Sudah tujuh tahun berlalu sejak kematian suaminya, aktivis HAM Indonesia, Munir Said Thalib, Suciwati, tak juga menemukan keadilan yang diidamkan. Namun perempuan kelahiran Malang, 28 Maret 1968, itu tak pernah menyerah dalam mencari keadilan sampai aktor intelektual yang mendalangi pembunuhan orang yang dicintainya tersebut dihukum.

“Saya terus berjuang melawan lupa. Karena sepertinya sekarang bangsa Indonesia sudah mengalami amnesia, bahwa masih ada keadilan yang belum ditegakkan, “ujarnya berapi-api.

Dia menegaskan dipenjarakannya Pollycarpus Budihari Priyanto bukan akhir perjuangannya. Sebab Pollycarpus hanya operator lapangan yang bekerja atas perintah aktor intelektual. Munir meninggal karena racun arsenik saat penerbangan Jakarta – Amsterdam pada 7 September 2003 di pesawat Garuda Indonesia.

Beban di pundak Suci (sapaan Suciwati) tak ringan. Selain terus mendesak berbagai pihak untuk mencari dalang sebenarnya, dia juga bertanggungjawab untuk membesarkan kedua anaknya, Alif Allende (12) dan Diva Suukyi (8). Saat ini dia bersama kedua anaknya tinggal di Batu, Malang, Jawa Timur.

Kepada dua anaknya, Suciwati menceritakan apa yang terjadi kepada mereka dengan bahasa yang mudah dipahami. “Saya menerangkan kepada mereka bahwa abah (ayah,red) mereka adalah orang yang baik. Karena itu banyak punya teman. Orang yang bunuh abah adalah orang jahat yang tidak suka kepada abah,” katanya. Mau tak mau Suci harus berkata jujur kepada anak-anaknya, karena kalau pun dia tidak cerita, mereka akan mengetahui cerita sebenarnya dari media maupun lingkungan sekolah.

Hal lain yang sering ia tanamkan adalah usaha untuk membuang jauh-jauh dendam dalam benak dan memafkan orang-orang yang sudah membunuh ayahnya. Meski demikian, dia juga mendorong anak-anaknya untuk berjuang di jalan kebenaran.

Memang tak mudah. Suciwati menilai, bagi anak-anaknya tidak mudah memahami kematian abah mereka. Bahkan dia pernah kaget ketika anak pertamanya Alif, melihat Pollycarpus di televisi. Di depan televisi Alif menangis dan berteriak akan membunuh Pollycarpus. Sesaat kemudian Suci pun memeluk Alif dan menenangkannya. Kemudian Suci bertanya kepada anak sulungnya itu, kenapa ingin bunuh Pollycarpus? Alif pun menjawab bahwa ia ingin membalas kematian abahnya. Setelah dinasihati, bahwa dendam hanya akan membuatnya jadi orang jahat dan bila membunuh, akan sama dengan dengan orang yang berbuat jahat kepada abahnya, Alif pun menjadi tenang dan berkata bahwa dia tak mau menjadi penjahat dan pembunuh.

Tampil sebagai sosok yang kuat di depan anak-anak dan teman-temannya, tak berarti Suci tak menyimpan kesedihan mendalam terhadap suaminya. Bila sedih dia akan menangis sendiri di kamar.

Di kota kecil Batu, Malang, dia mulai merintis toko cemilan dan suvenir khas kota itu. Di sana, dia juga akan menjual buku-buku dan memorabilia tentang suaminya. Dia berharap dengan itu dia mampu menghidupi dirinya dan anak-anaknya sampai mereka dewasa.

Untuk share artikel ini klik www.KabariNews.com/?36752

Untuk melihat artikel Kisah lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

_____________________________________________________

Supported by :