Kepergian mantan presiden K.H. Abdurahman Wahid, cukup menyentak dan
melahirkan duka, terutama buat para pendukung pluralisme dan
multikulturalisme. Ya, Gus Dur merupakan pejuang persatuan antar agama,
terutama kebebasan berekspresi dalam kehidupan kaum etnis Tionghoa,
selain menghilangkan pagar pembatas antara kaum Nasrani dengan kaum
Muslim juga agama lain. Dengan begitu, keragaman budaya dan religi di
Indonesia tidak lagi terkungkung pagar pembatas.

Saat Gus Dur menjabat Presiden periode 1999-2000, salah satu yang paling momentum adalah dikeluarkannya Keppres R.I. Nomor 6 tahun 2000 tentang pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 tahun 1967 tentang agama, kepercayaan, dan adat-istiadat Cina. Adanya Inpres Nomor 14 tahun 1967 itu dinilai membatasi ruang gerak dalam menyelenggarakan agama, kepercayaan, dan adat istiadat para penduduk keturunan. Maka dengan adanya Keppres ini, penyelenggaraan kegiatan keagamaan, kepercayaan dan adat istiadat mereka tidak memerlukan ijin khusus seperti yang sudah berlangsung selama ini. Tindakan pencabutan Inpres itu dilanjutkan dengan pencabutan larangan penggunaan huruf Tionghoa dan tentu saja diresmikan Tahun Baru Cina (Imlek) menjadi hari libur nasional

Tak heran, warga kelenteng Tay Kak Sie, gang Lombok, di Semarang, menobatkan Gus Dur sebagai tokoh Tionghoa Semarang, pada tahun 2004 lalu. Selain penghargaan secara ‘lokal’, keberanian membela kaum minoritas dan membuka pagar persatuan beragama itu juga membuahkan penghargaan Internasional termasuk dari Amerika, tahun 2008 lalu, yaitu penghargaan dari Simon Wiethemthal Center di New York, Mebal Valor di Los Angeles dan dari University of  Temple, Pennsylvania

Begitu pedulinya Gus Dur pada pluralisme dan multikulturalisme di Indonesia, terlihat pemikiran beliau yang tertuang pada tulisan, Lain Dulu, Lain Sekarang, dikutip dari www.gusdur.net, “Sebenarnya, setelah dikuatkan oleh UUD 1945, kita telah bertekad mencapai kemerdekaan politik, ekonomi, pendidikan, dan lain-lain. Hal ini seharusnya senantiasa kita ingat sebagai bagian penting dari sejarah kita sebagai bangsa. Inilah modal bangsa kita untuk merengkuh kehidupan masa depan, bukan?”

Tentu bukan hanya penduduk yang tinggal di Indonesia, terutama penduduk keturunan saja yang berduka mendalam atas meninggalnya Gus Dur tapi juga di Amerika. Penduduk Indonesia di Washington, D.C. yang mengadakan perayaan tahun baru di salah satu rumah, mereka pun turut sejenak mengheningkan cipta dan mengirim doa untuk Gus Dur. Meski sebagian tidak mengalami saat Gus Dur menjabat sebagai Presiden dan mengeluarkan Keppres itu tapi mereka ikut kehilangan figur seorang pejuang kebebasan beragama di Indonesia.

Sebut saja Andi, yang sudah lama tinggal di Washington, D.C, sejak masuk bangku kuliah di tahun 1990. Andi dilarang keluarganya kembali ke Indonesia karena melihat masa depan yang suram bagi penduduk keturunan. Apalagi pasca kerusuhan 1998. “Semangat saya untuk kembali dan memraktekkan ilmu yang telah saya dapat untuk Indonesia langsung pupus. Saya ingin tetap nekat pulang, tapi apa daya keadaannya seperti itu.”

Tapi dengan munculnya sosok Gus Dur, Andi sungguh merasa bahagia. “Sekarang saya tiap tahun pulang untuk merayakan Imlek bersama keluarga,” katanya, dan tetap berniat akan kembali ke Indonesia suatu hari nanti. Tanpa rasa cemas lagi.

“Aku pindah ke U.S. pertengahan tahun 1999, jadi belum banyak mengalami sepak terjang Gus Dur sebagai Presiden. Kebanyakan aku hanya baca di majalah Indonesia di sini dan internet. Beliau banyak memperjuangkan hak-hak kaum minoritas. Aku nggak terlalu ingat detil terobosan-terobosan yang beliau lakukan untuk kaum keturunan Cina di Indonesia. Beberapa yang aku ingat yaitu diperbolehkannya pengunaan bahasa Mandarin di sekolah dan papan nama. Mungkin kalau bukan karena beliau, pengunaan bahasa Mandarin di Indonesia akan sangat tertutup,” pendapat ini dilontarkan oleh Gunawan W. Setiawan, yang tinggal di Rancho Cucamonga, Los Angeles. 

Sedangkan menurut Imelda S. Kodrata, yang tinggal di Fairfax, Virginia, “Yang sangat bisa dirasakan waktu beliau menjabat sebagai Presiden, kita semua merasa tidak lagi ‘dikotak-kotakkan’, dibedakan antara putih dan hitam, semua sama sebagai warga Indonesia. Tapi yang pasti, saya yakin semua Presiden mau menjadikan negaranya lebih baik. Saya juga menghargai beliau sebagai seorang tokoh masyarakat. Bijaksana, hanya terkadang pendapat dan bicaranya dianggap terlalu tajam sehingga beberapa orang menjadi emosi menanggapinya, namanya juga manusia, presiden pun kan manusia juga, ada kelebihan dan kekurangannya.”  (riana/foto : koleksi pribadi)

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?34325

Untuk melihat artikel Amerika / Main Story lainnya, Klik disini

Untuk Tanya Jawab tentang Artikel ini, Klik disini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :