KabariNews – Pertumbuhan ekonomi kuartal pertama tahun ini mengalami penurunan hingga 4,7% dibandingkan dengan kuartal pertama 2014 yang mencapai 5,14%. Lemahnya pertumbuhan ekonomi pada kuartal pertama ini memang sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal, yakni perlambatan pertumbuhan pada sejumlah negara mitra dagang utama yang berakibat pada melambannya pertumbuhan ekspor Indonesia.

Namun, perlambatan ini sepantasnya disikapi sebagai warning bagi pemerintah untuk melakukan pembenahan dan memperkuat konsolidasi secara internal. Salah satu agenda mendesak yang perlu dilakukan adalah mendongkrak kinerja dan mempercepat peningkatan daya saing industri.

Seperti dilansir dari siaran pers CORE, Kamis, (7/5), Pemerintah saat ini telah menyusun Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional Tahun 2015-2035. Disamping itu, fasilitas peringanan pajak atau tax allowance yang baru juga akan mulai diberlakukan pada 6 Mei 2015 nanti sejalan dengan telah ditandatanganinya PP No. 18/2015. Terkait dengan pemberlakuan PP No 18 Tahun 2015, ada beberapa hal yang berbeda dibandingkan dengan PP sebelumnya antara lain jumlah bidang usaha atau daerah yang berhak menerima fasilitas keringanan pajak lebih banyak.

Jika PP No 62 Tahun 2008 dan PP No 52 Tahun 2011 yang hanya mencakup 52 bidang usaha, maka PP No 18 Tahun 2015 mencakup 66 bidang usaha dan 77 bidang usaha dan daerah. Dari sisi persyaratan untuk permohonan fasilitas keringanan pajak, PP No 18 Tahun 2015 tak menyebutkan batas investasi minimal secara eksplisit. Sementara itu, PP No 52 Tahun 2011 batas investasi minimal Rp 1 triliun. Bahkan pada PP yang baru ada aturan tambahan waktu dua tahun apabila perusahaan yang mengajukan melakukan ekspor paling sedikit 30% dari nilai total penjualan.

Sebenarnya pemberian insentif serupa telah diberlakukan setidaknya empat kali sejak tahun 2000 yaitu: (i). PP No 148 Tahun 2000 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu; (ii). PP No 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu; (iii). PP No 62 Tahun 2008 tentang Perubahan atas PP No 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu; (iv). PP No 52 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua atas PP No 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah- daerah Tertentu.

Meskipun demikian, pada kenyataannya pemanfaatan insentif-insentif tersebut tidak dimanfaatkan secara maksimal oleh para investor. Kalaupun ada yang mengajukan permohonan, jumlah penerimanya sangat minim, dan itu pun didominasi oleh Penanaman Modal Asing. Salah satu alasan yang dikemukakan bahwa ‘kurangnya’ minat investor memanfaatkan insentif fiskal pada PP 2011 adalah nilai investasi minimal Rp 1 triliun. Oleh karena itu, batas pemberian insentif tersebut kemudian tidak dibatasi batasan.

Di sisi lain, sejatinya yang dibutuhkan investor bukan hanya insentif dari sisi fiskal yang itu terletak pada hilir sebuah proses investasi. Masalah yang dihadapi para investor justru berada pada bagian hulu dan tengah kegiatan investasi seperti proses perizinan yang prosedurnya rumit dan waktunya lebih lama jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga; ketersediaan bahan baku yang murah dan supply yang stabil seperti energi gas dan listrik, sewa lahan. Minimnya proteksi perdagangan sebagaimana yang dikeluhkan oleh industri baja nasional, juga merupakan salah satu disinsentif investasi di negeri ini.

Sistem Pengupahan dan Pembenahan Kondisi Ketenagakerjaan

Peningkatan upah selama ini lebih banyak didorong oleh faktor inflasi dan politik dibandingkan dengan aspek produktivitas. Meskipun demikian, kenaikan upah di Indonesia lebih banyak mengikuti faktor KHL yang dipengaruhi oleh inflasi dibandingkan dengan peningkatan produktivitas. Celakanya, inflasi di Indonesia cenderung tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain (Grafik 1), terutama pada inflasi makananan yang merupakan pengeluaran terbesar penduduk perkapita (51% dari total pengeluaran). Dampaknya, kenaikan upah juga terdorong menjadi lebih tinggi. Hal ini menjadi salah satu faktor yang menekan pertumbuhan investasi di Indonesia, khususnya investasi di sektor padat karya.

Meskipun demikian, peningkatan upah tersebut tidak dibarengi  dengan peningkatan kualitas kesejahteraan pekerja secara signifikan. Walaupun secara nominal upah mengalami peningkatan, pendapatan riil pekerja relatif tidak bertambah  karena  hanya mengkompensasi kenaikan inflasi. Oleh karenanya, pengendalian inflasi sangat krusial dalam menjaga daya beli dan meredam peningkatan pertumbuhan upah buruh, sehingga pada gilirannya dapat mendukung peningkatan daya saing industri.

Dalam kondisi dimana inflasi tahunan relatif tinggi, rencana pemerintah menentukan KHL setiap lima tahun akan sangat mungkin menjadi tidak terlalu efektif karena tekanan buruh untuk menaikkan upah minimum setiap tahun akan tetap tinggi. Akibatnya, KHL yang semestinya menjadi rujukan pkenentuan upah minimum akan menjadi semakin tidak selaras satu sama lain. Padahal, pada Februari 2015 saja, setidaknya ada 11 provinsi yang masih menetapkan UMP di bawah KHL.

Terkait dengan produktivitas dan daya saing industri, kualitas tenaga kerja perlu mendapatkan perhatian lebih serius oleh Pemerintah. Dari data ketenagakerjaan BPS pada Februari 2015, pengangguran terbesar justru terbanyak berasal dari SMK dan Diploma yang sejatinya dirancang siap memasuki dunia kerja. Ini menunjukkan bahwa lembaga pendidikan yang  ada belum berjalan secara optimal dalam menciptakan tenaga kerja yang mampu terjun ke dalam dunia kerja. Sementara peran pemerintah dalam meningkatkan fungsi lembaga pelatihan kerja baik yang dimiliki oleh Pemerintah maupun oleh swasta juga masih lemah. (1009)