“Baik Jenderal, jadi langsung kita pencet saja Jenderal? Oh Ya pencet apanya Jenderal?”

Agus Nur Amal nama pria ini, kelahiran Sabang, NAD, 17 Agustus 1969 dan lebih dikenal sebagai Agus PM Toh.
Pria
jebolan Intitut Kesenian Jakarta (IKJ) itu adalah seorang penghikayat
atau pencerita. Malahan mungkin satu-satu orang Indonesia yang begitu
piawai menceritakan suatu hikayat. Berbeda dengan monolog, cara Agus
membawakan cerita atau hikayat terbilang unik. Agus menggunakan aneka
benda atau barang bekas sebagai alat bantu penampilannya. Seperti ember
bolong, gayung, sendal jepit, sepatu tentara, kain sarung, pistol air,
payung dan banyak lagi.

Ditangan Agus, benda-benda
tersebut berbubah fungsi, misal gayung menjadi representasi helikopter,
tentu lengkap dengan suara mulutnya yang berbunyi mirip mesin
helikopter, “Reeerrrrrrr..”. Atau ketika Agus memainkan sepasang sepatu
tentara dengan tangannya—dalam setiap penampilan Agus selalu sambil
duduk—lalu mulutnya berkata “Siap Grak..Tegak Grak..Tidur grak”.
Penonton seolah sepakat bahwa sepatu tentara yang sedang
dimain-mainkannya adalah representasi rombongan prajurit yang sedang
berbaris.

Bahkan benda-benda tak berguna seperti botol
bekas air mineral menjadi demikian hidup di tangan Agus. Dalam sebuah
hikayat berjudul “Hikayat Jenderal Puyer Bintang Toedjoeh” Agus begitu
piawai mengubah botol bekas menjadi sebuah “roket berhulu ledak
nuklir”. Tak lupa juga ia mengeluarkan sebuah “handy talkie” yang
terbuat dari kotak minuman ringan. Dengan santainya ia berkata, “Baik
Jenderal, jadi langsung kita pencet saja Jenderal? Oh Ya pencet apanya
Jenderal?” kata Agus sambil memegang “handy talkie”.
Kontan penonton tertawa.

Atau
ketika Agus memainkan dua peran sekaligus, ibu-ibu dan anak kecil.
Sekali waktu dengan wajah kemayu Agus mengenakan kerudung lalu mendadak
ia membuka kerudung itu dan memasang mimik kekanakan-kanakan yang lucu
yang disimbolkan dengan topi seragam SD yang berwarna merah putih.

Bisa
dibilang, hampir seluruh perlengkapan dapur dibawa Agus dalam
pementasannya. Tak terkecuali panci, penggorengan, sampai ulekan.
Hikayat-hikayat yang ditulis oleh Agus sendiri ini, memang sarat dengan
sentilan-sentilan sosial yang mengundang tawa. Tapi sebetulnya dalam
setiap hikayat, Agus selalu membawa semangat atau pesan. Seperti dalam
“Hikayat Hamzah Fansyuri Anak Dunia”, selain tetap menyertakan
sentilan-sentilan khas, hikayat tersebut menceritakan sebuah kisah yang
menjelaskan kenapa ada pemberontakan di Aceh.

Ia juga
menjadi sosok yang selalu gelisah atas situasi kebangsaan. saat proses
reformasi ternyata tak memuaskan dirinya, Agus menulis “Hikayat Udin
Pelor” berupa kritik sosial dan sentilan kepada para pelaku reformasi
yang lupa pada janji mereka sendiri.

Menurut Agus, kunci
kesuksesannya sebagai pendongeng adalah keberanian dirinya
‘bereksperimen’ dengan memanfaatkan benda sehari-hari. Selain itu dia
juga tidak kehabisan akal untuk membawakan cerita seperti melantunkan
bait-bait lagu.

Baginya, kegembiraan penonton saat
menonton dirinya adalah kepuasannya juga sebagai pendongeng. Hanya
sesederhana itu barometer sukses tidaknya penampilan yang ia suguhkan.
Bahkan saking sederhananya, cerita yang dibawakannya selalu memiliki
kalimat yang berurutan.

Dalam setiap penampilan, Agus
biasanya membuka cerita dengan menyanyikan lagu tradisional Aceh
terlebih dahulu. Menurut Agus, nyanyian ini semacam pengantar cerita.
Dalam nyanyian itulah penghikayat mengemukakan cerita apa yang akan
dibawakannya. Dan ini sudah pakem bagi pendongeng atau penghikayat
Aceh. Agus mengaku kalau soal ini dia tak mau mengutak-utik. “Silakan
saja membawa aneka cerita dengan gaya masing-masing, tapi nyanyian
pembuka tidak boleh dilewatkan.”

Kenapa Agus PM Toh?
Usut punya usut pria yang hobinya sejak kecil berimajinasi dan
mengumpulkan gambar itu memulai karirnya sebagai pendongeng dengan
‘berguru’ kepada Tengku Adnan, seorang pendongeng asal Aceh. Beliau
sangat terkenal karena bisa menirukan suara terompet bus-bus Trans
Sumatera tahun 1970-an, yang disebut PM Toh. Orang-orang pun akhirnya menggelarinya dengan julukan itu, yang kemudian ditiru oleh Agus.

Cerita
bagaimana dia bisa menjadi penghikayat juga lumayan panjang. tahun
1991, Agus cuti kuliah dari Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Selama
setahun cuti, Agus berkelana dari kampung di Aceh, mengikuti gurunya,
Tengku Adnan, seorang penjual obat terkenal di Aceh yang selalu memukau
orang dengan kisah-kisah lisannya. Dari Tengku Adnan, Agus belajar
banyak hal terutama tentang seni sastra lisan. Dia begitu terpukau
dengan kemampuan sastra lisan gurunya itu, hikayat yang diceritakan
gurunya begitu detail dan berurut rapi, padahal isinya lumayan panjang.

Latihan
yang mesti dijalani Agus pun tergolong berat, selain harus hapal dan
paham betul seluk beluk sastra lisan Aceh, suatu kali pernah gurunya
menyuruh Agus untuk tidak berhenti bicara semalaman untuk melatih
kecepatan berpikir dengan perkataan dan kalimat.

Sekarang
Agus telah menulis beberapa naskah Hikayat antara lain, “Hikayat Anak
Emak mencari Telor”, “Hikayat Pelayaran Samudra Dunia”, “Hikayat
Jenderal Puyer Bintang Toedjoeh”, “Hikayat Hamzah Fansyuri Anak Dunia”,
dan “Hikayat Udin Pelor”. (yayat/berbagai sumber)

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?32726


Untuk melihat Berita Indonesia / Seni lainnya, Klik
disini

Klik disini untuk Forum Tanya Jawab

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :

Photobucket