KabariNews – Mari kita telisik kenapa Komisi Pemilihan Umum (KPU) tau-tau mengganti tata cara pemberian suara dari mencoblos menjadi mencentang atau mencontreng. KPU beralasan, cara ini untuk mencerdaskan pemilih agar lebih teliti memberikan suara. Dari segi teknis, menurut mantan Ketua Pansus RUU Pemilu DPR, Ferry Mursyidan Baldan, penentuan tata cara pemberian suara dengan mencentang didasari prinsip efisiensi. Sebab, jika menggunakan cara mencoblos dibutuhkan jenis kertas suara yang tidak mudah robek yang lebih mahal. Lalu terbitlah UU pemilu No 10 tahun 2008 yang menyebutkan surat suara ditandai satu kali centang pada nomor urut, gambar calon atau gambar partai.

Protes

Namun ketentuan itu mengundang gelombang pertanyaan, bagaimana jika pemilih mencentang lebih dari satu kali? Apakah tetap sah? Dalam simulasi yang dilakukan KPU di empat daerah, yakni Sidoarjo, Papua, Nanggroe Aceh Darussalam, dan DKI Jakarta, masih banyak ditemukan pemilih mencentang lebih dari satu kali. Bahkan tak sedikit pemilih yang tidak tahu cara mencentang.

Dari hasil simulasi tersebut akhirnya muncul wacana agar centang bisa dua kali dan tetap dianggap sah. Pemerintah dan KPU kabarnya telah duduk bersama membahas hal ini dan berencana mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Perppu ini nantinya akan mengakomodasi penandaan dua kali centang di kertas suara. Tapi entah kenapa, sampai berita ini turun Perppu
tersebut tak kunjung terbit.

Merepotkan Petugas KPPS

Meski begitu, pemberian tanda centang tetap dianggap riskan. Kukuh Wijaya, mantan Ketua KPPS (Kelompok Penyelengara Pemungutan Suara) Kelurahan Matraman, Jakarta Timur, pada pemilu 2004 mengatakan, pemberian tanda centang jelas akan menyulitkan anggota KPPS dalam menghitung suara. karena tanda centang relatif sulit dideteksi ketimbang dicoblos. Kalau dicoblos kertas suara tinggal diarahkan ke tempat terang, sudah telihat lubangnya, saksi juga dapat melihat kertas dari sisi belakang. tak perlu dibolak balik. “Kalau dicentang, berarti kertas harus diperlihatkan bolak-balik agar para saksi melihat tanda centangnya, iya kalau tanda centangnya besar dan jelas, kalau kecil bagaimana, nambah kerjaan kan?” tanyanya.

Apa yang dikuatirkan Kukuh Wijaya masuk akal, apalagi jika ada pemilih yang mencentang di gambar peci atau di jas berwarna hitam calon legislatif. Asal tahu saja, pasti bakalan banyak foto caleg yang posenya menggunakan peci dan jas hitam. Nah, apakah tanda centang itu terlihat? Hal sepele seperti ini tentu bakal bikin puyeng petugas KPPS di lapangan. “Kalau mencoblos, biasanya diameter lubangnya relatif sama, nah kalau mencentang, pasti ada yang kecil dan besar” kata Kukuh lagi.

Metode ini juga mengundang resiko tingginya surat suara tidak sah. Dalam UU disebutkan surat suara tidak sah bilamana ada tulisan atau coretan. Logikanya bagaimana mau meminimalisir tiadanya coretan, jika alat tulisnya malah disediakan.

Di lain pihak jika mau disebut efisiensi seperti dipaparkan petinggi DPR, cara mencentang juga tidak benar-benar efisien. Metode mencoblos hanya membutuhkan sebuah paku berukuran 10 cm atau lebih dan tentu harganya lebih murah ketimbang harga sebuah pulpen atau spidol yang digunakan untuk mencentang kertas suara. Kelebihan lain, metode mencoblos sudah mentradisi dan KPU tak perlu buang-buang uang untuk sosialisasi teknik mencentang yang benar.

Akhirnya meskipun ditentang banyak kalangan, toh KPU tetap keukeuh . Jadi ayo nyoblos..oops nyentang.. (yayat)