Banyak
pertanyaan bermunculan bagaimanakah status kepemilikan hak atas tanah/property di
Indonesia apabila seorang WNI menikah dengan WNA? Sebelum menjawab pertanyaan
ini, terlebih dahulu dipertanyakan kembali kepada pasangan berbeda
kewarganegaraan tersebut, apakah mereka menikah dengan Perjanjian Kawin (Pre-Marital
Agreement) atau tanpa perjanjian tersebut? Apabila mereka memakai Perjanjian Kawin
maka tidak ada percampuran harta sehingga harta yang dimiliki oleh para pihak
menjadi milik masing-masing. Sebaliknya, apabila pasangan perkawinan campuran
tersebut tidak memiliki Perjanjian Kawin maka harta yang dimiliki selama
perkawinan menjadi harta bersama pasangan tersebut, dengan kata lain pihak WNA
ikut memiliki setengah dari tanah tersebut. Sehingga WNI yang menikah dengan
WNA (tanpa Perjanjian Kawin) dipaksa untuk tunduk pada ketentuan peraturan yang
diperuntukkan bagi orang asing.

Berdasarkan
pasal 21 ayat (3) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 tahun 1960 :

“Orang asing
yang sesudah berlakunya Undang-Undang ini memperoleh hak milik karena pewarisan
tanpa wasiat atau percampuran harta
karena perkawinan
, demikian pula warga Negara Indonesia yang mempunyai hak
milik dan setelah berlakunya Undang-Undang ini kehilangan kewarga-negaraannya
wajib melepaskan hak itu didalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak
tersebut atau hilangnya kewarga-negaraan itu. Jika sesudah jangka waktu
tersebut lampau hak milik tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena
hukum dan tanahnya jatuh pada Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain
yang membebaninya tetap berlangsung.”

Sehingga
berdasarkan peraturan tersebut di atas, WNI harus melepaskan hak atas tanah itu
dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak dia menikah dengan WNA tersebut.

Berdasarkan Pasal 21 (ayat 3) UUPA
dan dengan adanya percampuran harta akibat perkawinan, bagi WNI dalam
perkawinan campuran, syarat utama untuk mendapat hak kepemilikan atas tanah
adalah Warga Negara Indonesia tunggal (tidak berkewarganegaraan ganda) dan
memegang perjanjian kawin.

Berdasarkan
Pasal 42 dan 45 UUPA dan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah Nomor
40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak
Pakai (HP) atas tanah, WNA dapat memiliki Hak Pakai dan Hak Sewa saja. Sehingga
WNI yang menikah dengan WNA tanpa perjanjian kawin otomatis digolongkan sebagai
subyek hukum yang hanya berhak untuk mendapatkan Hak Pakai atau Hak Sewa.

Berdasarkan
Pasal 45 PP 40/1996 Hak Pakai dapat diberikan di atas tanah dengan status tanah
negara, tanah hak pengelolaan dan tanah hak milik. Jangka waktu Hak Pakai
adalah 25 (dua puluh lima) tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu 20
(dua puluh) tahun.

Melihat praktek
hukum akibat diterbitkannya peraturan-peraturan tersebut di atas, mengakibatkan
tidak sedikit penyelundupan hukum yang terjadi di Indonesia. Beberapa kasus
yang banyak mencuat adalah WNI yang melangsungkan pernikahannya dengan WNA di luar
negeri sengaja tidak mencatatkan
perkawinannya di Indonesia sehingga WNI ini tercatat belum menikah dalam hukum
Indonesia dan otomatis dapat membeli hak atas tanah dan property di Indonesia. Cara
lain lagi yaitu dengan memakai Nominee yaitu suatu perjanjian antara pemilik
tanah yang sebenarnya dengan seorang yang dipakai namanya untuk tertera pada
sertifikat tanah, misalnya A adalah WNI yang menikah dengan WNA dan B adalah
WNI biasa. Perjanjian Nominee ini dibuat oleh A dan B dimana di dalam perjanjian
tersebut disebutkan bahwa pemilik tanah sebenarnya adalah A namun yang tertera
di sertifikat tanah adalah B, sehingga
dengan demikian A dapat terus menikmati tanah yang dibelinya, dia merasa
“aman” karena sertifikat hak atas tanah tertera nama B.

Melihat beberapa
penyelundupan hukum yang terjadi tersebut, seberapa jauh pemerintah Indonesia
atau Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah dapat menyelidiki apakah seseorang yang
mau membeli hak atas tanah/properti menikah dengan orang asing atau bukan.
Bagaimana pula pemerintah menyikapi hal ini?

Kata penutup
adalah sangat disarankan agar apabila seorang WNI tetap ingin dapat memiliki
hak atas kepemilikan tanah setelah menikah dengan WNA, maka sebelum menikah
mereka menanda-tangani Perjanjian Kawin dihadapan Notaris di Indonesia dan
Perjanjian Kawin tersebut dicatatkan di KUA pada Surat Nikah bagi yang beragama
Islam atau pada kantor Catatan Sipil bagi yang beragama selain agama Islam.
Dengan Perjanjian Kawin ini maka tidak terdapat percampuran harta sehingga
harta yang dimiliki oleh para pihak menjadi milik masing-masing jadi tidak
menjadi masalah apabila WNI membeli dan memiliki hak atas tanah dan bangunan di
Indonesia.

WNI
yang sudah terlanjur menikah dengan WNA tanpa perjanjian kawin, sebaiknya tanah
yang dimiliki di Indonesia segera dipindahtangankan dengan cara dijual atau
dihibahkan kepada orang tua, anak, saudara kandung atau kerabat sebelum
diketahui oleh pemerintah yang dapat menyebabkan hak atas tanah tersebut hapus
dan jatuh kepada Negara tanpa ganti rugi sesuai dengan peraturan Pasal 21 (ayat
3) UUPA di atas.

Semoga
tulisan ini dapat bermanfaat bagi para pembaca terutama bagi WNI yang menikah
dengan WNA dan bermukim baik di Indonesia maupun di luar negeri, khususnya
Amerika Serikat.

(Penulis : Dini Lastari Siburian, SH, Notaris
di Jakarta)

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?37574

Untuk melihat artikel Special lainnya, Klik disini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :