Kenanganku dengan salah satu korban Ryan

Lama tinggal di AS, tidak biasanya aku menerima telepon dari tanah air. Lebih sering text message atau e-mail.
Karena itulah, kabar dari Jakarta di akhir Juli lalu benar-benar
seperti petir di siang bolong. Grady Tumbuan tewas dan diduga turut
menjadi korban Ryan, serial killer dari Jombang. Oh my God!

Aku mendadak lemas, tak berdaya sekaligus marah mengetahui berita ini. Aku langsung buka internet dan browsing
berita mengenai Ryan. Aku benar-benar tak habis mengerti, kenapa Ryan
menghabisi nyawa Grady. Sesenggukan aku lalu menelpon teman-teman
dekatku di San Francisco.

Aku mengganggap Grady adikku
sendiri dan Grady menganggapku abangnya. Aku mengenal Grady enam tahun
lalu waktu liburan di Jakarta. Sering ketemuan di beberapa cafe di
Jakarta saat bersama dengan kawan-kawan kalangan artis ibukota.

Sebagai
anak muda, Grady bertubuh atletis karena kegemarannya berenang.
Wajahnya Indo, polos dan imut-imut. Sebelum genap 20 tahun, Grady
menyatakan keinginan untuk berkarir di dunia model dan sinetron. Dengan
senang hati, aku memperkenalkan Grady dengan teman-teman artis yang
kukenal di Jakarta.

Selanjutnya Grady kadang mengontakku via e-mail, SMS
atau telepon. Sesekali saja kita bertemu di Indonesia. Seringkali ia
curhat atau minta nasehat. Di depan banyak orang, Grady orangnya sangat
tertutup. Tetapi, dia banyak terbuka kepadaku. Meski aku yakin, lebih
banyak lagi sisi hidupnya yang aku tidak tahu.

Satu
rahasia yang ia sempat katakan padaku adalah dia seorang gay. Seperti
kebanyakan lelaki Indonesia, dia akan mengaku biseksual jika kepergok
ada orang menanyakan soal orientasi seksualnya. Menjadi gay adalah
stigma (memar sosial) yang belum bisa diterima di Indonesia. Bahkan,
aku meragukan keluarga dekatnya mengetahui soal ini. Karena Grady
berusaha sebisa mungkin menyembunyikannya.

”Hati-hati,
Grady, ” kataku berulang kali setiap kali ada kesempatan berkomunikasi
dengan Grady. Kata-kata itulah yang aku ketik dalam pesan pendek ketika
terakhir kontak dengan Grady February lalu. Waktu itu aku pergi
Yogyakarta dan Bali, tapi tidak sempat mampir Jakarta ketemu Grady

Sejak
itu, aku sudah tidak mendengar secuil kabar apapun dari Grady. Aku
tergolong orang punya intuisi kuat. Aku menyesal karena saat itu itu
tidak mampu melakukan lebih untuk mencegah kepergian Grady.

Menurutku, Keluarga merupakan safety net terdekat buat seorang anak. Lebih-lebih, jika dia adalah seorang gay. Aah,
jika saja keluarga Grady mengetahui dari awal bahwa dia seorang gay.
Mungkin Grady tidak terperosok rayuan Ryan. Atau, jika saja ada LSM
tempat mengadu orang-orang yang bernasib seperti Grady. Grady memang
cuma korban. Menjadi gay tidak identik dengan kekerasan, seks, alkohol
atau drugs. (amron)

Klik Disini untuk Baca Artikel ini di Majalah Kabari September 2008 ( E-Magazine )

Untuk Share Artikel ini, Silakan Klik www.KabariNews.com/?31898

Mohon Beri Nilai dan Komentar di bawah Artikel ini

______________________________________________________

Supported by :

Photobucket