pun sangat terjangkau. Model yang saat ini digemari adalah tote bag klasik dan kasual dengan rangkaian sulaman model sulaman melayu yaitu mawar-mawar yang dekoratif maupun bunga-bunga kecil seperti melati yang bergradasi warna-warnanya.

Saat ini pembeli bukan hanya dari lokal Semarang tapi juga luar Jawa, Malaysia, Singapura dan Belanda. Untuk produknya diberi label 3D (Tridi) yang merupakan huruf awal tiga anak Dewi yaitu Dhea, Dhenda dan Dheno. Produk unggulannya adalah hasil dari pemanfaatan limbah yang ternyata mempunyai nilai jual tinggi dari hasil inovasi dan kreativitas yang tinggi. Sedangkan sanggar Melati adalah wadah tempat pemberdayaan ibu-ibu rumah tangga dan remaja putus sekolah untuk mengembangkan potensi dan bakat mereka sehingga dapat membantu atau menambah penghasilan keluarga. Salah satu kegiatan terbarunya adalah memberi pelatihan dengan peserta perwakilan dari daerah-daerah seluruh Jawa tengah dan mendampingi sampai mereka dapat memproduksi sendiri di daerahnya masing-masing.

Sanggar Melati dengan produk sulam pitanya rajin mengikuti berbagai pameran di Indonesia serta produknya turut serta dalam acara-acara peragaan busana. “Salah satu prestasi yang membanggakan adalah ketika Expo di Batam, seluruh produk diborong pengusaha asal Singapura dan dibawa ke butiknya di London. Berarti produk saya sudah go international,” ujar Dewi yang mendirikan sanggar Melati yang beralamat di Lamper Tengah II/591C Semarang di tahun 2011 tepat di tanggal ulang tahunnya 25 November ini. Selain itu yang menyukai dan membelinya adalah ibu mantan wakil Presiden ibu Boedjono serta Ibu Gubernur Jawa tengah, ibu Ganjar Pranowo. Komentar pembeli adalah produknya sangat unik dan etnik dengan tampilan yang kelihatan mahal dan modis. Ketika ditanya apakah suka dan duka dalam berbisnis sulam pita, Dewi menjawab bahwa dalam bisnis sulam pita ini dia menyebutnya ‘tantangan’ bukan suka dan duka karena setiap masalah ada keunikannya tersendiri. Tantangannya antara lain dalam bidang SDM (sumber daya manusia) dan marketing. (1004/foto: kol. Sanggar Melati)