Via ceria malam itu. Dia menjadi juara II lomba mencipta lagu yang diadakan Radio Republik Indonesia (RRI)
tingkat provinsi. Via patut berbangga. Sebab di usianya yang masih 11
tahun dan duduk di kelas 6 Sekolah Dasar (SD), dia mengalahkan puluhan
pencipta lagu yang jauh lebih dewasa. Lagu ciptaannya terinspirasi dari
bom buku tempo hari. Begitu dalam liriknya. Bukan sekadar lagu cinta. Di
deretan penonton, ibunya tersenyum. Padahal dua hari lalu, ibu dua
anak ini tegang luar biasa. Bukan karena lomba mencipta lagu yang
diikuti Via. Tapi karena dia menunggu keputusan Sekolah Menengah Pertama
(SMP) untuk menerima anaknya menjadi murid.

“Via tidak saya masukkan ke SMP yang RSBI (Rintisan Sekolah Berstandar Internasional) tapi SMP dengan standar SSN (Sekolah Standar Nasional). Saya lihat lulusan RSBI tak selalu bagus. Kadang prestasi murid SSN melebihi murid RSBI, “ kata Riza Rahadi, ibu Via.

Untuk menembus SMP berstandar SSN
pun tidak mudah. “Pihak sekolah menerima murid baru dengan 4 jalur ;
Jalur Akselerasi (Cerdas Istimewa Bakat Istimewa), jalur Prestasi, jalur
cabang Olahraga dan Reguler. Untungnya Via bisa masuk dengan jalur
pertama,” katanya.

Di jalur akselerasi, beban pendidikan 3 tahun ditempuh murid dalam 2
tahun. Riza mengaku tegang luar biasa saat mencari sekolah lanjutan
untuk anaknya.

Padahal umumnya, di kalangan orangtua, muncul rasa bangga bila anaknya bersekolah di RSBI. Anak yang masuk RSBI
dianggap luar biasa, karena diyakini punya kemampuan yang lebih
dibanding murid sekolah biasa. Di sisi lain, orangtua yang anaknya
bersekolah di sekolah biasa, kadang merasa minder jika bertemu dengan orangtua yang bisa memasukkan anaknya di RSBI. Di kepala banyak orangtua Indonesia, sekolah seperti berkasta; berkelas. Dan, RSBI dianggap kasta tertinggi.

Riza membandingkan kondisi pendidikan Indonesia 20 tahun lalu dengan
sekarang yang sangat berbeda. “Pendidikan sekarang membingungkan. Ruwet
sekali. Anak dipacu untuk berprestasi. Tapi karena banyak kebijakan yang
berbeda, pendidikan seperti jalan sendiri-sendiri. Belum lagi soal
biaya, atau ujian nasional yang membingungkan,” ujarnya. Menurutnya,
orangtua jadi bernafsu memasukkan anaknya ke RSBI hanya demi gengsi semata bukan kualitas.

Penilaian Riza tidak salah. Beberapa hari kemudian, ketika positif anaknya masuk sekolah berstandar SSN, pemerintah menghentikan pemberian izin baru RSBI mulai 2011. Pemerintah juga sedang mengevaluasi 1.329 SD, SMP, dan SMA/SMK/Madrasah berstatus RSBI yang izinnya diberikan pada 2006-2010.

Banyak yang Tak Siap


Munculnya RSBI (sebagai awal menjadi SBI,
Sekolah Berstandar Internasional), mulanya dianggap sebagai kemajuan
untuk pendidikan Indonesia. Menjadikan setara pendidikan luar negeri
atau Internasional. Pengembangan SBI sendiri
didasarkan UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Sisdiknas). Ketentuan ini menjadikan pemerintah terdorong
mengembangkan pendidikan bertaraf internasional. Lantas pemerintah
melibatkan ratusan SMP dan SMA seluruh Kabupaten/Kotamadya di Indonesia dengan memberikan dana ratusan milyar rupiah.

Pembentukan RSBI mengacu pada standar perumusan SBI yakni SBI = SNP + X. SNP adalah Standar Nasional Pendidikan dan X adalah penguatan untuk berdirinya SBI.
X ini seperti sebagai penguatan, pengayaan, pengembangan, perluasan,
pendalaman, adopsi terhadap standar pendidikan baik dari dalam negeri
maupun luar negeri . SNP sendiri memiliki 8
kompetensi yakni lulusan, isi, proses, pendidik dan tenaga kependidikan,
sarana dan prasarana, dana, pengelolaan dan penilaian.

Secara konsep, siswa SBI dirintis untuk menyamai kurikulum internasional seperti Cambridge atau International Baccalaureate (IB). Dari sisi fungsional, ketika siswa SBI dianggap sedikit menyamai Cambridge atau IB, masih banyak tanda tanya. Lulusan SBI yang sudah ada akan diarahkan kemana nantinya? Terutama ketika mereka akan ke universitas. Konsep SBI
secara tujuan dan visi memang sangat bagus. Salah satunya, siswa sudah
terlatih berkomunikasi secara global dengan bahasa Inggris.

Tapi banyak yang tak siap. Terutama di daerah. Banyak yang tak bisa memenuhi standar SBI
(lihat box). Tidak semua sekolah bisa menyekolahkan guru sampai S2 dan
S3 dengan cepat. Kadang dalam satu sekolah tak sampai 50 persen gurunya
menguasai bahasa Inggris dengan baik. “ Jangankan bahasa Inggris. Di
jaman modern sekarang ini, masih ada guru yang tidak mampu memakai
komputer, “ kata Naning Wulandari, seorang guru SMP.

Sehingga, tak jarang pihak sekolah mensiasatinya dengan membangun
berbagai fasilitas seperti bangunan dan laboratorium serta sarana dan
prasarana. “ Jadi mereka cuma menambah fasilitas saja. Tapi tak didukung
dengan kemampuan guru dan kualitas evaluasi. Kadang ini tidak berkaitan
dengan kualitas pendidikan,“ kata Riza.

Sedikit ilustrasi, nama SBI ini sebenarnya dapat diganti dengan program sekolah yang berbasis bilingual. Adanya English club atau pemusatan sekolah dengan memakai bahasa inggris akan lebih baik dari pada memaksakan program SBI. Selama ini proses SBI masih menekankan pada bahasa Inggris dan fasilitas. Tapi apakah pemahaman akan mata pelajaran juga meningkat ?

Tak sadar banyak pihak menganggap SBI sedikit “menyeramkan” karena citra yang berkembang di masyarakat SBI benar-benar seperti sekolah luar negeri. Tapi ketika siswa luar negeri berhadapan dengan siswa SBI, akan terlihat jauh perbedaannya.

Akhirnya, sampai pada pertanyaan; untuk apa dan siapa SBI ini ? Karena siswa SBI
akhirnya didominasi oleh masyarakat dengan tingkat ekonomi menengah ke
atas. Itupun bukan karena sekolah itu memang sangat baik. Tapi karena
kualitas murid yang masuk di sana sudah baik. Karena itu, memang ada
baiknya pemerintah Indonesia belajar dari kebijakan bernilai ratusan
milyar ini. (Indah)

Ada 12 kriteria sebuah sekolah dikatakan SBI (Sekolah Berstandar Internasional);

1. SNP (Standar Nasional Pendidikan) yang sudah terpenuhi
2. 30 persen dari seluruh guru minimal S2 atau S3.
3. Kepala sekolah minimal S2 dan mampu berbahasa Inggris secara aktif
4. Akreditasi A
5. Sarana dan prasarana berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK).
6. Kurikulum diperkaya dengan kurikulum negara maju.
7. Pembelajaran berbasis teknologi dan bilingual serta memiliki sister school dari negara maju.
8. Managemen berbasis TIK , ISO 9001 dan ISO 14000.
9. Evaluasi menerapkan model UN (Ujian Nasional) dan diperkaya dengan ujian internasional.
10. Lulusan memiliki daya saing internasional dalam melanjutkan pendidikan dan bekerja.
11. Menjamin pendidikan karakter dan bebas bullying (kekerasan dan pelecehan), demokratis dan partisipatif.
12. Pembiayaan dari Pemerintah Pusat (50 ) Pemerintah Provinsi (30 ) dan dari orangtua murid. Menerima 20 % murid dari golongan tidak mampu.

Untuk
share artikel ini klik www.KabariNews.com/?36699

Untuk melihat artikel Utama lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

_______________________________________________________________

Supported by :