KabariNews – Berangkat dari sebuah karya sebagai tugas akhir kuliah, Galih Sakti menggarap film bertajuk Barefoot alias Nyeker yang ternyata berhasil mengharumkan nama Indonesia di kancah Festival Film Internasional.

Galih SaktiSineas muda bermunculan dengan beragam eksperimen dalam memproduksi film. Salah satunya, Galih Sakti. Nama Galih mungkin belum setenar sutradara di dalam negeri saat ini. Tapi Indonesia patut berbangga pada pria kelahiran 25 Mei 1984 ini, karena karyanya berhasil masuk ke dalam kategori Film Pendek 2015 (Short Film Corner 2015) di Prancis.

Karya perdana Galih Barefoot atau dalam Bahasa Indonesia berarti Nyeker, lolos dalam nominasi festival film tahun ke-68 ini. Bagi sineas muda seperti Galih, kompetisi film pendek merupakan batu loncatan yang memungkinkan karyanya diuji oleh sineas profesional dan masyarakat luas. Kepada KABARI, Galih mengaku awalnya ia tidak menyangka karyanya bakal lolos dan bisa memperkenalkan film Indonesia ke ajang film internasional.

Film yang merupakan tugas akhir sang sutradara ini digarap dengan baik dan detail. Yang menarik, naskah penulisannya sudah dibuat sejak ia mulai kuliah di Academy of Art University, San Francisco, Amerika Serikat. Rentang penulisan naskah hingga pembuatan film, kata Galih, cukup lama, sekitar tiga tahun lebih. Di mata dosen, karya Galih ini bukan kacangan, karena itu dia sangat percaya diri untuk merealisasikan film dari koleksi naskahnya.

“Dosen-dosen saya berusaha meyakinkan saya untuk mewujudkan naskah tersebut. Ada salah satu dosen mendukung saya dengan memberikan informasi tentang festival film internasional,” ungkapnya.

Film berdurasi 13 menit itu mengangkat kultur dan cerita Nusantara, yang bercerita tentang dua bocah di Era Kolonialisme. Seorang bocah Belanda menjalin persahabatan dengan gadis Jawa misterius yang tinggal di dalam hutan. Kenapa berjudul Nyeker?

Behind the Scene Film Barefoot

“Ada satu adegan di mana sang anak kehilangan sepatu, dan disitulah adegan yang paling vital,” ungkapnya.

Lanjut Galih, banyak tantangan yang dia hadapi saat penggarapan film Nyeker. Selain harus memvisualkan era 1830-an, ia pun sempat kesulitan mencari pemain.

“Kami syuting Nyeker di Yogja, saya dibantu oleh tim yang solid. Awalnya memang agak sulit mendapatkan pemeran asli Belanda, tapi akhirnya ada turis-turis yang kebetulan mau diajak bekerja sama. Tantangan yang dihadapi terbayar dengan berhasilnya film Nyeker ini,” akunya, penuh syukur.

Tidak ingin puas dengan pencapaian itu saja, dalam waktu dekat Galih tengah menyiapkan film keduanya berjudul Iqro. “Saat ini saya sedang mempersiapkan film kedua, Insha Allah saya akan masukkan lagi ke festival film. Semoga karya saya selanjutnya bisa lebih baik lagi,” ungkap pria yang juga berprofesi sebagai dosen di Universitas Pelita Harapan Jakarta ini.

Seni adalah bagian dari kehidupannya, selain hobi melukis, sejak kecil Galih juga sangat menyukai film. “Saya sangat suka dengan sejarah Indonesia. Itu juga alasan kenapa film Nyeker saya angkat dengan setting dari tahun 1830-an. Padahal banyak cerita kekinian yang pastinya disukai, tapi entah jiwa saya suka etnik, karena menurut saya menarik, bisa belajar dari situ dan kita dapat tahu sejarah,” katanya.

Terjun ke dunia film tidak serta merta dilakoni Galih. Sebelumnya pria murah senyum ini arsitek muda dan juga dosen. Lulus S1 di Universitas Indonesia, Galih melanjutkan S2 di Universitas Pelita Harapan. Sambil menjalani profesinya sebagai arsitek, Galih mengajar di almamater Universitas Indonesia. “Ada pilihan waktu itu, saya melanjutkan S3 untuk menjadi dosen tetap atau saya memilih jalur lain, yaitu film. Pilihan yang sulit, dan orang pasti pernah mengalaminya. Akhirnya saya putuskan untuk terjun ke film, lalu mengambil Master of Art di Academy Art of University, AS,” katanya sambil tersenyum. “Alhamdulillah, semua ilmu bisa terpakai, walau berbeda. Tapi pada prinsipnya, konsepnya bisa diterapkan dalam pembuatan film.”

Penggemar berat karya sastrawan Pramoedya Ananta Toer itu punya deretan cita-cita dan harapan yang ingin segera direalisasikannya. Salah satunya, mengangkat film dari karya inspiratornya. “Menggarap salah satu karya Pramoedya Ananta Toer adalah impian saya dari dulu. Mudah-mudahan bisa segera terlaksana.”

Galih sangat senang kembali dari Amerika ke Tanah Air dan berkarya. Terus menggali potensi diri dan ikut serta memajukan perfilman Indonesia. Baginya, perfilman Indonesia sangat maju pesat dan tidak kalah dari luar negeri. “Indonesia punya bibit-bibit unggul. Karya mereka tidak kalah dari orang luar. Bahkan saya bangga, banyak sekali karya anak Indonesia yang diakui di internasional, hanya saja kurang terekspos. Indonesia adalah gudangnya film. Saya yakin kita bisa bersaing sehat,” tandas putra pasangan Kukuh P dan Suciari itu.

Semakin banyaknya sineas muda yang lahir tidak menutup kemungkinan dunia perfilman Indonesia bersinar dan terus melahirkan film berkualitas. Apakah Anda calon sineas muda berikutnya? (1001)

Klik disini untuk melihat majalah digital kabari +

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/78965

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :

Asuransi Bisnis

 

 

 

 

kabari store pic 1