Usianya hampir 80 tahun. Rambut memutih. Tak bisa ditolak,
fisiknya menua. Sesekali masih terlihat berjalan kaki di kampus.
Mengajar atau sekadar diskusi dengan Dosen dan mahasiswa. Sesekali juga
terlihat di bandara untuk berangkat menjadi pembicara seminar di luar
kota.

Namanya, Soetandyo Wignyosoebroto. Guru Besar Emeritus di Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya. Pendiri
dan pengajar yang begitu dihormati. Pak Tandyo, begitu banyak teman
Dosen dan mahasiswanya memanggil – adalah wujud seorang guru dalam makna
sebenarnya. Sederhana, tidak berbelit, cerdas, dalam dan obyektif.

Penghargaan Yap Thiam Hien Award tahun ini jatuh di tangan
Soetandyo, mengalahkan 34 calon lain. Penghargaan Yap Thiam Hien
diberikan kepada pihak yang berjasa besar dalam upaya penegakan Hak
Asasi Manusia (HAM) di Indonesia. Yap Thiam Hien adalah pengacara Indonesia keturunan Tionghoa yang juga seorang pejuang HAM.
Sosok yang pernah menerima penghargaan ini antara lain, Johny
Simanjuntak- ahli hukum pembela masyarakat miskin, Marsinah- buruh yang
meninggal karena hak-haknya dan Widji Thukul- seorang penyair pembela
kaum tertindas.

Kenapa Soetandyo dipilih? Dia Dosen, bukan aktivis HAM

Banyak orang datang kepada Guru Besar ini. Mulai dari orang-orang
Lembaga Bantuan Hukum, aktivis mahasiswa, aktivis buruh, kaum miskin dan
masyarakat biasa, anggota DPR dan sebagainya.
Dari sekian yang datang itu, Soetandyo punya benang merah : membela
rakyat kecil. Dengan pengetahuan yang luas tentang sosiologi dan hukum,
dia akan memberikan topangan akademis untuk semua yang datang padanya. 

Itu alasan para juri memilihnya untuk meraih penghargaan ini. Tahun 2001 ketika aktif di Komisi Nasional HAM, dia menjadi saksi ahli dari gugatan perwakilan kelompok (class action),
kasus penggusuran kaum miskin kota. Selain itu, dia juga peduli pada
kasus kisruh antara pedagang pasar Dinoyo dan pasar Blimbing Malang
dengan Pemerintah Daerah setempat. Dia juga peduli ketika mahasiswanya
menangani kasus buruh Marsinah.

Dimata Dewan Pembina Yayasan Yap Thiam Hien, Makarim Wibisono, meskipun Soetandyo Wignyosubroto bukan seorang aktivis HAM,
namun dia adalah seorang guru dibidang kemanusiaan. “ Pak Soetandyo
telah menunjukkan kepada masyarakat Indonesia satu pemikiran sederhana
tetapi konsisten mengenai bagaimana memanusiakan manusia, secara
konsisten menghargai hak-hak kodrati manusia terutama saat memberikan
kuliah dan cara hidup yang sangat sederhana.Ia mendahulukan kepentingan
masyarakat dari pada kepentingannya sendiri “, kata Makarim.

Soetandyo Wignyosoebroto merupakan pelopor aliran antipositivisme
dalam hukum. Pemikirannya banyak dituangkan hingga menjadi Guru Besar di
Universitas Airlangga. Salah satu prinsip yang disuarakan adalah,
seorang hakim harus arif dalam memutus perkara. Dengan begitu, keadilan
tidak terletak semata pada undang-undang namun pada hati nurani.

Tidak banyak profesor yang tetap sederhana dan bisa bercakap-cakap
dengan orang kebanyakan. Di sela kesibukannya dia tetap ramah menerima
wartawan yang sebagian besar adalah bekas mahasiswanya. Sebagai guru dan
juga pengamat sosial, Soetandyo selalu menjaga pemikirannya, agar bisa
dicerna dengan mudah, baik lewat bahasa, tulisan maupun lisan. Maka,
berbagai pujian untuk tokoh yang satu ini pun mengalir. Kawan-kawannya
menyebut Soetandyo sebagai ‘Sang Sultan’ atau ‘Sumur yang Terus
Menyediakan Air Jernih”. Soetandyo seperti biasanya, rikuh bila
ditonjolkan, menganggap sebutan itu berlebihan.

Dalam menjangkau masalah-masalah sosial, Soetandyo dikenal tak pernah
kehabisan kreativitas, tetap melimpah seperti sumber air jernih. Dia
selalu melakukan dua sisi: pro dan kontra. “Sekarang, kita hanya melihat
perspektif ideologi. Filosofinya harus keraguan lalu berpikir. Bukan
seperti sekarang, yakin dulu langsung berjuang,” jelasnya.

