Nama pemberian orang tuanya cuma Gundono. Sementara “Slamet” merupakan pemberian guru SD-nya biar kelihatan gagah. Slamet Gundono senang dengan wayang sejak kecil. Tapi ia tidak menyukai kehidupan kesenian pedalangan saat itu yang dekat dengan minum dan main perempuan. Masuklah ia ke pesantren di Lebak Siu sampai Madrasah Aliyah. Tapi, justru di sekolah saat itu, di bawah kecintaannya terhadap wayang tidak pernah hilang, ia semakin rindu wayang.

Kini, Wayang Suket menjadi sebuah ikon bagi Slamet Gundono, alumni Jurusan Seni Pedalangan, Sekolah Tinggi Seni Indonesa (STSI) Surakarta tahun 1999. Slamet yang berpenampilan nyentrik dengan tubuh subur seberat 150 kg ini, semula dikenal sebagai dalang wayang kulit. Di saat mulai laku manggung dia malah menekuni seni wayang suket. Wayang suket adalah wayang yang terbuat dari rumput.

Awalnya ia kerap menjadi bahan olok- olok tapi tahun demi tahun, pentas wayang suketnya ternyata banyak mengundang minat. Tak Cuma keliling berbagai kota, tapi juga ditanggap ke luar negeri. Ia pun menjadi sosok seniman fenomenal. Di tangan Slamet Gundono, Wayang Suket menjadi sebuah media seni teater berbasis kesenian tradisional wayang.

Slamet Gundono yang lahir di Tegal, 19 Juni 1966 ini sama sekali tidak berpikir bahwa suket akan menjadi tren wayang suket. Wayang suket adalah pengalaman bawah sadar masa kecilnya. Bukan kesengajaan yang dimunculkan dan dieksplorasi di dunia seni. Tiap hari di masa kecil ia ke sawah. Tiap hari ia melihat suket. Ketika petani lagi santai suket mereka menganyam bagian batang jenis rumput menyerupai model wayang untuk mengisi waktu.

Pertama kali wayang suket dimainkan pada tahun 1997 di Riau. Tiba-tiba ia harus mementaskan wayang. Padahal, di sana tidak ada wayang kulit. Juga tak ada gamelan. Kebetulan kakak saya punya studio lukis yang terletak ditengah alang-alang sawah. Muncullah pengalaman masa kecil tentang suket. Akhirnya ia memutuskan untuk memakai suket, ia bentuk, ikat, dan gulung menjadi beragam bentuk wayang. Gamelannya pakai mulut, ala kadarnya dengan lakon “Kelingan Lamun Kelangan”. Itulah pertunjukkan wayang suket pertamanya.

Kelebihan wayang suket adalah ruang yang sangat bebas bagi penonton untuk membangun imajinasinya. Hingga ke imajinasi yang tak terbatas.

Filosifi suket sebagai sesuatu yang terus tumbuh adalah spirit yang membuatnya bangga. Suket hanya butuh air dan sinar matahari. Kekuatan filosofi ini menggambarkan kekuatan ruang imajinasi dari wayang suket. Pertunjukkannya merupakan simbol grass root yang mempertanyakan tentang diri, bukan memberontak atau merusak. Konsep pertunjukannya adalah pelataran seperti lagunya, urip kuwi mung koyo bocah cilik dolanan nang pelataran.

Slamet Gundono mengemas Wayang Suket secara apik dan unik sebagai kreasi baru dunia pewayangan. Cerita yang diangkatnya bukan sekedar cerita-cerita klasik yang bersumber dari kitab Mahabarata, atau Ramayana. Melainkan juga mengangkat kisah-kisah keseharian, termasuk soal aksi peledakan bom atau tentang pemilu.

Tak seperti dalang umumnya, ketika tampil Slamet Gundono tidak menggunakan baju beskap, blangkon, dan keris di pinggang. Ia biasa tampil dengan pakaian setengah telanjang atau seperti koboi. Media pementasannya pun tidak menggunakan wayang, kecuali untuk gunungan atau beberapa tokoh. Malah kadang ia menggunakan buah-buahan hasil kebun; seperti cabe, mentimun, tomat, bawang merah, dan lain-lain yang tertancap di batang pisang; jika di panggung.

Dari pengalaman beberapa tahun mempopulerkan wayang suket, ia menandai orang-orang yang mengundang wayang suket tidak sekadar nanggap. Ia menangkap romantisme kuat pada mereka, yakni romantisme masyarakat agraris. Itu ada di ruang bawah sadar orang-orang kota. Tak hanya orang-orang asal Jawa yang antusias. Penonton di Berlin, Jerman, pun memberikan antusiasme serupa. Begitu terkesannya pada pertunjukan Slamet Gundono, beberapa penonton mengundangnya makan malam seusai pentas.

Selain lakon masternya, “Kelingan Lamun Kelangan”, ada lakon-lakon lain yang digarap Slamet Gundono, antara lain; “Sukesi atau Rahwana Lahir”, “Limbuk Ingin Merdeka”, dan “Bibir Merah Banowati” tergantung segmen dan keinginan pasar. Di tangan Slamet Gundono, Wayang Suket menjadi tontonan yang enak, segar, dan penuh tuntunan.  (yayat)

Untuk share artikel ini klik www.KabariNews.com/?33855


Untuk melihat Berita Indonesia / Seni lainnya, Klik
disini

Klik disini untuk Forum Tanya Jawab

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :