Seorang anak muda berada di depan kelas. Dia mengajar. Belia.
Tak lebih dari 25 tahun. Sekolah Dasar itu amat sederhana. Dari triplek
bercampur bata separoh dinding. Tiga kelas dalam satu ruangan besar
yang disekat. Guru belia itu sedang mengajar matematika di ruang kelas
4. Setelah memberi tugas itu, dia bergegas ke ruang kelas 5 yang berisi
hanya 2 anak. Di sana dia memberi tugas IPA. Dia cermati sebentar, lalu menyuruh melanjutkan mengerjakan tugas.

Lalu Soleh Ahmad, nama guru belia itu, segera ke kelas 1. Kelas yang
semula ribut, menjadi tenang ketika guru ini masuk. Di sana dia menyuruh
murid menggambar. Hanya sepuluh menit saja di situ, dia pindah lagi ke
kelas 4 . Menyuruh salah satu anak mengerjakan soal matematika yang ia
berikan di papan tulis. Dia segera berlari ke ruang kelas 1, karena ada
suara tangisan dan keributan di sana. Ada murid yang bertengkar
memperebutkan pensil warna yang terbatas. Guru belia itu berusaha
membujuk. Tak lama kelas kembali tenang.

Terlihat lelah. Tapi berusaha tersenyum. Dia guru dari Gerakan Indonesia Mengajar (GIM)
yang bertugas di SD 25 Lombang, Malunda Majene, Sulawesi Barat. Hari
itu dia terpaksa mengajar kelas 1 sampai kelas 6 sendirian. “Guru lain
tak bisa datang, jalan tertutup banjir. Murid juga banyak tak datang
hari ini,“ kata Soleh.

Dia bercerita, bahwa banyak guru dan murid yang rumahnya jauh dari
sekolah. “ Setiap hari mereka harus melalui jalan tanah berbatu menuju
sekolah sejauh 4-8 kilometer dari rumah. Jalan itu diapit tebing yang
sering longsor dan sungai yang airnya mudah meluap. Jika jalan
tenggelam, mereka tidak bisa ke sekolah,“ ujarnya.

Soleh tak sendiri. Ada Firman Budi Kurniawan (24). Juga di kecamatan
yang sama tapi di SD yang lain. Firman tinggal di Dusun Beroangin,
Malunda di Majene juga. Sebuah dusun tanpa listrik di tengah hutan.

Firman adalah sarjana Teknik Geofisika-Institut Teknologi Bandung (ITB). Dia juga ikut program GIM.
Sebuah gerakan nonpemerintah yang menugaskan para sarjana berprestasi
mengabdi sebagai guru di daerah terpencil selama satu tahun. Kondisi
alam hanya satu dari banyak tantangan yang harus mereka taklukkan.
Mereka juga harus menghadapi murid-murid yang tidak lancar membaca meski
telah duduk di kelas III atau IV. Fasilitas sekolah juga amat minim.

Di tengah kondisi seperti itu, Firman mencoba membuat terobosan.
Kadang, ia mengajak muridnya di SD 33 Battutala mendaki bukit Beroangin
yang curam. Di bukit itu, ia mengajar bahasa Inggris. ”Matahari… sun, langit… sky,” kata Firman sambil menunjuk matahari dan langit yang memerah di ufuk barat.

Apa Gerakan Indonesia Mengajar?


Seorang Anies Baswedanlah penggagasnya. Dia menyakini, bahwa guru adalah
ujung tombak memajukan pendidikan. “Tapi, faktanya, enam dekade
perjalanan bangsa ini, nasib guru seolah terpinggirkan, “kata Rektor
Universitas Paramadina ini. Karena itu, menurutnya, tidak heran jika 66
persen sekolah-sekolah di Indonesia terutama daerah terpencil kekurangan
tenaga guru.

Memang, banyak faktor penyebab. Di antaranya adalah, gaji guru yang
rendah dan kurangnya kebanggaan berpredikat sebagai tenaga pengajar. Di
samping itu Anies menemukan, bahwa banyak sarjana baru di Indonesia
memiliki nilai akademik tinggi, namun cara berfikir dan berbicaranya
tidak sistematis dan runtut. “Jarang mereka bisa menyampaikan ide lisan
dengan baik,” kata rektor termuda ini.

Lantas, Anies membuat gerakan Indonesia Mengajar. Didukung dana dari 3
perusahaan besar, program pertama di tahun 2010, berhasil mendidik 51
sarjana lulusan universitas terkemuka di Indonesia seperti ITB, ITS, UI, UGM, Unpad, Unhas, Unair dan Undip. GIM
mengirimkan guru-guru muda ini ke beberapa daerah terpencil di
Indonesia, seperti Majene, Bengkalis (Riau), Tulang Bawang Barat
(Lampung), Paser (Kalimantan Timur), dan Halmahera Selatan (Maluku
Utara). Setelah setahun di sana, mereka digantikan oleh guru muda dari
program GIM selanjutnya.

Ke-51 pengajar muda itu mengikuti program ini dengan kesadaran penuh.
Bukan karena tak memperoleh pekerjaan lain. Mereka adalah anak-anak
muda terpilih. Banyak di antara mereka yang telah hidup mapan dengan
gaji yang memadai. Tetapi mereka banting setir, untuk sebuah mimpi
bersama: ingin mengabdi kepada negeri tercinta. Menyatu dengan rakyat
jelata.
“Banyak pengajar di GIM, yang sebelumnya
bekerja di perusahaan di Singapura atau perusahaan nasional dan asing di
Jakarta. Mereka kebanyakan rela meninggalkan kenyamanan pekerjaan
sebelumnya untuk ikut program ini,” kata Retno Widyastuti, Program
Manager GIM.

Di GIM, para sarjana ini digaji 3 juta perbulan. Program ini ternyata banyak peminat. Untuk program GIM tahun 2011, sudah ada 4 ribu sarjana yang mendaftar.

Mengubah Sudut Pandang

Sebelum diterjunkan ke daerah terpencil mereka mengikuti pelatihan selama dua bulan di Modern Training Centre,
Ciawi, Bogor Jawa Barat. “Konsep pelatihannya sangat beda. Pada malam
hari, kami sengaja mematikan lampu satu kompleks agar mereka bisa
beradaptasi hidup tanpa listrik layaknya di desa terpencil. Namun yang
terpenting, orientasi mereka bukan lagi gaji dan karier, tapi
pengabdian,” kata Anies.

”Di sini mereka yang takut ketinggian, takut air, akan ditangani.
Karena medan yang akan mereka hadapi membutuhkan persyaratan ini. Mereka
juga diajari bagaimana bikin air jernih sampai air yang bisa diminum.
Mereka juga belajar 12 daun yang bisa dimakan di hutan, bisa hidup
dengan berbekal gula merah,” kata Ahmad Sjhahid, fasilitator program
ini.

Tantangan terberat adalah proses transformasi ilmu. Karena para calon
pengajar ini bukan saja harus mengikuti panduan kurikulum nasional,
tetapi juga harus menggabungkannya dengan cara mengajar yang kreatif.
Mereka harus berusaha bagaimana agar kurikulum itu membuat murid jadi
senang belajar.

Setiap wilayah tantangannya berbeda. Begitu terjun ke lapangan,
mereka harus berdiskusi dengan pihak daerah untuk menyesuaikan
”kebutuhan” para murid. Misalnya, di pelosok Halmahera tak jarang
murid-murid kelas I dan II SD masih belum bisa membaca. Sehingga
pelajaran baca tulis lebih diutamakan daripada pelajaran IPA.

Setelah melewati pelatihan di Ciawi, para calon pengajar ini datang
ke sekolah-sekolah di sekitarnya untuk mengajar,” Mereka datang kembali
ke sekolah yang sama dengan cara pandang yang berbeda. Misalnya saja,
mereka tidak lagi memfokuskan pada soal ’apa yang kurang di sekolah’,
tetapi datang dengan semangat ’apa yang bisa kita bantu’,” kata Sjhahid.

Hampir semua peserta program itu terkesan dengan pengalaman mereka di
daerah-daerah terpencil itu. Firman mengungkapkan, bahwa guru-guru
setempat yang mengabdi di daerah terpencil ini sangat luar biasa. Suara
mereka terlalu lirih dan terlihat sepele untuk didengar di Jakarta.
“Tapi merekalah pahlawan yang sebenarnya,” katanya.

Setahun membantu mengajar di sekolah-sekolah itu, mereka seperti
menemukan “kekayaan” tersendiri. “Kami memiliki setahun yang hebat.
Setahun yang bisa mengubah pandangan terhadap diri saya sendiri,
lingkungan dan negara saya,” ucap Firman. (Indah)

Untuk
share artikel ini klik www.KabariNews.com/?36700

Untuk melihat artikel Utama lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

_______________________________________________________________

Supported by :