Cisoka salah satu tambang emas tradisionil juga. Letaknya berseberangan bukit dengan Cisampai. Kini, di Cisokalah tambang emas tradisionil yang bertahan. Tambang ini pernah ditinggalkan karena hasilnya tidak memadai. Para penambang kembali ke Cisoka karena tambang Pongkor dilarang sedangkan di Cisampai tidak seberapa pula hasilnya. Tambang emas tradisionil Cisoka, berada di Kampung Lebak Pari, Desa Cisoka, Kecamatan Lebak Gedong, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten.

Matahari masih malu-malu ketika kami melanjutkan perjalanan menuju lokasi tambang. Kami seperti bekejar-kejaran matahari di tengah musim penghujan. Matahari sudah mulai menghangat ketika kami mencapai punggung bukit Cisoka.

Inilah ujung jalan yang bisa dilalui oleh kendaraan roda empat. Kami meneruskan perjalanan menuju lokasi di jalan setapak.

Diseberang lembah sana, pada tebing, ada lobang-lobang, seperti goa. Di dalam lobang itulah orang mencari emas. Untuk mencapai lobang tersebut, kami harus menuruni lembah sampai ke dasarnya yang dialiri oleh Kali Cisoka.

Kami memilih lobang milik H.Kirna untuk dimasuki. Kami memasuki salah satu lobang. Pada mulanya lobang cukup untuk membungkuk. Makin ke dalam, perut kami makin tertekuk sehingga kami berjalan “mengesot’.

Entah sejauh apa kami merangkak, kami bertemu tangga menuju ke atas. Rupanya diatas ada lagi lobang. Di lorong atas inilah penambang menggempur cadas yang diharapkan mengandung emas. Sedangkan lorong bawah, sedang dibuatkan penyangga.

Pekerja lain mengumpulkan di karung untuk dibawa keluar. Karung-karung berisi bongkahan batu didorong-dorong di atas bantalan papan. Di mulut goa sudah ada pekerja yang menunggu karung tersebut. Karung tersebut kemudian dibawa ke pondok proses, gelundungan, namanya.

Bongkahan batu dihaluskan dengan cara dipalu. Bebatuan yang sudah bentuk kerikil, dimasukkan ke selinder-selinder yang berisi air. Didalam selinder diberi air raksa. Air raksa berfunsi untuk memisahkan unsur logam dengan tanah. Selinder diputar terus-menerus selama 10 jam. Sebagai penggerak, ada yang menggunakan mesin disel dan ada pula dengan kincir air.

Dua karung bebatuan akan menghasilkan logam sebesar biji jagung yang dinamai belion. Logam lunak tersebut kemudian diproses. Hasilnya menjadi logam putih – keperakan yang beratnya 1 gram. Untuk menjadikannya emas, maksimal kadar 99 %, diproses lagi. Hasil akhirnya hanya ½ gram emas. Bila satu gram emas harganya Rp. 220.000, maka 1 gram belion Rp. 110.000.

Sampai tahap belion akhir, diproses sendiri di penambangan. Pak Haji Kirna, pemilik tambang, menampung juga hasil tambang orang lain. Fasilitas proses emas mentah ini, bagian kelengkapan dari sebuah tambang emas. Dengan fasilitas tersebut, transaksi hasil tambang bisa dilakukan di lokasi.

Berhari-hari, bahkan berminggu-minggu tinggal di kawasan terpencil. Jauh dari perkampungan dan apalagi dengan keluarga. Meninggalkan kasur terbentang dan selimut terentang. Di tambang tidur berlaskan tikar, berbantalkan lipatan tangan. Namanya saja penambang emas, hasil tambang untuk membayar hutang.

Rony,misalnya. Ia tinggalkan anaknya yang baru berusia 3 bulan. Ia spesialis tester kadar emas. Keahliannya itu berkat pengalamannya sejak tahun 1980 bekerja di tambang emas. “Saya bekerja tambang sejak tahun 81, saat-saat sekaranglah saya rindu pulang. Kangen anak,” ungkap Rony.

Mengapa tidak pulang ? “Hasil tambang seidikit. Hanya cukup untuk, makan disini saja,” terangnya.

Di tambang Haji Kirna, bekerja 40 penambang. Penambang bekerja 2 shif. Setiap shif selama 10 sampai 12 jam. Ada yang bekerja malam, dan ada yang siang. Dari hasil tambang, setiap penambang menghasilkan 2 karung. Dua karung batu, menjadi 1 gram belion. Dari hasil bersih belion, H. Kirna mendapatkan 40 persen karena ia harus mengeluarkan biaya untuk proses, penerangan, kayu penyangga, karung dan fasilitas lainnya.

Sudah satu bulan lamanya Pak Haji tidak pulang. Tidak berbeda dengan penambang, sang bos tidak kalah lusuhnya. “Pekerjaan ini sudah saya jalankan sejak tahun 60-an. Saya memulainya di Rejang Lebong (Bengkulu). Dulu saya penambang, sekarang pemilik tambang,” jelas Pak Haji.

Aang, 45 tahun, sedang beruji peruntungannya pula. Pria asal Cisimet ini, memiliki sebuah lobang yang bertetangga dengan H. Kirna. Selama satu bulan menggali, tambangnya belum juga menghasilkan emas. Untuk membiayai hidup 10 penambangnya, Aang harus mengeluarkan uang 1 juta rupiah per minggu.

Di lobang kesibukan tak behenti. Para pekerja keluar hanya untuk makan. Vijei, dan 4 kawannya sedang istirahat di mulut lobang. Sedangkan lainnya, tengah bekerja. Mereka harus bergantian istirahat. “Saya sudah bertahun-tahun bekerja ini. Dulu saya di tambang Pongkor,” terangnya.

Bekerja di tambang tradisionil besar resikonya. Resiko longsor, lobang ambruk, atau bahaya kesehatan di lobang. Namun, mereka ini menepiskan semua resiko itu. “Kalau bicara bahaya, banyak teman saya mati di Pongkor. Jika ada pekerjaan lain, saya berhenti. Bahaya kesehatan di dalam, saya tidak ngerti. Keadaannya seperti itulah,” terang Vijei, dimana belum bisa menengok anak dan istrinya karena pengahsilannya tidak cukup.

Semuanya adalah perjudian. Berjudi dengan nasib, berjudi dengan peruntungan. Tidak peduli, apakah itu bagi pemilik lobang atau bagi penambang. Emasnya pasti dapat, tetapi kadarnya bisa tidak menentu.Hasilnya tidak seberapa, badan bisa terkubur hidup-hidup. Inilah ironi kehidupan pekerja penambang emas. Kilau emas, tidak sekilau kehidupan mereka / Foto : Alfan

Untuk Share Artikel ini, Silahkan Klik www.KabariNews.com/?2532

Mohon Beri Rating dan Komentar di bawah Artikel ini

____________________________________________________

Intero Real Estate

Lebih dari 1 Juta Rumah di Amerika

Klik www.InteroSF.com        Email : Info@InteroSF.com

Telp.  1-800 281 6175