Polemik pernyataan Ketua DPR Marzuki Alie tentang pemindahan penduduk pulau
Mentawai, berlanjut. Pernyataan yang terkesan menyalahkan warga pulau Mentawai yang
tertimpa bencana tsunami itu, memancing reaksi dari berbagai pihak.

Salah satunya Indra J Piliang, Dewan Penasihat The Indonesian Institute yang
mengirim sebuah tulisan yang dimuat Harian Kompas Senin, 1 November 2010. Indra
menulis pandangannya terhadap penyataan Marzuki Alie.

Dalam tulisannya, ia menyebut Marzuki Alie kurang memahami kultur sosial penduduk
Pulau Mentawai yang disebutkannya telah menghuni pulau itu sejak ribuan tahun
lalu.

Merasa perlu memberikan klarifikasi atas tulisan Indra J Piliang, politisi Partai Demokrat itu mengirim balasan
yang juga dimuat Harian Kompas pada Kamis 4 November 2010.

Marzuki menulis, klarifikasi perlu disampaikan karena menyangkut nama baiknya
sebagai ketua parlemen. Disebutkan, dirinya tidak bermaksud memindahkan begitu
saja masyarakat Mentawai dari habitat ekonomi, sosial, dan kulturalnya ke suatu
ruang baru yang kosong dan asing.

Menurut Marzuki Alie, pernyataan dari dirinya yang mengundang kontroversi
tersebut, adalah dalam konteks bahwa bahaya bencana tsunami bisa datang kapan saja
dan sulit dihindari karena kondisi topografi Pulau Mentawai.

Sayangnya, tulisan sepanjang 15 paragraf itu tak ada sepatah kata pun menyebut maaf
atau penyesalan. Yang terkesan malah ‘pembelaan’
bahwa pernyataannya tentang korban bencana Tsunami Mentawai, bukan suatu
masalah. Sebaliknya, pihak lainlah yang harus mengerti apa yang ada di hati dan
pikiran Marzuki Alie.

Berikut ini tulisan Indra J Piliang dan Ketua DPR Marzuki Alie yang
dimuat di Harian Kompas.

Mentawai dan Marzuki Alie

Oleh Indra J Piliang, Dewan Penasihat The Indonesian Institute dan Wakil
Sekjen DPN HKTI

Mentawai adalah kabupaten kepulauan
paling barat di Republik Indonesia.
Kabupaten ini langsung berhadapan dengan laut luas: Samudra Hindia. Selama
Indonesia berdiri, Mentawai hanya bagian dari masyarakat yang dianggap memiliki
peradaban rendah.

Belakangan, Mentawai dikenal sebagai
tujuan wisatawan mancanegara, terutama Australia. Lalu, muncullah gempa
bumi sejak beberapa tahun terakhir. Mentawai hadir dalam pembicaraan publik
nasional. Namun, tidak komprehensif. Cenderung parsial. Bahkan setelah banyak
tim nasional dan internasional datang, Mentawai tetap diingat sebagai daerah
rawan gempa. Tidak yang lain.

Yang paling memprihatinkan muncul
belakangan. Entah dosa apa masyarakat Mentawai sehingga Ketua DPR bernama
Marzuki Alie menyalahkan korban tsunami.

”Mentawai itu, kan pulau. Jauh itu. Pulau kesapu dengan
tsunami, ombak besar, konsekuensi kita tinggal di pulaulah,” kata Marzuki
(Kompas.com, 27/10/2010). ”Kalau tinggal di pulau itu sudah tahu berisiko,
pindah sajalah. Namanya kita negara di jalur gempa dan tsunami luar biasa.
Kalau tinggal di pulau seperti itu, peringatan satu hari juga tidak bisa
apa-apa.”

Tidak
setiap hari

Marzuki Alie sepertinya tak paham
dengan apa yang dikatakannya. Mentawai bukan seperti Pulau Onrust di Kepulauan
Seribu yang mungkin akan tenggelam akibat abrasi air laut. Mentawai
berbukit-bukit tinggi. Di daerah yang terkena bencana tsunami, sebagian
penduduk masih sempat naik ke bukit atau tersadar setelah sapuan pertama dan
lari ke bukit.

Tsunami tidak terjadi saban hari
sekalipun gempa bumi bisa muncul setiap pekan belakangan ini. Jadi, terlalu
berlebihan solusi atas masalah Mentawai: meminta pindah penduduknya ke daratan
atau Pulau Sumatera.

Sampai detik ini pun tak ada kebijakan
itu. Kalaupun ada sosialisasi antisipasi gempa bumi, pemerintah daerah lebih
banyak bicara menyangkut evakuasi, bukan pindah sejak dini.

Penduduk Mentawai semakin hidup ke
tepi, apalagi yang menghadap langsung ke lautan lepas Samudra Hindia, ketika
terdesak kehadiran masyarakat pendatang. Kayu-kayu balak mulai dieksplorasi
pada awal tahun 1970-an.

Kedua orangtua penulis termasuk
gelombang pertama kedatangan para perantau asal Minangkabau. Bukan hanya kayu,
kebun-kebun cengkeh menjadi penyangga perekonomian. Penulis masih ingat
bagaimana para pemetik cengkeh mencuci tangan dengan air limun atau soda.

Sebelumnya, Mentawai merupakan bagian
dari Kabupaten Padang Pariaman. Kini, sebagai kabupaten kepulauan, tentu
Mentawai berusaha otonom. Sumber pendapatan baru dikejar. Peran penduduk asli
meningkat dalam kehidupan sosial dan politik.

Masyarakat
laut

Marzuki juga lupa bahwa masyarakat
Mentawai adalah masyarakat laut atau pulau. Mereka menghuni pulau itu sejak
sebelum Masehi. Bagaimana bisa dalam sekejap bisa mengubah diri menjadi
masyarakat daratan?

Mentawai bukanlah Roma yang bisa
dibakar dalam semalam oleh Kaisar Nero. Memindahkan seekor gorila saja dari
Afrika ke Kebun Binatang Ragunan butuh biaya tak sedikit. Apalagi memindahkan
manusia dengan beragam budayanya.

Marzuki mestinya paham itu dengan
baik. Kalau tidak paham, Marzuki bisa bertanya kepada pihak yang paham,
termasuk anggota DPR asal Sumatera Barat yang berjumlah 14 orang. Sayangnya,
satu anggota DPR asal Sumbar dari Fraksi Partai Demokrat justru sedang berada
di Yunani ketika Marzuki menyampaikan pendapatnya.

Tak hanya akrab dengan laut,
masyarakat Mentawai menjadikan sagu sebagai salah satu sumber makanan pokok,
termasuk ulat-ulatnya. Di Sumatera, pohon sagu semakin sulit ditemukan.
Mentawai dan penduduk aslinya dalam banyak benak penyelenggara negara tetap
saja dianggap sebagai masyarakat terbelakang. Akibatnya, dengan mudah dilakukan
program yang sebetulnya mencabut penduduk asli dari habitat aslinya.

Masyarakat Mentawai, baik laki-laki
maupun perempuan, tak takut terkena ombak. Perempuan Mentawai malah terbiasa
mencari ikan di laut. Bukan laki-laki!

Bahwa Kepulauan Mentawai akan
tenggelam dihantam gempa, seperti daratan di sekitar Gunung Krakatau yang
meletus dulu, tentu perlu uji sahih dulu. Yang pasti, penduduk asli Mentawai
sulit pindah. Kalaupun pindah, ke mana?

Belum pernah terdengar ada
transmigrasi suku asli antarpulau, bahkan sejak zaman Belanda. Yang ada hanya
program pemukiman berupa kehidupan berkelompok di rumah permanen ketimbang berpindah-pindah.

Bagaimana kalau pernyataan Marzuki
dibalik saja: ”Kalau takut gedung DPR miring dan roboh, jangan coba-coba jadi
politisi di Senayan”.

***

Mentawai adalah Indonesia

Oleh Marzuki Alie

Tulisan Indra J
Piliang dengan judul ”Mentawai dan Marzuki Alie” (Kompas, 1/11) merupakan
kelanjutan polemik soal bencana Mentawai yang bermula dari pernyataan saya
sebelumnya (27/10).

Tak salah apa yang ditulis Piliang
kalau saja kutipan pernyataan yang termuat di berbagai media massa, yang
menjadi acuan Piliang, mencerminkan dengan sesungguhnya apa yang ada di hati
dan pikiran saya selaku Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

Perlu klarifikasi, tidak saja
menyangkut kepentingan nama baik sebagai ketua parlemen, tetapi juga menyangkut
persepsi masyarakat. Bahwa maksud saya bukan memindahkan begitu saja masyarakat
Mentawai dari habitat ekonomi, sosial, dan kulturalnya ke suatu ruang baru yang
kosong dan asing.