Dalam kancah kecendekiawanan, nama Soetandyo adalah jaminan sikap
lurus. Profesor berlatar belakang sosiologi itu tidak memihak. Karenanya
wajar sampai sekarang kiprah Soetandyo tak pernah tercemari wacana
kesukuan atau agama.

Banyak kritik terhadap peran para cendekiawan di tengah pergulatan
kekuasaan, tapi Soetandyo seperti tak tergoda. Dia masih yakin,
kecenderungan integritas intelektual pada diri cendekiawan yang justru
diidentikkan dengan sikap kritis mereka terhadap kekuasaan.

Di kalangan kampusnya, di Universitas Airlangga, Soetandyo adalah
lokomotif pembaharuan (reformasi) yang sangat disegani. Meski pensiun,
dia tetap diminta mengajar. Ia menjadi salah satu penyemangat
mahasiswanya untuk selalu berfikir kritis, membangun dan tidak mudah
kagetan. Ia juga mengingatkan agar tidak genit menyikapi fenomena. FISIP
dahulu dianggap studi yang tidak ‘menjual’. Tapi tahun 90-an,
mahasiswanya banyak melakukan kritik terhadap pemerintah dan melakukan
gerakan yang membawa perubahan. Soetandyo menjadi tempat rujukan bagi
banyak pihak untuk menjelaskan fenomena perubahan yang sedang mereka
jalani.

Soetandyo tak pernah berpikir bahwa sudah tua. “Tapi sadari kalau
kita sudah tua. Sadar sudah tua artinya tidak ngoyo. Tidak
mengeksploitasi tubuh di luar batas kemampuan. Tapi jangan berpikir
karena sudah tua, lalu ada sugestis: karena tua hanya bisa istirahat.
Akibatnya, ya tidak berkembang. Jadi orang tua beneran,” begitu kiat
Soetandyo.

Ketika sang istri – Asminingsih- masih hidup, Soetandyo terbiasa
berangkat berjalan kaki berdua karena istri bekerja di kampus yang sama.
Jarak kampus dan rumahnya sekitar 1 kilometer. Setelah istrinya
meninggal, dia sering memakai sepeda dayung ke kampus. Tetap sederhana.

Bersahaja namun juga gaul. Dia akrab dengan Facebook, Blackberry dan Blog. Kadang, kelihatan sering memainkan game di dua account FBnya.
Teman-temannya bermacam-macam. Dia tidak segan memberi komentar atau
menerima komentar dari status yang dibuatnya. Status-statusnya kadang
ringan, kadang berat. GA328 Jakarta-Surabaya delayed_, dari etd
19.45 ke 21.15. Bikin mulesssss Atau : Chelsea-Wigan, akhirnya 1-1.
Lawan City (papan atas) bisa menang, kok lawan Wigan (papan bawah) nggak
bisa menang. Yes, bola itu bundar.

Di masa tuanya, Soetandyo tak punya keinginan berlebihan. Bagi dia
hidup sekarang lebih nikmat, lebih bertenaga. “Saya tak punya majikan
dan tidak punya anak buah. Sikap ini sudah saya jalani sejak dulu,
ketika masih berada dalam struktur. Saya tidak pernah tertarik mengejar
jabatan dalam kekuasaan. Sejak dulu saya lebih suka jadi pengajar,
menjadi guru.”

Dan, Soetandyo memang oase. Sumur penuh air jernih yang melegakan kaum kecil yang tak mengerti banyak soal keadilan.


Nama : Profesor Soetandyo Wignyosoebroto
Istri : Asminingsih (alm), memiliki 3 anak, 5 cucu.
Lahir : Madiun 19 November 1932.
Kuliah : Fakultas Hukum Unair, Mengambil bidang Public Affair dan Public Administration. 1973 mengambil Socio Legal Theories and Methods di Srilanka.

Aktivitas :

– Dosen di Unair sejak 1963. Pendiri Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga – FISIP
Unair pada tahun 1977. Banyak mengajar bidang Sosiologi (Sosiologi
Hukum, Sosiologi Makro dll) Bergelar Profesor dan telah pensiun.
– Tahun 1993, Pak Tandyo terpilih menjadi anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Selama dua periode membidangi Sub-Komisi Pendidikan dan Penyuluhan Komnas HAM.
– Banyak menulis jurnal ilmiah dan artikel yang menyangkut penegakan hukum dan dampak sosiologinya.

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?37746

Untuk melihat artikel Profil lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :