Tiga laki-laki
berkostum serba hitam berlarian membawa alu panjang di tangan. Mereka
seolah berkejaran mengitari sebuah lesung sembari melakukan gerakan menumbuk.
Lesung yang ditata di tengah stage, di antara para pemain musik itu,
tampak semakin hidup. Mereka bergantian memukulkan alu ke lesung secara
repetitif dan begitu dinamis. Disusul vokal khas Melayu, yang melengking tinggi
lewat komposisi Alo Galing.

Adegan yang
memadukan unsur gerak, musik, dan vokal itu, dibawakan langsung oleh para
pemusik dari Yayasan Pesisir. Hadir sebagai suatu bentuk presentasi khasanah
masyarakat agraris etnis Sambas, Kalimantan Barat. Tampil memukau dalam
perhelatan musik bertajuk “Beauty of Indonesia: The Art of Indonesian Music
from Malacca Ensemble” yang dihelat di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki
(GBB-TIM), Jakarta pada akhir Juli lalu. Perhelatan ini, memang tampil lain
dari biasanya. Banyak unsur kolaboratif tak terduga—dari sekadar panggung
pertunjukan musik.

Meramu Tradisi

Ada pula
pertunjukan—yang secara khusus—dipersembahkan oleh Malacca Ensemble. Kelompok
musik baru yang mengusung genre etnik-kontemporer—di tengah gempuran
industri Pop Melayu di tanah air. Dari namanya, bisa ditengarai kelompok tersebut
mengusung irama Melayu yang dipadu-padankan dengan berbagai instrumen etnis
Nusantara dan manca negara lainnya, serta combo-band dalam berbagai pola
garap komposisi panjang yang eksotis dan penuh warna.

 Di saat
banyak musisi lokal memilih terjun ke ranah musik industri dengan Pop-Melayu,
Malacca Ensemble tampaknya tak bergeming dan teguh untuk tak larut. Terlepas
bahwa beberapa personilnya juga eksis di ranah musik industri.

Meski baru seumur
jagung, kelompok dari Jakarta yang personilnya datang dari beragam etnis ini
terlihat matang. Penonton pun dibuat terpukau olehnya. Dimotori Hendri Lamiri (violist),
Indro Hardjo Dikoro (bassist), Faisal (guitarist), Yaser Arafat (percussion),
Butonk Olala (accordion), Rio Zee Rinaldo (keyboardist), Demas (drummer),
Eunique Shalom (vocalist), dan Mul’am Sambas (guest vocalist)

Sebenarnya, mereka
memang telah memiliki catatan kiprah yang tak pendek. Beberapa di antaranya
bahkan sudah dikenal dalam berbagai forum perhelatan musik tanah air. Selain
acap tampil dalam berbagai forum musik secara personal, Malacca Ensemble juga
sempat tampil di beberapa hajatan besar musik negeri ini, seperti “Malacca
Strait Jazz Festival” (Pekanbaru) dan “Java Jazz Festival” (Jakarta).

Malacca Ensemble
tampil dengan gaya dua warna dalam gubahan aransemen baru—menjelajah berbagai
kemungkinan eksplorasi musikal. Berbeda dengan Geliga (Pekanbaru)—kelompok
musik dari ranah Melayu—yang juga mengusung nuansa Jazz Melayu.

Meski banyak
kendala non teknis seperti persoalan promosi dan tiket yang kurang terjangkau
bagi penonton pemula, tak mengurangi keseriusan Malacca Ensemble. Mereka tetap
tampil maksimal, baik ketika tampil secara berkelompok atau juga tampil bersama
pendukungnya, seperti Kelompok Ethnic Percussion, Cilay Ensemble, Iwan Wiradz
(percussion), Doni Suhendra (gitaris jazz), Mustafa & Brothers (Debu),
Indonesian Sufi Dancer, Yayasan Pesisir Sambas, dan Papua Dancer.

Menjajaki Pasar

Pertunjukan musik
selama hampir dua jam ini, mengusung komposisi yang dimainkan secara bergantian
atau berkolaborasi bersama para bintang tamu pendukung. Aksi mereka, mengemuka
sepanjang pertunjukan, melalui 11 komposisi musik dan vokal. Setelah
sebelumnya, dibuka oleh Komunitas Indonesian Sufi Dancer, dengan olah vokal dan
tarian khas sufi yang dilakukan sambil berputar-putar—menggerakkan kostum
bagian bawah yang menjadi tampak hidup seperti bergelombang.

Komposisi Seroja,
menjadi pilihan awal, menjajaki ranah world music, antara Asia, Eropa,
dan Nusantara dalam pola ritme 6/8, yang nge-beat. Langsung disusul oleh
Dzikir, yang memuat unsur akustik-reflektif, sebagai perenungan atas
beragam kejadian yang menimpa negeri tercinta belakangan ini. Setelah dua nomor
awal ini, mereka kemudian berkolaborasi dengan Mustafa & Brothers (Debu),
dalam komposisi bertajuk Macan Hutan yang diambil dari album religi
bernuansa etnik dari album mereka sebelumnya. Penampilan beberapa personil
kelompok musik Debu semakin menghangatkan suasana.

Lantas disahut
oleh komposisi Galaksi, salah satu nomor bernuansa fussion yang
dimainkan dengan pola garap perkusif khas Nusantara. Kombinasi beragam
instrumen perkusi sangat dominan menimpali permainan biola, Henri Lamiri.
Diikuti Alo Galing, Wall of Rhythm, dan Anging Mamiri.

Setelah beberapa
komposisi tadi, ada juga Hang Tuah yang “berdialog” dengan manis bersama
musisi jazz senior, Doni Suhendra. Berturut kemudian disusul Waroeng Podjok,
lagu lama dari etnis Sunda yang diberi sentuhan baru—menampilkan permainan
perkusi dari Iwan Wiradz. Lantas, Beauty of Indonesia, yang tampil dalam
balutan jazz-ethnic. Dan sebagai pemuncaknya, diakhiri dengan komposisi
panjang Melayu Funk, yang memang sengaja dibuat nge-punk, melalui
perpaduan alunan musik Nusantara yang melodis, tanpa meninggalkan unsur
ke-Melayuan. Disertai kehadiran para penari Papua yang lucu dan menawan.

Semua aransemen
yang digarap ulang oleh Henri Lamiri ini, sebenarnya menjadi ajang test-case.
Ajang untuk melihat berbagai kemungkinan peluang, menjajaki animo pasar
dalam ceruk world music, sebelum meluncurkan album perdana pada akhir tahun
nanti. “Kami tetap yakin, bahwa pangsa pasar kami, masih ada untuk terus
mengapresiasi proses perjalanan kami. Sehingga musik Nusantara yang kami olah
dalam ranah world music ini, dapat diterima secara luas oleh masyarakat
pecinta musik,” tandas Henri bersemangat di belakang panggung.

Dan pertunjukan
malam itu, tampaknya berhasil menjadi ruang pertemuan yang membuka beragam
kemungkinan untuk menciptakan dan mengalirkan energi kreatif antara yang tradisi
dengan yang modern.( Pandhu )

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?33669


Untuk melihat Berita Indonesia / Seni lainnya, Klik
disini

Klik disini untuk Forum Tanya Jawab

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :