Permak Pakaian“Kalau cuma potong, buat pola, jahit, saya ngga kalah sama perempuan” ungkap Sujono yang berprofesi sebagai penjahit keliling.

Sehari-hari Jono begitu ia mau disapa bekeliling kompleks perumahan untuk menawarkan jasa menjahit. Dengan sepeda kayuh yang didesainnya menjadi gerobak mesin jahit, Jono berinteraksi dengan para pelanggannya. Panas dan hujan bukan halangan untuknya mencari rejeki di Ibu Kota “Namanya juga usaha mba, mau hujan trus banjir, mau panas sampai kering kalau rejeki mah ada saja” kata Jono.

Sudah puluhan tahun Jono akrab dengan dunia menjahit. Jono berkisah, dulu ia pernah bekerja di sebuah konveksi tapi bukan sebagai penjahit, melainkan tukang bersih-bersih.

Ketika konveksi libur atau di saat tuan nya tidak di rumah, Jono mencuri waktu untuk belajar menjahit.  Dengan kain sisa, Jono belajar membuat pola, menggunting dan menggunakan mesin. “Mungkin karena bakat, ngga lama saya bisa. Orang yang kerja di konveksi juga kaget saya bisa ngejahit. Kecuali bos, saya ngga berani karena saya kan cuma kuli bersih-bersih waktu itu,” kenang Jono.

Karena sudah lancar menjahit dengan mesin, Jono pun kerap ‘disewa’ para pekerja konveksi. Upahnya tak seberapa tapi ia senang, karena hasil tangannya bisa terpakai. “Suruh bantu banyak mba, kalau bos ngga ada saya dipanggil suruh bantuin, nanti saya dikasih uang jajan” paparnya pada Kabarinews.com.

Tak hanya baju, kemeja, dan celana panjang, Jono pun bisa menjahit gaun untuk perempuan. Tak berselang lama, memutuskan untuk alih profesi menjadi penjahit. Saat itu ayah dua anak ini belum punya modal, dan ia pun menyewa gerobak jahit untuk keliling kampung. Sehari ia harus membayar Rp 20.000 untuk menyewa gerobak jahit. “Saya kumpulin uang dari ngejahit, trus saya belikan mesin sendiri. Rasanya usaha sendiri lebih enak, tidak terikat setoran” tukasnya.

Berjuang demi anak sarjana

Penjahit Pakaian

Di wilayah Kayu Putih, Sujono sudah cukup dikenal. Terkadang ia menerima panggilan untuk menjahit gorden, kebaya juga pakaian biasa. Tarifnya cukup terjangkau, untuk baju atasan ia memberi harga Rp 70.000. Jono juga menerima permintaan untuk merombak baju, misalkan potong celana, memasang kancing, mengecilkan kemeja bahkan menambal baju yang sobek. “Setiap hari lumayan mba, bisa buat makan, nabung untuk dikirim ke keluarga di kampung, sama buat bayar kos” ujarnya.

Dalam sehari, penghasilannya tidak tentu. Kalau lagi sepi pelanggan, Jono mengaku mengantongi sekitar Rp 50.000. Jumlah tersebut sudah dianggap cukup, asalkan bisa menyisihkan untuk tabungan ia sudah bersyukur. “Pendapatan ngga tentu, tapi biasanya kalau sudah dapat Rp. 100.000 saya sudah aman. Udah bisa ngopi, ngrokok, sisanya disimpan” katanya.

Kebisaannya menjahit dianggapnya sebagai talenta dari Tuhan. Jono yang tidak lulus sekolah dasar bisa mencari nafkah berkat talentanya itu. “Saya SD saja ngga lulus, gimana bisa kerja yang enak. Tapi saya bersyukur Tuhan memberikan kebisaan ini, jadi saya bisa cari uang halal buat keluarga. Yang penting anak-anak jangan sampai kaya saya, mereka harus sekolah tinggi biar jadi orang” ungkap pria kelahiran Kebumen 23 Agustus 1965 itu.

Semangatnya membanting tulang di Jakarta adalah untuk anak-anaknya. Ia punya harapan besar, kelak anaknya bisa jadi orang. “Biarin saya kerja pagi sampai malam buat anak. Tahun depan anak saya wisuda, jadi saya harus kerja lebih giat lagi. Nabung buat pulang kampung sama buat syukuran kecil-kecilan” pungkasnya.

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?63026

Untuk melihat artikel Kisah lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

_____________________________________________________

Supported by :

asuransi-Kesehatan