Konteks pernyataan saya adalah bahaya
bencana tsunami yang bisa datang kapan pun dan topografi Mentawai yang rawan
terhadap gempa dan tsunami sehingga sulit terhindarkan dari bencana sekalipun
mekanisme peringatan dini berjalan efektif.

Motivasi dari pernyataan ini adalah
keinginan tulus untuk menyelamatkan manusia Mentawai sebagai manusia dan
sebagai warga negara yang tentu harus dilindungi oleh negara. Kepedulian yang
humanis adalah dasar ketika saya mengeluarkan pernyataan yang dinilai tidak
bijaksana oleh sebagian kalangan, yang bahkan terus dipolitisasi oleh sebagian
pelaku politik.

Tak ada sama sekali niat melecehkan
Mentawai dan seluruh manusia dan atribut budayanya yang luar biasa dan menjadi
kebanggaan Indonesia
yang satu dan sama.

Maka, intensi atau tujuan pernyataan
saya sebenarnya hendak mengajak kita semua, seluruh rakyat Indonesia, untuk
bersama-sama memikirkan Mentawai dan semua daerah yang rawan bencana di seluruh
Tanah Air. Mentawai adalah Indonesia, kita semua harus memikirkannya. Evakuasi
dan lain sebagainya tak cukup menghentikan laju jumlah kematian akibat bencana
alam.

Saya maklumi betul, berita yang pendek
di media massa tak cukup menampung motivasi, argumentasi, dan orientasi yang
luas dan dalam. Dalam situasi inilah saya dicerca, dihujat, dan disudutkan oleh
kawan-kawan politisi yang tak menangkap lebih jauh dan lebih dalam apa yang
saya maksud.

Menuduh dan
menghakimi

Tulisan Indra J Piliang pun
memperlihatkan kesan menuduh dan menghakimi. Seolah-olah Marzuki Alie tak
memiliki hati dan tak memahami ikatan manusia dan habitatnya dengan segala
kekhasan yang tak bisa digantikan begitu saja. Kalau saja manusia bisa berpikir
bebas dari segala latar belakang politiknya, tentu tulisan Piliang tak begitu berbau
tuduhan atau penghakiman.

”Marzuki Alie sepertinya tak paham
dengan apa yang dikatakannya. Mentawai bukan seperti Pulau Onrust di Kepulauan
Seribu yang mungkin akan tenggelam akibat abrasi air laut. Mentawai
berbukit-bukit tinggi. Di daerah yang terkena bencana tsunami, sebagian
penduduk masih sempat naik ke bukit atau tersadar setelah sapuan pertama dan
lari ke bukit. Tsunami tidak terjadi saban hari sekalipun gempa bumi bisa
muncul setiap pekan belakangan ini. Jadi, terlalu berlebihan solusi atas masalah
Mentawai meminta pindah penduduknya ke daratan atau Pulau Sumatera”. Demikian
Piliang.

Lalu di bagian akhir tulisan, ada
kalimat bernuansa politis, yakni ”Bagaimana kalau pernyataan Marzuki dibalik
saja: Kalau takut gedung DPR miring dan roboh, jangan coba-coba jadi politisi
di Senayan”.

Pernyataan ini senapas dengan suara
sejumlah politisi yang menuntut Ketua DPR diganti. Saya tak mempermasalahkan
pergantian karena menjadi politisi bukanlah bekerja untuk hidup sendiri.
Menjadi politisi bagi Marzuki Alie adalah mengabdi pada kepentingan umum.

Niat baik saya tak dimengerti karena
tak tertampung dalam pernyataan yang pendek dan dalam waktu yang singkat.

Pemahaman yang berbeda atau tafsir
yang tak sama merupakan dinamika yang biasa dalam berdemokrasi. Tetapi,
janganlah perbedaan tafsir dimainkan secara politis untuk tujuan tersembunyi
yang tak bijaksana.

Jadi, tak salahlah jika kita coba
balik apa yang ditulis Indra J Piliang, bukan lagi ”Marzuki Alie sepertinya tak
paham dengan apa yang dikatakannya”, tetapi ”banyak pihak sepertinya tak paham
dengan apa yang ada di hati dan pikiran Marzuki Alie.”

(sumber kompas.com)

Untuk share artikel ini klik www.KabariNews.com/?35857

Untuk melihat artikel Utama lainnya, Klik di sini

Klik di sini untuk Forum Tanya Jawab

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

_______________________________________________________________

Supported by :