Himbauan bahaya gunung Merapi sudah disiarkan beberapa hari
sebelum akhirnya gunung teraktif di dunia ini meletus pada Selasa
(26/10) pukul 17.02 WIB. Ribuan warga lereng Merapi diungsikan ke tempat yang lebih aman.

Dari ribuan orang yang panik, justru ada sekelompok orang siap
merelakan nyawa mereka untuk membantu proses pengungsian. Merekalah para
Relawan Merapi.

Peran relawan dalam proses pengungsian korban bencana sangat besar,
meski dituntut untuk berani melawan maut, sebagai manusia biasa, pasti
ada rasa was-was dan ketegangan luar biasa juga dibenak mereka.

Seorang relawan harus siaga 24 jam untuk melayani korban bencana
dengan risiko yang besar. Selain jadi orang terakhir yang meninggalkan
daerah bahaya, mereka pun masih harus menjadi sasaran amarah pengungsi.

Tak jarang memang, di tengah situasi yang kalut para pengungsi
seringkali menjadi temperamental. Seperti yang dikisahkan Emanuel Andre
Rivandi (33), ia hanya bisa bersabar saat ada pengungsi menumpahkan
amarahnya.

“Saya dibilang pilih kasih, tidak adil, macam-macamlah. Kadang pas
mereka minta dan kita jawab habis, ada yang langsung bilang kita pelit,”
ungkap pria yang bekerja di bidang asuransi itu.

Andre tidak sendirian, bersama komunitas Jogja Punya Ninja (JPN) yang dipimpinnya ia menggalang dana untuk disalurkan ke korban bencana.

Tapi begitu melihat kondisi pengungsi yang memprihatinkan, Andre dan
teman-temannya akhirnya memutuskan menjadi relawan yang terjun langsung
ke lapangan dan membangun posko bantuan.

”Hari pertama erupsi kami mulai menggalang dana, awalnya mulai dari
warga sekitar, dari rekan, kenalan, sampai ada bantuan masuk, kami
langsung mendistribusikan ke tempat-tempat yang membutuhkan,” ujarnya.

Didampingi istri tercinta Agnes Aprillia Rivandi, semangat Andre
tetap menyala meski tidur beralaskan koran, makan seadanya, dan harus
waspada 24 jam selama Merapi masih berstatus “Awas”. Bersama timnya ia
mulai mensurvei lokasi-lokasi yang darurat dan segera mengirim bermacam
bantuan.

Pekerjaan Pun Ditinggalkan

Di balik keberanian para relawan, sebagai manusia biasa, mereka juga
sempat dilanda kepanikan ketika dihadapkan pada keadaan-keadaan gawat.
Namun rasa itu harus mereka sembunyikan demi menenangkan para korban.
“Bagaimana bisa mengatur dan membantu para korban bencana, kalau
relawannnya saja panik?” kata Andre.

Hal yang masih selalu diinggat Andre adalah ketika dia dan rombongan bertugas untuk mengevakuasi korban wadhus gembel (awan panas) pada letusan pertama (26/10).

“Tragis, kami sempat menemukan jenazah ibu yang sedang menggendong
bayi terkubur dalam abu. Ini peristiwa yang paling tidak bisa saya
lupakan,” ungkapnya mengenang.

Saat erupsi terbesar Merapi (5/11), menjadi duka yang tidak bisa ia
ungkapkan. Banyak korban akibat tersapu erupsi Merapi, Andre merasa baru
kemarin ia dan relawan lain mengirimkan bantuan, dalam hitungan jam
permukiman warga hilang tanpa sisa. “Bukan hanya orang-orangnya saja
yang hilang, gosong dan rusak, tapi semua desanya pun tinggal abu”
katanya.

Pengalaman dikejar awan panas pun dialaminya pukul 01.00 WIB
(5/11), saat ia dan rombongan akan mengevakuasi Desa Pangukrejo yang
letaknya 6 km dari puncak Merapi. “Kita berlari turun dengan warga yang
sudah berhasil dievakuasi, kita lari, tapi sayangnya warga yang masih
tinggal di rumah habis diterjang awan panas” lanjutnya.

Andre menuturkan, pada saat itu bukan lagi hujan abu, melainkan hujan
lumpur panas dan kerikil. Mereka baru sadari hal itu kemudian ketika
melihat jaket mereka banyak berlubang akibat hujan kerikil panas.

Bagi Andre menjadi seorang relawan adalah sebuah panggilan. Ia ingin
lebih dekat dan bisa memahami derita korban bencana. Andre setindaknya
sudah berada di Yogyakarta selama satu bulan. Otomatis sebagai agen
asuransi, selama itu ia belum bisa closing (mendapat klien,red) “Bagaimana mau closing, wong kemarin saya repot di sini kok,” katanya pendek.

Alhasil, ia pun mendapatkan peringatan dari kantor dan telah dianggap non aktif di tempatnya bekerja.

“Saya sudah dapat surat peringatan yang kedua dari kantor yang berisi
per Desember ini saya dinonaktifkan, yah ini salah satu risiko yang
harus saya ambil,” katanya.

Andre mengakui dirinya sedikit khawatir mengenai masa depan
pekerjaannya. Apalagi ia telah berkeluarga. Tapi keihklasan Andre
membantu para korban bencana Merapi sedikit banyak memberikan kepuasan
kepada dirinya.

Dengan keihklasannya itu pula ia yakin, suatu saat ada orang yang mau menerimanya bekerja. (pipit)

Untuk share artikel ini klik www.KabariNews.com/?36050

Untuk

melihat artikel Kisah lainnya, Klik
di sini

Klik

di sini
untuk Forum Tanya Jawab

Mohon beri nilai dan komentar
di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported

by :